Foto: Ikustrasi, sumber foto: Jambi-independent.co.id
Stramed, Banda Aceh. Tingginya angka perceraian dan nikah siri di Provinsi Aceh yang melebihi angka nasional, menjadi alasan Komisi VII DPRA membahas poligami secara terperinci. Namun, pembahasan poligami di lingkungan DPRA justru menjadi pro kontra di tengah masyarakat Aceh saat ini. Padahal poligami yang terdapat dalam qanun hukum keluarga merupakan usulan dari pemerintah Aceh, bukan inisiatif dari DPRA. Tapi pihaknya tidak mengetahui dari pihak eksekutif, siapa yang memerintahkan hal itu, apakah Gubernur atau Wakil Gubernur.
Demikian dikemukakan Musannif, S.E dalam diskusi publik bertema “Wacana Pembentukan Qanun Poligami di Aceh, Apakah Sudah Tepat?” yang diselenggarakan oleh Pusat Klinik Hukum Fakultas Syariah UIN Ar Raniry, Banda Aceh belum lama ini.
Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPRA dari PPP ini, polemik isu Qanun Poligami menjadi viral baru baru ini di Aceh. Namun, menilai kenapa jika bicara syariat sering menjadi isu sensitif dan seksi di Aceh. Media juga sensitif jika membahas ini, padahal draf rancangan qanun itu belum ada koreksi dari hasil yang sudah dikonsultasikan ke Kementerian Agama. Pihaknya menyayangkan beberapa lembaga merespon pembahasan qanun keluarga secara berlebihan, hanya karena bab poligami, padahal dalam raqan ini banyak pasal lain yang melindungi masa depan keluarga di Aceh. Mungkin, karena mereka baca judulnya saja, dan tidak melihat secara utuh isi raqan tersebut.
“Pihaknya mengakui jika pembahasan pasal poligami justru menyakiti hati kaum perempuan, sehingga pembahasan ini menjadi viral. Padahal qanun poligami satu dari ratusan pasal yang sedang dibahas di DPRA, pihaknya juga bahas qanun lain seperti ekonomi, tapi tidak heboh. Untuk itu, DPRA akan mengundang para pihak pada 1 Agustus nanti dalam Rapat Dengar Pendapat Umun (RDPU), untuk meminta pendapat dan pandangan soal bab poligami, sehingga DPRA bisa memastikan pembahasan tersebut dilanjutkan atau tidak,” ujarnya.
Menurut Musanif, DPRA telah melakukan rapat membahasnya dengan elemen lembaga yang mengatur tentang hukum syariah, kesehatan dan lainnya, seperti dengan Dinas Syariat Islam, BNN dan lainnya untuk mengetahui apa benar qanun ini dapat dijalankan dengan semestinya.
“Hasil kajian itu semuanya akan dirangkum dan lihat bersama-sama rancangan qanunnya bagaimana. Nanti di awal September akan memutuskan, apa perlu dilanjutkan atau tidak bab poligami tersebut,” jelasnya.
Sementara itu, Dr. Agustin Hanafi sebagai pembicara yang lain mengatakan, dalam ayat Al Quran tentang poligami bukan suatu kewajiban anjuran, tapi ayat tersebut sebenarnya mencela praktik poligami tanpa batas. Maka Islam membatasi, bunyi ayat sebenarnya bukan anjuran tetapi mengatur membatasi, sehingga jika kaum lelaki ingin poligami dan berlindung di balik sunnah Rasul, maka haruslah sesuai dengan apa yang Rasulallah lakukan.
“Rancangan Qanun Hukum Keluarga yang sedang dibahas oleh ekesekutif dan legislatif Aceh saat ini, sebenarnya ada beberapa bab yang mengatur tentang keluarga, namun karena dalam bab terbut ada pasal yang mengatur tentang beristri lebih dari satu sehingga menjadi viral dan menimbulkan pro kontra tanpa melihat aspek yang lebih luas. Sebenarnya praktik poligami sudah hadir sebelum Islam, praktik ini liar di masa jahiliyah dimana lelaki bisa menikah tanpa batas dan tanpa aturan yang membatasinya. Untuk itu Islam datang memberi batasan dan mengatur praktik ini agar maslahat bagi kehidupan berkeluarga,” ujar Tim Ahli Penyusun Qanun Hukum Keluarga seraya menegaskan, Rasul itu monogami, hanya satu istri selama 25 tahun, kemudian berpoligami 8 tahun.
Kalau dianggap sunnah kenapa tidak mengambil waktu yang terpanjang itu yaitu monogami. Saat Rasulullah berpoligami, semua istri beliau adalah janda berumur di atas 40 tahun, hanya Aisyah yang gadis. Rasul menikahi para janda dimana suami mereka syahid di medan perang dan derajat janda pun terangkat saat dinikahi Rasul. Untuk itu poligami bukanlah sunnah, jika ingin bersunnah, maka nikahlah kembali dengan para janda dengan umur 40 tahun ke atas.
Sedangkan, Syarifah Rahmatillah, S.H yang juga pembicara lainnya menyatakan, Rancangan Qanun (Raqan) hukum keluarga khususnya tentang poligami yang sedang dibahas antara Pemerintah Aceh dan DPRA, tidak terlalu istimewa, karena semuanya sudah diatur dalam Undang-undang 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Untuk itu, pihaknya menilai isinya sama dengan UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan sama juga seperti yang ada dalam Al Quran.
“Alasan emergency dibuatnya pasal poligami dalam raqan tersebut hanya karena alasan banyaknya pernikahan siri, melihat tidak selamanya yang menikah siri itu mau melakukan poligami. Untuk itu, bab poligami dalam raqan hukum keluarga itu sebaiknya dihilangkan saja kalau isinya sama dengan aturan yang sudah berlaku saat ini, kecuali ada isi lain yang istimewa seperti yang disebutkan tadi,” ujar Ketua Mitra Sejati Kerja Perempuan Indonesia ini.
Menurut Syarifah, menjadi aneh jika alasan dibuatnya qanun ini karena banyaknya qadhi atau wali nikah liar di Provinsi Aceh sehingga menyebabkan banyaknya nikah siri, namun justru pembuat Qanun ini belum bisa menjelaskan data lengkap secara rincu jumlah warga yang melangsungkan pernikahan siri di Provinsi Aceh (Red).