Foto: S. Indro Tjahyono (Penulis)
Oleh: S. Indro Tjahyono
Stramed, Presiden Jokowi akhirnya berhasil membentuk Kabinet Kerja yang kedua. Dari nama-nama yang dipanggil satu hari sebelumnya, reaksi publik biasa-biasa saja apalagi jika IHSG pun ikut pingsan. Publik tidak banyak kenal dengan wajah-wajah baru dan hanya “ingin lihat bukti kerjanya”.
Bukan Kabinet Kerja
Dari segi ketatanegaraan tipe kabinet ini tidak bisa dikatakan menganut sistem presidensial atau parlementer. Sehingga agak nyleneh dan tentu tidak tepat kabinet ini disebut kabinet kerja. Kabinet kerja lebih relevan berlangsung pada sistem presidensial.
Kabinet ini hakekatnya adalah “kabinet parlementer” dengan menampung 50 persen usulan partai. Aroma kepentingan partai politik (parpol) pasti kental pada kementerian yang dipegang orang parpol. Oleh karena itu jelas ini bukanlah postur suatu kabinet kerja, karena itu dinamakan Kabinet Indonesia Maju.
Lalu seperti apakah menteri nonpartisan yang sekarang dimunculkan? Menurut saya, menteri-menteri ini hanya bisa disebut “menteri pilihan presiden”. Baik itu untuk memenuhi tuntutan anak muda berprestasi, dari alumni yang sama, maupun pertimbangan subyektif presiden.
Tergantung Leadership Presiden
Jika bukan kabinet kerja, pertanyaannya apakah menteri ini bisa menjalankan pendekatan pada hasil (out put dan out come) seperti isi pidato Presiden Jokowi saat mengenalkan calon menterinya? Padahal menteri itu harus mandiri dan mampu menafsirkan instruksi presiden dengan baik. Presiden tidak mungkin masuk ke dalam ranah sektoral serta lebih suka mengganti menteri dan menegur secara terbuka.
Seperti diketahui pada Kabinet Kerja I, banyak harapan presiden yang kandas karena menteri tidak mampu menjalankan perintah presiden, misalnya menteri gagal mempercepat proses perijinan. Selain itu juga terdapat kementerian yang tidak berhasil mengundang investor dan meningkatkan ekspor. Dan satu kementerian yang tidak mampu menghentikan kebakaran hutan dan asap.
Oleh karena itu terlepas dari kualitas dan kapasitas menteri, presiden harus mengubah gaya kepemimpinannya lebih determinatif dan otoritatif. Kualitas menteri yang tinggi tidak memberi jaminan, karena sangat tergantung dengan kepiawaiannya dalam menghandle birokrasi yang bersifat konservatif. Sulit mengajak birokrasi untuk melakukan sesuatu yang “out of the box” seperti yang dituntut oleh Presiden Jokowi.
Potensi ditelikung birokrat
Alih-alih menteri dapat mengarahkan birokrasi, yang terjadi justru menteri baru terjebak dalam permainan birokrasi yang manipulatif. Ritme kerja menteri akhirnya harus mengikuti ritme kerja birokrasi. Dalam hal ini berlaku adagium “mengapa harus cepat kalau bisa diperlambat.
Kondisi birokrasi ini yang tidak berhasil diubah oleh Kemen Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB). Sikap diam Kemen PAN & RB terhadap bisnis perijinan usaha di kementerian dan pungutan liar dalam penyelesaian administrasi pertanahan membuktikan bahwa kementerian ini mandul. Birokrasi biasanya justru menciptakan suasana nyaman bagi menteri agar kebusukan dan mafia birokrasi yang koruptif dan manipulatif tetap berlangsung.
Sebaliknya pada Kabinet Kerja I, menteri yang berasal dari parpol dibantu dan mendapat pendampingan dari para birokrat untuk lakukan korupsi. Dalam kondisi inilah birokrasi kemudian menjadi kliptokrasi, yakni birokrasi untuk mencuri dan membocorkan keuangan negara. Bukan tidak mungkin menteri pada Kabinet Indonesia Maju (Kabinet Kerja II) akan mengalami hal yang sama dengan Kabinet Kerja I.
Tantangan menteri sangat berat
Pertimbangan rekruitmen menteri pada Kabinet Indonesia Maju sekarang jauh dari keinginan Presiden Jokowi untuk mengatasi masalah berat yang dihadapi pemerintahan saat ini. Daya beli yang merosot ,tingkat penanaman modal yang rendah, pertumbuhan ekonomi hanya 5.05%, pembangunan infrastruktur yang tidak brrdampak pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini menuntut semua kementerian harus berada dalam satu skenario dan sinergi dalam mengatasi masalah ekonomi yang berat. Menteri harus bisa menahan diri genit-genitan dan improvisasi dalam menjalankan programnya demi eksistensi dan popularitas.
Pertanyaannya bisakah kementrian melakukan sinergi dan kordinasi untuk mencapai tujuan bersama? Kultur kerja kementerian saat ini diwarnai sikap egosektoral yang masih sangat kuat. Dengan kondisi seperti ini mau tidak mau presiden harus lebih aktif dan serius membangun sinergi dan kordinasi antar kementerian, dan bukan menyerahkan sepenuhnya kepada menteri kordinator.
Keamanan dalam negeri dan kestabilan politik merupakan hal yang sangat diperhitungkan untuk berinvestasi di Indonesia. Penyusunan Kabinet Indonesia saat ini sudah didisain untuk menciptakan situasi keamanan yang kondusif bagi investor. Namun tidak mampu menciptakan stabilitas politik sepenuhnya walau sudah berusaha mengakomodir semua spektrum politik termasuk lawan politik.
Oposisi semakin kuat
Boleh saja berpikir bahwa susunan kabinet tidak mungkin memuaskan semua pihak terakomodasi. Namun situasi politik 2019-2024 bisa lebih runyam, mengingat polarisasi politik yang lebih pelik. Jumlah kelompok yang dikecewakan akan bertambah dan masing-masing akan meningkatkan sofistikasi perlawanannya.
Beberapa kelompok yang merasa dipinggirkan adalah kaum intelektual; aktivis dan mantan aktivis gerakan rakyat dan mahasiswa; organisasi eksekutif kemahasiswaan; serta organisasi kemasyarakatan. Mereka mungkin bukan kecewa terhadap susunan kabinet, namun semakin muak dengan kemunafikan, diskresi yang dilakukan pemerintah, penipuan dan kebohongan, cedera janji yang akumulatif dll. Mereka bukan hanya melawan pemerintah, tetapi akan melakukan perlawanan sebagai “show of force” jelang pemilu/pilpres 2024.
Hal itu belum termasuk relawan di kedua kubu yang merasa ditinggalkan dan dikhianati. Relawan Jokowi yang berjuang sejak 2012, yang ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan bukan sekedar berfoto bareng, pasti merasa kecewa. Apalagi Jokowi justru menempatkan orang yang baru sekejap numpang dalam gerakan relawan dan begitu gampang merekrut lawan dengan dalih kepentingan nasional.
Kabinet sebagai alat politik
Jika kekecewaan itu sudah berubah menjadi dendam pasti segala upaya untuk memberi tawaran apapun akan siasia. Segala perlawanan dari kelompok oposisi dan yang kecewa bisa saja diredam oleh aparat keamanan. Namun instabilitas politik itu sendiri telah membuat investasi tidak masuk dan investor lakukan relokasi ke negara tetangga.
Kondisi seperti itu kelihatannya sudah disadari oleh sang perancang susunan kabinet. Oleh karena itu mereka menyusun kabinet bukan sebagai korps yang siap bekerja. Namun seperti membangun satu pabrik di atas kapal induk militer yang siap berperang dengan kapal-kapal lawan di samudera.
Itulah segala kemungkinan yang akan dihadapi oleh Kabinet Indonesia Maju (Kabinet Kerja II) yang didisain sarat dengan tujuan politik, tetapi bukan demi kapabilitas. Hal itu terlihat pertama, sekedar memuaskan kaum milineal. Kedua, memperbesar kekuatan politik dengan menarik lawan politik. Ketiga, mencegah munculnya tokoh yang akan mencalonkan diri sebagai capres 2024. Keempat, kabinet yang kuat secara militeristik demi kemenangan 2024.
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.