Sumner foto: Facebook
Oleh : Hendrijanto Akhmad Akbar
Stramed, Rekonsiliasi untuk menguraikan tensi politik yang masih belum mereda masih diupayakan, namun sudah diganggu ganggu dengan penyebaran opini terkait sebaiknya Partai Gerindra menjadi oposisi saja, walaupun opini ini kurang benar sebab 5 tahun ke depan Jokowi butuh pemerintah yang kuat dengan didukung parlemen yang kuat, sehingga sudah merupakan keniscayaan jika Gerindra sebaiknya masuk kabinet.
Soal nanti siapa yang menjadi oposisi, tampaknya PKS, PAN dan Partai Demokrat siap mengambil peran tersebut, sebab jika Gerindra masuk kabinet, maka PAN dan PD tidak perlu ditawari lagi, sehingga otomatis menjadi oposisi. Diharapkan mereka mampu jadi oposisi yang serius, all out bukan “oposisi transaksional” yang diduga berlangsung selama ini, sehingga tidak berdampak elektoral yang maksimal dalam Pemilu 2019.
Setelah itu, diproyeksikan Syiah, Komunis, Islamophobia dan LGBT akan menjamur di Indonesia akan dihadapi Jokowi dan gerbongnya.
Sejumlah indikasi dan fakta menunjukkan ancaman tersebut seperti misalnya rencana longmarch PRD di Solo tanggal 22 Juli 2019, beredar di medsos ada group PKI di Facebook, Syiah berkembang dengan metode taqiyah di Kaltim, Kalbar dan provinsi lainnya, kelompok Islamophobia gencar menolak perpanjangan SKT FPI, ada penolakan siswi memakai hijab di salah satu SMA Negeri di daerah Indonesia Timur serta propaganda masif terkait Islam Nusantara.
Sedangkan LGBT jangan ditanya lagi, mereka semakin meluas pengaruh dan pengikutnya. Dan tidak kalah miris, separatis di Papua semakin menantang dengan deklarasi negara NFRPB, termasuk Wahabisme juga marak.
Sebenarnya adalah kemunduran bagi Indonesia jika masih terus berkutat dengan model model ancaman yang sebenarnya bersifat konvensional tersebut, karena ancaman yang lebih mengerikan harus dihadapi masyarakat global termasuk Indonesia seperti krisis air bersih sudah terjadi di beberapa daerah, krisis pangan dan krisis energi termasuk ancaman nuklir.
Tampaknya Indonesia masih kedodoran untuk mengatasinya, karena lemahnya deteksi dini dan cegah dini dari instasi yang diamanahkan untuk mengatasinya, yang mungkin hal ini terjadi karena mereka kurang mampu manajemen pengetahuannya, sehingga dalam mengatasi masalah sering zig zag, kurang fokus dan amuba/tanpa bentuk pastinya.
*) Penulis adalah peneliti dan kolumnis.
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.