Foto: Agum Gumelar, sumber foto: Id.wikipedia.org
Stramed, Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar mengungkapkan, kekuatan Pancasila saat ini tengah digoyang sekelompok masyarakat yang ingin sistem khilafah diterapkan di Indonesia.
Gerakan mereka sangat sistematis sehingga perlu diwaspadai.
Saking besarnya ancaman tersebut, Agum yang saat ini sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) mengaku lebih khawatir menghadapi penyebaran khilafah dibandingkan marxisme komunis. Alasannya, kecil kemungkinan PKI bisa bangkit lagi karena sudah ada payung hukum yang melarang keras penyebaran paham komunis di Indonesia.
Dia melihat kampus harus punya imun yang kuat untuk menghadapi paham-paham yang ingin menggantikan kekuatan Pancasila. “Marxisme komunis, kapitalisme, radikalisme, dan khilafah sangat berbahaya. Namun, saya tidak terlalu khawatir dengan Marxisme ini karena sudah ada Tap MPRS 25 Tahun 1966.
Yang jadi ancaman besar sekarang adalah upaya menggantikan NKRI dengan khilafah. Ini harus jadi perhatian kita bersama termasuk dunia pendidikan, sekolah dan kampus,” tutur Agum usai memberikan pembekalan kepimpinan tentang ketahanan nasional dan bela negara di Kampus Universitas Terbuka (UT), Kamis 1 Juli 2019.
Menurut Agum, penyebaran paham khilafah sangat rapi dan sistematis. Semuanya disasar dengan cara beragam. Di sini perlu kesadaran masyarakat termasuk akademis. Makanya diberikan pembekalan wawasan kebangsaan dan bela negara di lingkungan kampus agar bisa membentengi diri. Kalau daya tangkal masyarakat termasuk dunia kampus kurang, paham tersebut bisa saja masuk.
“Makanya sangat penting ada pembekalan kepimpinan seperti yang dilakukan UT. Di mana seluruh dekan, dosen, dan staf ikut dalam kegiatan tersebut agar bisa memberikan pendidikan kepada anak didiknya untum bisa membentengi diri,” terangnya.
Dengan jumlah mahasiswa 320 ribu, lanjut Agum, UT adalah perguruan tinggi yang sangat strategis untuk mengawal bangsa ini. Membantu negara dalam menjaga kekuatan Pancasila.
Sementara itu, praktisi hukum dan pemerhati politik di Jakarta, Airla mengatakan, pasca Pilpres 2019, Presiden Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputri tidak ingin selalu dinilai sebagai anti Islam atau Islamophobia, karena bagaimanapun juga suara Islam masih sangat diperlukan pada Pilpres 2024. “Oleh karena itu, orang-orang atau tokoh-tokoh yang diduga menyebabkan Jokowi atau Megawati akan dinilai anti Islam cenderung tidak akan dipakai lagi atau dipinggirkan,” ujarnya seraya menambahkan, kemungkinan besar LGBT, Syiah, Islamophobia dan LGBT akan berkembang pesat jika tidak dicegah oleh Jokowi (Red).