Oleh : Andi Naja FP Paraga
Pengantar
Stramed, Organisasi Serikat Buruh/Pekerja masih melanjutkan kajian demi kajian terhadap RUU Cipta Kerja walaupun penolakan dan penerimaan terhadap RUU ini sudah terjadi. Artinya ada Serikat Buruh yang menerima tetapi ada yang tetap menolak.
Persoalan yang terus menjadi Kajian adalah Persoalan Tenaga Kerja Asing(TKA) lewat RUU Cipta Kerja ini mempermudah masuknya TKA baik yang memiliki keterampilan ataupun Unskill. Dengan tidak adanya kejelasan mengenai standar kompetensi seperti pengetahuan,keahlian dan keterampilan di bidang tertentu memang memberi cela besar bagi TKA untuk masuk dan menguasai semua lapangan kerja.
Alasan Kekhawatiran yang mendasar
RUU Cipta Kerja menghapuskan pasal didalam UU No.13 Tahun 2003 yang mewajibkan adanya izin tertulis dari Menteri Tenaga Kerja yang akan bekerja di Indonesia. Pasal yang dihapus tersebut Pasal 42 Ayat 1 Undang-undang Ketenagakerjaan.
RUU Cipta Kerja mengganti Kewajiban untuk memiliki ijin bagi TKA yang akan bekerja di Indonesia dengan kewajiban memiliki pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing(RPTKA) padahal sebelumnya harus dibuat diawal sebagai syarat untuk mendapatkan ijin kerja(IKTA)
RUU Cipta Kerja mengubah ijin pengesahan RPTKA dari Pemerintah Pusat. Ini artinya perluasan penerimaan TKA tidak lagi sekedar bagi KTA sebagai Pegawai Diplomatik,Konselur ditambah dengan anggota Dewan Direksi atau anggota Dewan Komisaris,TKA Pemelihara Mesin,TKA KASI,TKA Start Up,Kunjungan bisnis dan TKA Peneliti semata.
Dimana Ruang Pekerja dalam Negeri(Pekerja Pribumi)
Memang didalam RUU Cipta Kerja Pemberi Kerja TKA wajib menunjuk Tenaga Kerja Warga Negara Indonesia(Pribumi) sebagai tenaga kerja pendamping bagi TKA untuk tujuan Alih Tekhnologi dan Alih Keahlian,melaksanakan Pendidikan dan Pelatihan Kerja bagi Tenaga Kerja Pribumi sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh TKA,namun berbeda sekali dengan yang diatur didalam UU No.13 Tahun 2003 Kewajiban menunjuk Tenaga Kerja Indonesia sebagai pendamping dikecualikan bagi TKA yang menduduki jabatan direksi/komisaris,didalam RUU Cipta Kerja dikecualikan bagi TKA yang menduduki jabatan tertentu.
Dengan mengganti Frase Jabatan Direksi dan atau Komisaris dengan Frase Jabatan Tertentu dapat dipastikan hampir semua jabatan yang disandang TKA tidak lagi diwajibkan kepada pemberi kerja untuk menunjuk Tenaga Kerja Indonesia sebagai pendamping. Jadi berdasarkan RUU Cipta Kerja ini peluang Tenaga Kerja Indonesia menjadi pendamping TKA pun sangat kecil kalau tidak mau dikatakan tidak ada.
Jadi Omnibus Law RUU Cipta Kerja untuk siapa
Kita memang tidak boleh berhenti bertanya Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini dibuat untuk siapa jika sedikit sekali memberi ruang bagi pekerja dalam negeri sendiri. Pertanyaan ini tidak perlu dijawab oleh Pemerintah dan DPR RI dengan statemen yang bisa berubah atau berbeda antara statemen dengan realita.
Akan tetapi Pemerintah dan DPR RI harus menjawabnya melalui pasal demi pasal dalam RUU Cipta Kerja ini dengan jelas dan tegas bahwa ruang untuk pekerja dalam negeri terbentang luas dari Jabatan Direksi/Komisaris hingga pekerjaan/jabatan terbawah. Artinya harus ada penambahan bab khusus yang membahas ruang/peluang bagi pekerja domestik yang tidak hanya pasal dan ayat saja dalam RUU Cipta Kerja ini.
Jika tidak demikian patutlah diyakini bahwa RUU Cipta Kerja ini dibuat hanya semata-mata memberi ruang seluas-luasnya bagi TKA dari semua negara bekerja di Indonesia dan memposisikan Tenaga Kerja Domestik sebagai penonton saja. Ini jelas kegilaan yang membahayakan bagi Pekerja dalam Negeri karena mereka akan menjadi pengangguran ditengah lapangan kerja yang begitu luas.
Peluang Revolusi Sosial tak terhindarkan
Jumlah Angkatan Kerja semakin bertambah setiap tahun,penggangguran baru yang terjadi akibat Wabah Covid19 jutaan,Buruh yang dirumahkan tidak jelas nasibnya apakah akan dipekerjakan kembali atau tidak. Tentu jika dijumlahkan antara angkatan kerja yang bertambah setiap tahun dengan Pekerja berdampak Covid19 jumlahnya sangat besar. Ini berbuah Krisis Sosial yang bisa menciptakan Gejolak Sosial yang besar dan tak terbendung. Gejolak Sosial ini bisa berpotensi memicu Revolusi Sosial dan menghentikan laju Pemerintahan. Hal ini sangat berbahaya.
Penutup
Langkah Nekat Pemerintah dan DPR RI ini memang revolusioner tetapi revolusioner yang membahayakan rakyatnya sendiri. Sebaiknya keduanya bisa menahan diri dan tidak memaksakan perubahan ini apapun alasannya jika keduanya menangkap persoalan yang muncul dibawah. (ANFPP)
Penulis
-Sekjend DPP (K)SBSI 2014-2019
– Ketua MPO Federasi FTNP (K)SBSI 2019-2023
– Koord HUMAS DPP (K)SBSI
Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.