Foto: Ilustrasi, sumber foto: BW
Stramed, Bangsa yang berdaulat harus memiliki hukum sendiri. KUHP yang saat ini dipakai adalah KUHP yang dibuat pemerintah kolonial Belanda.
Menghargai kritikan mahasiswa yang menyoroti masalah RUU, yang kontroversi ini. Terdapat dua spektrum dalam dinamika politik ketatanegaraan yaitu government political sphere dan social political sphere.
Kekuatan hukum itu bertumpu pada arsitektur atau bangunannya, yaitu pada struktur bahasanya. Pilihan bahasa akan menentukan syarat demokrasinya terpenuhi. Ketetapan hukum harus memenuhi asas legalitas.
Yang jadi masalah adalah KUHP ini mengandung hukum yang di luar asas legalitas. Hukum adat, kebiasaan, itu diatur dalam pasal 1 RUU KUHP, padahal hukum adat sejatinya adalah existing rules, hukumnya berlaku hukum adat, tidak perlu dipidanakan karena sudah ada hukum adat. Hal inilah yang membuat KUHP menjadi simalakama apabila digunakan tidak hati-hati.
Terkait pasal penghinaan Presiden, pernah menguji pasal penghinaan Presiden di MK beberapa tahun lalu, kemudian disetujui MK, sehingga dihapus. Tetapi saat ini muncul lagi dalam RUU KUHP. Kata ‘menghina’ dalam pasal 6 RUU KUHP ini sangat ambigu. Perlu diperjelas agar masyarakat yg mengkritik tidak lantas dianggap menghina. Tafsir penghinaan ini ekstensif, meluas. Subjektifitas kritik sangat tergantung pada orang yang mengkritik, ilmu yang dimilikinya, tingkat pendidikannya.
Pada intinya, fundamental sosial ruu ini bertentangan dengan semangat demokrasi. Kita negara demokrasi tapi masih muncul pasal penghinaan presiden, menjadi sebuah pertanyaan besar.
Kejahatan itu ada relativitasnya yaitu tempat, waktu, dan pelaku. Bisa jadi kejahatan yg terjadi disini, justru tidam dilarang di tempat lain. Seperti bunuh diri, di RI dilarang, bisa dipidana. Sementara di Belanda, tidak dilarang karena hak untuk hidup dan mati adalah hak asasi warga yang dilindungi. Begitu juga perjudian di beberapa tempat, dll.
Terkait pemetaan asumsi masyarakat. Ada asumsi masyarakat homogen dan asumsi masyarakat heterogen. Dalam hal ini, kita memiliki masyarakat yang berbeda atau heterogen. Ada hukum adat, tapi kita heterogen. Masyarakat yang berada di luar suku tertentu, tidak bisa dihukum atas hukum adat yang bukan sukunya. Sehingga, kita harus memiliki hukum yang berada diatas hukum adat untuk menyelesaikan konflik karena perbedaan.
Kalau Presiden ssebagai lembaga negara dihina, dilecehkan oleh seseorang, pasti kita sebagai warga negara merasa terhina juga. Sebagai praktisi hukum, merasakan sekali adanya perbedaan pada teori hukum sampai S3, dengan praktiknya. Hukum tidak hitam putih, dalam penerapannya ada banyak variabel, yang harus dicari oleh penyidik ketika ada kasus adalah apakah ada perbuatan melanggar hukum (Red).