Stramed, Mengapa dokumen Abu Dhabi ini begitu penting, ada alasan mendasar, yaitu kandungan dolumen yang terbilang profetik dan revolusioner, karena kelugasan bahasa yang langsung mendobrak permasalahan-permasalahan krusial di dunia, khususnya seputar relasi lintas agama yang selama ini mungkin masih terus dibungkus dengan sekap-sikap relativisme dan narasi-narasi basa-basi, demikian dikatakan oleh Pater Markus Solo Kewuta, SVD, dalam webinar yang bertema “Perdamaian Dunia Pasca Dokumen Abu Dhabi”.
Mengutip satu bagian esensial dari dokumen ini dengan gaya bahasa terang benderang, dengan mudah dimengerti oleh seluruh kalangan yakni tentang akar-akar permasalahan masyarakat modern didalam empat pernyataan yaitu hati nurani manusia yang kehilangan kepekaan, gerak manusia yang menjauh dari nilai-nilai agama, dominansi individualism, dan filosofi materialis yang mendewakan pribadi manusia dan mengidolakan nilai-nilai material sebagai pengganti prinsip-prinsip paling tinggi dan transidental ujar penasehat Paus yang berdomisili di Vatikan ini.
12 Butir dokumen Abu Dhabi itu intinya membawa pesan bahwa di satu sisi, keberagaman itu adalah sebuah keniscayaan, ketentuan dan kebijakan Yang Maha Kuasa. Tapi di sisi lain, persatuan, kebersamaan, harmoni dan perdamaian, harus terus diupayakan, diraih, dicapai, bahkan diperjuangkan. Kita bersyukur bahwa dua tokoh agama Nasrani dan Islam, dua dari tiga agama samawi Abrahamic religion memberi contoh sekaligus membawa pesan persaudaraan kemanusiaan. Bagaimanapun keduanya membawa pesan yang sama, Islam sering mengemukakan slogan “rahmatan lil alamin”, sementara nasrani mendakwahkan kasih saying dan damai di dunia, ujar Abdurrahman Mohammad Fachir.
Bagi saya yang sangat berkesan adalah saking mengucapkan selamat, bahkan saling kunjung, saat perayaan hari vesar agama. Kita Indonesia adalah bangsa yang paling beragam, sekaligus negara kepulauan terbesar di dunia, ratusan suku bangsa, dengan ragam bahasa, tradisi budaya serta agama berdiam di ribuan pulau nusantara. Saya tidak berhenti kagum dengan kearifan para pendiri republik yang juga berasal dari latar belakang yang berbeda, berhasil menyepakati sebuah panduan hidup bersama dalam satu entitas kesatuan yaitu ideologi dan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, jelas mantan Wamenlu ini.
Pdt. Dr. Tonny Andrian Stefanus mengatakan bahwa perdamaian atau perspektif bagi Indonesia , pertama adalah saya pikir bagi kita orang Nasrani khususnya merka yang ada di Asosiasi Pendeta Indonesia ada dua kebenaran firman yang kami percaya dari kitab suci orang Nasrani yang menegaskan tentang perdamaian ini, didalam Yeremiah pasal 29 ayat 7 dijelaskan bahwa usahakanlah kesejahteraan sebuah kota kemana kamu aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu. Jadi kebenaran firman Tuhan ini adalah suatu kebenaran firman Tuhan yang Tuhan sampaikan kepada umat Ibrani, pada waktu mereka mengalami pembuangan di Babilon.
Ada nyanyian surgawi, dalam Lukas pasal 2 ayat 14 mengatakan bahwa Gloria in exelsis deo, kemuliaan bagi Tuhan Yang Maha Tinggi dan damai sejahtera dibumi diantara manusia, yang berkenan kepadaNya. Dua kata ini berbicara soal perdamaian. Jadi dua kata ini berbicara soal shalom, satu perkataan yang sangat luar biasa. Arti kata shalom itu sendiri adalah sebuah usaha, upaya, jerja keras, bagaimana caranya, mengusahakan damai, ujar pengurus DPP Asosiasi Pendeta Indonesia.
Sedangkan menurut pengamat Timur Tengah yang juga wartawan senior Kompas Musthafa Abd Rahman, bila menilik sejarah, adalah embrio Al—Azhar yang didirikan oleh dinasti Fatimid pada tahun 972 M, bermula dari Masjid, kemudian berkembang pesat menjadi lembaga pendidikan dan dakwah yang tidak hanya punya pengaruh di Mesir, tetapi di seantero dunia Islam dan bahkan komunitas Muslim di Eropa, Amerika, Australia dan Asia Timur. Jadi, A1—Azhar lahir dan berkembang disaat era kejayaan Islam (abad ke 7 M — 14 M) dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan Islam saat itu.
Dari konteks latar belakang sejarah tersebut, Al Azhar kini merasa memikul tanggung jawab besar untuk menjaga kelestarian turast Islam dan kemudian melakukan pembaruan yang berpijak pada turast itu. Komitmen Al Azhar menjaga kelestarian turast Islam itu, membuatnya memiliki pijakan epistimologi Islam yang kuat dan benar, ujar Musthafa.(Red)