Foto: Aliansi Mahasiswa Papua, sumber foto: Facebook
PERNYATAAN SIKAP ALIANSI MAHASISWA PAPUA [AMP]
Stramed, Sejarah Rakyat Papua merupakan sejarah yang penuh dengan darah. Praktek sistem kolonialisme Indonesia tak pernah berhenti melahirkan kesengsaraan bagi Rakyat Papua. Penyiksaan, penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, penangkapan sewenang-wenang, perampasan tanah, hingga rasisme terus menyelimuti lembar-lembar kehidupan dan menyudutkan Rakyat Papua.
Sejak tahun 1962, senjata dan kekerasan (TNI/POLRI) kolonial Indonesia, memaksa diam rakyat Papua demi kepentingan Imperialisme Amerika Serikat dalam aksi perampokan sumberdaya alam rakyat Papua. Rakyat Papua tidak pernah dilibatkan dalam penentuan nasib masa depannya sendiri.
Operasi-operasi militer dijalankan, gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus).
Operasi-operasi militer melahirkan banyak peristiwa-peristiwa berdarah seperti, Biak Berdarah, Wamena Berdarah, Wasior Berdarah, Paniai Berdarah, Dogiyai Berdarah, Deiyai Berdarah, hingga operasi militer di Nduga, Puncak Jaya, serta banyak Pelanggaran HAM. Dan tak satu pun diselesaikan di meja pengadilan kolonial Indonesia.
Kongkalikong antara Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB mengesahkan kebohongan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dan mendiamkan rakyat Papua yang dibantai selama setengah abad.
Resolusi PBB 2504 yang dikeluarkan pada tanggal 19 November 1969 yang mengesahkan pelaksanaan Pepera, Juli-Agustus 1969 merupakan bentuk penghianatan PBB terhadap demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) rakyat Papua sebagai satu kesatuan masyarakat dunia yang harus diperlakuakan dengan secara adil dan bermartabat.
Pelaksanaan Pepera yang tidak demokratis dan penuh manipulasi, teror dan intimidasi bahkan penangkapan, pemenjaraan dan pembunuhan terhadap rakyat Papua yang pro-kemerdekaan adalah keharusan untuk tetap mempertahankan Papua. Selain itu Pepera meningkari isi Perjanjian New York yang mengharuskan tindakan penentuan nasib sendiri di Papua harus dilakukan melalui mekanisme internasional yaitu one man one vote.
Faktanya Pepera yang tidak demokratis dan tidak sesuai mekanisme internasional itu, dengan 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan hanya 175 orang yang memberikan pendapat untuk bergabung dengan Indonesia.
Fakta lain yang menunjukan keterlibatan PBB dalam peningkaran terhadap hak-hak demokratis rakyat Papua bahwa Resolusi 2504 membenarkan Kontrak Karya I Freeport dan pemerintah Indonesia yang dilakukan 2 tahun sebelum Pepera dilakukan yaitu pada 7 April 1967. 2 tahun sebelumnya Papua sah menjadi bagian dari wilayah Indonesia.
Maka, berdasarkan kenyataan diatas Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] mendesak Amerika Serikat, Belanda, PBB, dan rezim Jokowi-Ma’ruf untuk segera:
1. Cabut Resolusi PBB 2504, Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua Barat
2. Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Nduga dan Seluruh Tanah Papua Sebagai Syarat Damai.
3. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh dan MNC lainnya Yang Merupakan Dalang Kejahatan Kemanusiaan di Atas Tanah Papua.
4. Buka Ruang Demokrasi dan Akses Jurnalis Independen Di Papua.
5. Bebaskan Tanpa Syarat Surya Anta dan Tahanan Politik Papua.
6. Stop Monopoli Tanah Di Papua dan Berikan Kedaulatan Penuh Atas Tanah Kepada Rakyat Papua.
Demikian pernyataan sikap ini, kami menyerukan kepada seluruh Rakyat Papua untuk Bersatu dan Berjuang merebut cita-cita Pembebasan Sejati Rakyat dan Bangsa Papua Barat. Dan atas perhatian dan dukungan seluruh Rakyat Papua, kami ucap terima kasih.