Foto: KPK, sumber foto: Wikipedia
Stramed, DPR bersama pemerintah telah menyepakati pembahasan revisi Undang-Undang KPK. Usulan perubahan ini merupakan inisiatif dari DPR. Diyakini, poin-poin perubahan tersebut akan melumpuhkan KPK dan melemahkan pemberantasan korupsi. Jika dilihat lebih jauh, DPR mempercepat pengesahan UU ini dalam sidang paripurna beberapa waktu lalu. Mengapa? Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat adanya dugaan konflik kepentingan dalam pembahasan dan pengesahan RUU KPK dalam sidang paripurna DPR. Berikut:
Niat Lama Melemahkan KPK
Dalam catatan ICW isu revisi UU KPK mulai bergulir sejak tahun 2010 silam. Dalam naskah perubahan yang selama ini beredar praktis tidak banyak perubahan, narasi penguatan KPK hanya omong kosong saja. Mulai dari penyadapan atas izin Ketua Pengadilan, pembatasan usia KPK, kewenangan SP3, sampai pembentukan Dewan Pengawas;
Mayoritas Perkara yang Ditangani KPK Melibatkan Aktor Politik
Dalam catatan KPK dari rentang waktu 2003-2018 setidaknya 885 orang yang telah diproses hukum. Dari jumlah itu, 60 persen lebih atau 539 orang berasal dari kalangan politisi:
Anggota DPR Masa Periode 2014-2019 Banyak Terlibat Kasus Korupsi
Dalam catatan ICW sepanjang lima tahun terakhir setidaknya 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Bahkan Ketua DPR RI, Setya Novanto, bersama Wakil Ketua DPR RI, Taufik Kurniwan, pun tak luput dari jerat hukum KPK.; Hampir Seluruh Partai Politik di DPR Periode 2014-2019 Sudah Pernah Terjaring KPK
Dalam catatan ICW, 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Keseluruhan anggota DPR tersebut pun berasal dari ragam partai politik. Berikut rinciannya: Partai Golkar: 8 orang, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan: 3 orang, Partai Amanat Nasional: 3 orang, Partai Demokrat: 3 orang, Partai Hanura: 2 orang, Partai Kebangkitan Bangsa: 1 orang, Partai Persatuan Pembangunan: 1 orang, Partai Nasdem: 1 orang dan Partai Keadilan Sejahtera: 1 orang.
Perkara yang sedang ditangani oleh KPK banyak melibatkan anggota DPR.
Publik tentu masih mengingat salah satu kasus korupsi yang secara dimensi kerugian negara besar, serta diduga melibatkan banyak pihak – eksekutif, legislatif, maupun swasta – yakni kasus KTP-Elektronik. Dalam dakwaan Jaksa untuk dua terdakwa, Irman dan Sugiharto, menyebutkan puluhan politisi DPR yang diduga turut serta menerima aliran dana dari proyek yang telah merugikan keuangan negara Rp 2,3 Triliun.
Atas narasi di atas maka wajar jika publik sampai pada kesimpulan bahwa DPR serampangan, tergesa-gesa, dan kental nuansa dugaan konflik kepentingan. Selain dari waktu pembahasan yang tidak tepat, substansi nya pun menyisakan banyak kontroversi, dan secara kelembagaan KPK memang tidak membutuhkan perubahan UU.
Untuk itu maka Indonesia Corruption Watch (ICW) menuntut agar: Pertama, DPR segera hentikan pembahasan revisi UU KPK. Akan jauh lebih bijaksana jika DPR fokus kerja pada regulasi penguatan pemberantasan korupsi. Seperti revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, rancangan UU Perampasan Aset, dan rancangan UU Pembatasan Transaksi Uang Tunai. Kedua, seluruh masyarakat Indonesia untuk mengawal isu revisi UU KPK dan melawan berbagai pelemahan pemberantasan korupsi (Red)