Foto: Jacob Ereste (Penulis), sumber foto: Makasarsatu.com
Oleh: Jacob Ereste
Stramed, Buruh di rumah dan dirumahkan tak identik dengan pulang kampung atau mudik. Buruh di rumah itu artinya kepatuhan pada pemerintah yang hendak memutus penyebaran virus corona agar warga bangsa Indonesia bisa selamat dari virus mematikan itu.
Buruh yang dirumahkan itu adalah pekerja yang tidak boleh bejerja oleh pengusaha. Bisa jadi artinya pun di PHK atau cuma dibayar separo upahnya dari yang seharusnya dubayar setiap bulan.
Kondisi seperti inilah yang sedang dialami oleh kaum buruh Indonesia, tak hanya di Jakarta. Adapun Jakarta yang dijadikan acuan supaya tak ribet menyebut semua daerah sebagai contoh gambaran dari kondisi yang sedang mendera buruh pada umumnya di Indonesia.
Refresentasi dari kondisi kaum buruh di Jakarta diantaranya lagi menunggu paket sembako yang dijanjikan sejak PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dimulai pada 10 April 2020 hingga kini masih banyak yang belum meberima paket yang diiming-imingkan itu.
Idealnya setelah dua pekan PSBB berjalan — sampai hari ini — paket bahan pangan itu sudah harus diterima. Tapi realisasinya banyak buruh yang belum meberimanya.
Sementara mudik atau pulang kampung agar biaya hidup dapat diatasi — meski dalam wujud apa adanya saja– toh sudah tidak boleh dilakukan. Hingga aparat khusus perlu mekakukan pencegatan di jalan raya untuk ke luar dari Jakarta agar biaya hidup yang ikut membuat ketakutan dari biaya hidup sehari-hari termasuk sewa tempat kontrak dan rekening air dan listrik terus mendesak untuk dibayar.
Dalam kondisi seperti itulah jaum buruh yang se Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) yang tak pulang kampung atau mudik ini seperti sedang dikejar banyak hantu, tak hanya virus jahat itu.
Di kampung atau di udik itu biaya hidup pasti bisa ditekan meski dengan konsumsi yang terbilang amat sangat sederhana. Ketela pohon masih bisa diperoleh di kebun samping rumah. Begitu juga sayur mayur yang paling murah bisalah dipetik dari pagar hidup yang masih tumbuh segar di sekeliling rumah.
Suasana kangen seperti itu yang juga ikut mendesak untuk mudik atau pulang kampung. Apalagi paket sembako semakin tidak jelas bisa dudapat atau tidak bersama uang tunai yang sudah dijanjikan sejak dua pekan silam.
Memang suasana berpuasa di bulan ramadhan jadi semakin ‘indah’ juga dalam pemahaman sufistik klasik. Puasa tanpa makan sahur pun bisa semakin nikmat diresapi. Atau bahkan, semangat berpuasa pun jadi bertambah meningkat. Cuma yang sempat ikut mengganggu ketika menyaksikan rekaman dari audiovisual yang menayangkan pembagian bingkisan langsung dari Presiden, atau antrean dari penerima paket bantuan yang berdesak-desakan seakan kalap dan hilaf pada ajakan menjaga jarak agar virus cirona tidak semakin meluas menular kepada kita atau dari kita kepada orang lain.
Boleh jadi itulah hikmahnya PSBB yang harus kita lakukan di bulan suci ini. Karena kesabaran serta ketabahan masih bisa terus diulur sepanjang mungkin. Siapa nyana seusai puasa corona pun mereda. Meski paket sembako dan bingkisan tunai mungkin saja tak kunjung diterima. Toh kesabaran serta ketabahan telah diuntai sepanjang ramadhan. Sebab ramadhan sendiri toh sudah lebih dari sepekan kita jalani.
Demikian curhat seorang kawan buruh yang tak mudik dan tak pulang kampung pada bulan suci ramadhan. Meski belum juga dapat kiriman maupun bingkisan dari Presiden sampai tujuh hari puasa berlangsung.
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.