Foto: Lambang DKPP, sumber foto: Facebook DKPP
Oleh : Pramitha Prameswari
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. DKPP menjatuhkan sanksi keras berupa pemberhentian dari jabatan Ketua Divisi Sumber Daya Manusia, Organisasi, Diklat, dan Litbang. “Menjatuhkan sanksi berupa peringatan keras dan pemberhentian dari jabatan Ketua Divisi Sumber Daya Manusia, Organisasi, Diklat, dan Litbang kepada Teradu VI Evi Novida Ginting Manik selaku anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia sejak dibacakannya putusan ini,” ujar Ketua DKPP Harjono saat membacakan putusan dalam sidang di kantor DKPP, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (10/7/2019).
Gugatan ini diajukan atas nama Adly Yusuf Saepi selaku peserta calon KPU Kabupaten Kolaka Timur, yang juga mantan anggota KPU Kabupaten Kolaka Timur Provinsi Sultra periode 2014-2019. Gugatan masuk dengan nomor perkara 31-PKE-DKPP/III/2019.
Selain Evi, Aldy menggugat Ketua KPU Arief Budiman. Beserta 5 komisioner lain, yaitu Ilham Saputra, Wahyu Setiawan, Viryan Azis, Pramono Ubaid Tanthowi, dan Hasyim Asy’ari. Dalam gugatannya, terdapat tiga perkara yang diajukan ke DKPP. Hal ini terkait tidak diloloskannya Aldy dalam seleksi administrasi sebagai calon anggota KPU Kabupaten Kolaka. Selain itu, Aldy menyebut terdapat transaksi dalam setiap tahapan rekrutmen KPU Kabupaten Kolaka dan Kolaka Timur. Serta adanya beberapa soal tes KPU yang bocor.
Dalam putusannya, DKPP menyatakan KPU telah melanggar peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Pasal 11 tentang kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu. “Teradu terbukti telah melanggar prinsip kepastian hukum Pasal 11 huruf (c) Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu,” ungkap Alfitra Salam.
DKPP juga memberikan sanksi peringatan kepada Ketua KPU Arief Budiman, komisioner KPU Ilham Saputra, Pramono Ubaid Tanthowi, Viryan, dan Hasyim Asy’ari. Sementara itu, komisioner KPU Wahyu Setiawan mendapat sanksi peringatan keras.
Sebelumnya diberitakan, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras dan pencopotan dari jabatan Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik kepada Komisioner KPU Ilham Saputra. Putusan ini dijatuhkan terkait gugatan seorang caleg Hanura terkait PAW.
Sementara itu, 5 orang Komisioner KPU Kota Palembang divonis 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun. Kelimanya terbukti bersalah menghilangkan hak pilih pada Pemilu. “Mengadili terdakwa, terbukti bersalah menghilangkan hak pilih pada Pemilu dengan 6 bulan penjara. Dengan masa percobaan 1 tahun,” ujar Ketua Majelis Hakim, Erma Suharti dalam putusannya, Jumat (12/7/2019). Putusan itu sama dengan tuntutan JPU yang menuntut hukuman sama. Hanya saja pasal yang diterapkan tiga majelis hakim berbeda, yakni melanggar Pasal 554 UU Pemilu tentang Menghilangkan Hak Pilih Warga.
Selain hukuman penjara dengan masa percobaan, hakim turut mendenda lima terdakwa Rp 10 juta subsider 1 bulan kurungan. Denda itu pun sesuai tuntutan JPU, Indah Kumalasari, Ursula Dewi dan Rico Budiman. “Putusan hakim sama dengan apa yang kita tuntutkan kemarin. Hanya pasal aja yang berbeda sesuai pertimbangan dari para majelis. Intinya perbuatan tedakwa ini terbukti,” kata JPU Ursula.
Mendengar putusan itu, kelima terdakwa langsung tertunduk lesu. Eftiyani selaku ketua KPU terlihat mengusap keringat di wajahnya dengan handuk kecil. Mereka pun masih berkonsultasi dengan kuasa hukum untuk menentukan sikap apakah akan banding atau tidak.
Membenarkan dugaan adanya kecurangan
Bagaimanapun juga, keputusan DKPP RI terhadap para komisioner KPU RI dan KPU di kabupaten/kota dan provinsi yang dinilai kurang berhasil menjaga dan menjalankan kode etik profesinya jelas akan semakin memberikan gambaran kepada publik bahwa besar kemungkinan telah terjadi kecurangan yang mungkin tidak hanya terjadi dalam Pemilu legislatif, namun juga mungkin terlaksana di Pilpres 2019.
Walaupun yang sangat disayangkan, keputusan DKPP RI ini “terkesan lambat” sebab dikeluarkan setelah selesainya sidang gugatan Pilpres di Mahkamah Konstitusi. Sehingga, keputusan DKPP RI tidak menjadi dasar pertimbangan 9 hakim MK tersebut yang “memenangkan” Jokowi-Ma’ruf Amin.
Meskipun demikian, keputusan DKPP RI ini juga semakin membenarkan atau berdampak menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara Pemilu, sehingga prospek pelaksanaan Pilkada 2020 secara Jurdil akan mulai dipertanyakan masyarakat, karena selama ini demokrasi di Indonesia masih bersifat prosedural bukan demokrasi substansial. Keputusan DKPP RI ini juga akan membuat posisi demokrasi Indonesia semakin menurun karena kekurangprofesionalan dan ketidaknetralan lembaga penyelenggara Pemilu.
Penulis adalah pemerhati politik. Tinggal di Mranggeng, Jawa Tengah.
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.