Foto: Ilustrasi, sumber foto: Hamas.co
Stramed-Jakarta. Sekarang semua informasi terkait intoleransi, radikalisme dan bahkan aksi-aksi radikalisme bisa dengan sangat mudah kita dapati di sosial media, entah itu di youtube, di twitter, walaupun masing-masing pengelola platform itu menyediakan sarana untuk melakukan reporting atau menerima aduan seandainya ada kontemn-konten tersebut yang memang bernuansa kepada aksi-aksi yang intoleran dan cenderung teroris.
Demikian dikemukakan M. Hasan Chabibie, M.Si dalam diskusi virtual bertema “Menghentikan mata rantai paham radikal di Lembaga penyiaran dan Medsos“ di Jakarta belum lama ini seraya menambahkan, beberapa fenomena-fenomena yang ada menunjukan gejala terutama yang diluar negeri atau beberapa di sosial media yang sempat ramai kita lihat, anak-anak yang kemudian juga karena faktor lingkungan atau orang tua yang tidak memiliki cukup kesadaran sehingga terseret arus radikalisme dan intoleransi.
“Disisi lain bahwa media ini mengambil peran yang tidak kecil, jadi kalau dulu misalnya tahun 1990 atau tahun 2000 an yang tidak sekencang sekarang, saat media digital tidak semasif sekarang, hanya 1-2 atau 3 orang yang berani mengoleksi bahan-bahan yang semacam itu,” ujar Plt Kapusdata dan Informasi Kemendikbud ini.
Menurutnya, kita tidak bisa melawan gagasan-gagasan inbtoleran dan radikal itu dengan aksi-aksi pendek, karena yang hidup itu pemikiran, yang hidup itu gagasan, mereka kadang berani bertaruh nyawa untuk kemudian untuk bisa merealisasikan mewujudkan gagasan-gagasan yang menurut sebagian pihak itu benar dan dipaksakan untuk benar.
Sementara itu, Dr. Muhamad Luthfi Zuhdi, MA mengatakan, perjalanan tentang radikalisme dan terorisme adalah perjalanan panjang, dan tentu ideologi juga sangat berbeda-beda, dan kemudian latar belakangnya juga berbdea-beda, dan tentu ini bukan hanya ada di lingkungan kalangan umat islam saja, tapi juga ada di kalangan agama-agama lain, bahkan etnis-etnis yang berbeda.
“Dalam 20 tahun terakhir, TV, internet, tv digital telah menjadi kebutuhan masyarakat, saya kira kita tidak bisa hindarkan, dari kebutuhan-kebutuhan ini bahkan jumlah pemakai internet Indonesia sudah mencapai lebih dari 140 juta, jumlah yang cukup besar, bahkan nomer lima besar di dunia,” ujar Wakil Rektor Bidang IV Universitas Indonesia (UI) ini.
Menurut Zuhdi, dalam waktu 10 tahun terakhir sosial media juga jadi fenomena baru di masyarakat, selanjutnya sosial media juga menyentuh kehidupan keagamaan masyarakat, tentu banyak sekali orang yang belajar agama, belajar keilmuan, apalagi didalam situasi covid sekarang in, yang namanya pembelajaran jarak jauh menjadi sesuatu yang sudah dilakukan minimal 3 bulan terakhir ini mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi, juga dilingkungan pemerintah.
“Muncul fenomena dakwah online dengan berbagai konten, ada konten yang menengah, kemudian yang sangat kanan dan selanjutnya. Keterbukaan sosial media dalam perkembangan dimanfaatkan oleh kelompok radikal, bahkan kelompok teror untuk menyebar paham,” tambahnya.
Sedangkan pembicara lainnya, Mohammad Reza, M.I.Kom mengatakan, Komisi Penyiaran Indonesia itu setelah dibentuk dengan UU no.32 tentang penyiaran, ada yang namanya P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran, red). P3SPS ini harus menjadi tuntunan lembaga penyiaran dalam memproduksi program atau dalam memproduksi konten-konten yang akan disampaikan di TV.
“Konten religi di lembaga penyiaran kalau kita melihat data itu ada sekitar 5 sampai 10 % konten religi yang ada di lembaga penyiaran dibandingkan dengan program-program yang lain. Selain itu juga sesuai ratingnya konten religi ini berada di antara 2-3%, artinya penontonnya tidak terlalu banyak, berbeda dengan variety show, meski begitu ada yang menonton,” ujar Komisioner KPI ini.
Menurut Reza, dalam pasal 6 dan 7 P3SPS itu di lembaga penyiaran untuk konten dakwah dilarang mempertentangkan atau menyampaikan konten-konten yang mempertentangkan ataupun melecehkan, materi dakwah dan materi agama itu tidak boleh berisi penghinaan atau pelecehan agama tertentu, menghargai etika umum dan tidak bisa menyajikan muatan-muatan yang berisi perbedaan pandangan (Red/Bayu).