Foto: Penambangan ilegal, sumber foto: Detik.com
Oleh : Agung Wahyudin
Stramed, Aktivitas penambangan ilegal ternyata masih berlangsung di kawasan hutan negara misalnya saja di Kalimantan Barat dan Bangka Belitung, sehingga tidak mengherankan jika masyarakat setempat meragukan adanya penegakkan hukum bahkan deteksi dini terkait masalah ini. Bahkan, aparat yang berwenang tampaknya juga belum memberikan masukan ke Kemendagri serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menginisiasi Pemda agar mendorong realisasi Izin Pertambangan Rakyat melalui pengembangan Wilayah Penambangan Rakyat (WPR), sehingga tata kelola tambang dapat berjalan sesuai aturan serta pengawasan dapat lebih maksimal. Disamping iti, mendorong Pemda untuk fokus mengembangkan sektor ekonomi lain, seperti perikanan, perkebunan dan pariwisata sebagai program pasca tambang.
Faktanya para pekerja ilegal logging dan mining di Desa Batu Lapis dan Beginci Darat, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat menghentikan aktivitasnya, pasca dikeluarkannya surat peringatan terakhir Forum Komunikasi Penyangga Hutan (FKPH) Kecamatan Hulu Sungai tanggal 19 Maret 2019 yang berisi dua poin yaitu pertama mendesak para pekerja illegal keluar dari hutan Hulu Sungai dengan batas akhir 29 Maret 2019. Selanjutnya, apabila tidak diindahkan makan pihaknya tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu.
Sementara itu, perwakilan warga Lubuk Besar Kabupaten Bangka Tengah bertemu dengan DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada awal April 2019 dalam rangka merespons masih berlangsungnya aktivitas penambangan timah ilegal di kawasan hutan lindung. Dalam acara tersebut, salah satu tokoh pemuda Lubuk Besar mengatakan, sebelumnya telah terjadi mobilisasi massa untuk menolak aktivitas tambang ilegal di Lubuk Besar, dimana masyarakat memberikan waktu selama satu minggu agar aktivitas tambang dihentikan, namun kegiatan justru semakin banyak terutama di daerah Kuruk. Menurutnya, para beking membayar para pendatang sehingga dikhawatirkan akan terjadi konflik dengan warga sekitar.
Sementara, salah satu nelayan di Teluk Kelabat Bersatu mengatakan, tambang timah ilegal merambah hutan lindung Guntung Belinyu Bangka dan kawasan sekitarnya, dengan aktifitas alat berat eskavator sedang menambang. Hasilnya, kondisi hutan lindung produksi Guntung Pantai Lempar Belinyu rusak, dikarenakan adanya eksploitasi tambang ilegal yang belum dapat ditangani secara hukum.
Kegiatan tambang merupakan aktivitas ekonomi masyarakat yang telah berlangsung lama sehingga timbul ketergantungan terhadap sektor perekonomian tersebut. Dalam perkembangannya, maraknya aktivitas tambang rakyak yang tidak terkontrol mengakibatkan meningkatnya tambang ilegal di berbagai kawasan, serta memasuki beberapa kawasan terlarang untuk aktivitas penambangan lainnya.
Kerusakan ekologi Daerah Aliran Sungai (DAS) mengakibatkan semakin memburuknya ekosistem sungai, yang mengakibatkan terkendalanya produktifitas nelayan. Disisi lain, penambangan yang masuk ke area hutan lindung dan hutan produksi dapat memperluas lahan kritis serta menghambat upaya pengembangan kawasan hutan negara di daerah.
Aktivitas tambang ilegal juga cukup tinggi dengan tingkat eksplorasi kerusakan terhadap hutan yang telah mencapai 40 %. Beberapa kerusakan tersebut berada di area DAS serta beberapa area hutan lindung, hutan produksi dan tanah hutan negara yang merupakan kawasan hutan negara guna pengembangan ekosistem dan ekonomi.
Maraknya aktivitas tambang mengakibatkan tidak optimalnya program restorasi lahan akibat kegiatan tersebut terus berpindah tanpa melakukan reklamasi. Terkait hal tersebut, Pemda berupaya mendukung upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam memberikan tindakan tegas terhadap setiap pelaku tambang yang secara ilegal melakukan aktivitas di kawasan hutan negara.
Adanya penegakan hukum tersebut diharapkan akan memberikan efek jera kepada setiap pelaku tambang, namun berdasarkan perkembangannya beberap pelaku tambang (pekerja) masih melakukan aktivitas dengan cara sembunyi-sembunyi dan beberapa pengumpul/pengusaha (oknum) pemilik tambang juga belum ditemukan secara keseluruhan. Para pekerja tambang melanggar Pasal 158 UU No 4/2009 tentang Minerba dan/atau Pasal 89 ayat (1) huruf A UU RI No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, serta Pasal 109 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Meningkatnya aktivitas tambang ilegal mengakibatkan semakin meluasnya lahan kritis daerah yang dapat mempengaruhi kondisi ekosistem serta potensi kerusakan lingkungan dan hutan yang berdampak pada potensi kekeringan dan minimnya resapan air tanah. Sementara, belum optimalnya pengembangan sektor ekonomi lainnya mengakibatkan mayoritas masyarakat masih tergantung dengan penghasilan tambang sehingga berpotensi melakukan eksplorasi aktivitas pertambang di berbagai kawasan.
Menyikapi masalah ini, seharusnya Kemenko Perekonomian dan Kemendagri memerintahkan Pemda untuk mengoptimalkan pengembangan sektor ekonomi lain, pasca tambang serta memperkuat Pemda dalam penegakan aturan pertambangan, dan mendorong upaya penerapan Ijin Penambangan Rakyat (IPR) melalui pengembangan Wilayah Penambangan Rakyat (WPR) dengan tetap menjaga stabilitas lingkungan dan pengembangan sektor lainnya.
*) Peneliti masalah lingkungan hidup dan sumber daya alam.
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.