Foto: Aksi massa di Papua yang berlangsung rusuh, sumber foto: Istimewa
Stramed, Sifat yang terus dilakukan TNI dan Polri terhadap masyarakat Papua dimanapun berada khususnya di Indonesia bagian timur membuktikan Indonesia sangat memaksakan kesatuan saat ini.
Demikian dikemukakan Surya Anta dalam jumpa pers Aliansi Mahasiswa Papua di Neighbor Coffee Shop Jakarta seraya menegaskan, dari sikap seperti itu yang selalu dilakukan semakin menegaskan bahwa Papua bukan merupakan bagian Indonesia.
Sementara itu, Pendeta Suar Budaya mengatakan, dirinya mewakili pemuka agama sangat menyayangkan ada tindakan kekerasan seperti ini.
“Menghimbau kepada seluruh gereja-gereja di seluruh Indonesia untuk lebih memperhatikan teman teman masyarakat Papua yang berada di sekitar,” ujarnya seraya berharap peristiwa seperti ini tidak terulang
Sementara itu, Ambros menyayangkan statemen pejabat daerah di Yogyakarta, Surabaya dan Malang yang mengatakan agar mahasiswa Papua untuk pergi dan pulang ke Papua. “Saya yakin jika mahasiswa Papua kembali ke Papua dan mengadu kepada Pemda Papua, kami pastikan Papua tidak lagi menjadi bagian dari Indonesia,” gertaknya.
Dalam kesempatan tersebut, Aliansi Mahasiswa Papua mengeluarkan pernyataan sikap bahwa pertama, mengutuk pelaku pengepungan asrama Papua Surabaya, dan penyerangan aksi damai di Malang serta pemukulan yang berujung pada penangkapan di Ternate dan Ambon. Kedua, menangkap dan mengadili aktor dan intelektual pelaku dalam pengepungan asrama Papua Surabaya dan penyerangan aksi mahasiswa Papua di Malang. Ketiga, Polres Surabaya, Kodim Surabaya dan Pemerintah Daerah Surabaya bertanggung jawab atas pembiaraan terhadap TNI, Pol PP dan Ormas yang dengan semena mena mengepung dan merusak Asrama Papua.
“Keempat, pecat Anggota TNI dan Satpol PP yang memulai provokasi penyerangan asrama Papua di Surabaya; Hentikan Rasisme ! Manusia Papua Bukan Monyet; Tangkap dan Adili Pelaku pemberangusan demokrasi di Surabaya, yang mengakibatkan 5 orang terluka berat dan belasan luka ringan lainnya; Ganti segala kerugian materil dan imateril akibat dari penyerangan Asrama Kamasan Surabaya dan hormati serta lindungi hak kebebasan berkumpul dan mengemukakan pendapat sebagai mana dimaksud dalam konstitusi,” demikian pernyataan sikap Aliansi Mahasiswa Papua (AMP, red).
Sementara itu, di Medan, Sumatera Utara, Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Papua Sumatera Utara menyatakan, stop diskriminasi dan kekerasan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. “Stop penjajahan dan berikan kebebasan atau kemerdekaan secara penuh kepada Negeri Papua Barat,” tulis mereka dalam pernyataan sikapnya.
Sedangkan di beberapa tempat di Manokwari, Papua Barat, telah terjadi aksi anarkis massa dengan melakukan penebangan pohon, pembakaran ban bekas, pembakaran umbul-umbul Merah Putih, pembakaran bangunan yang dilakukan oleh masyarakat Asli Papua terkait pasca terjadinya penangkapan terhadap Mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya Jawa Timur.
Sekitar pukul 05.30 WIT, terjadi pemalangan jalan dengan membakar ban bekas dan menebang pohon di depan Hotel Swissbell, Koramil 1801-01/Kota di jalan Yos Sudarso. Kemudian, pukul 06.30 WIT, massa melakukan pemalangan jalan dan pembakaran ban bekas di Perempatan Lampu Merah Sanggeng jalan Yos Sudarso. Setengah jam kemudian, massa melakukan pemalangan jalan dan pembakaran umbul-umbul merah putih di jalan raya Yos Sudarso. Pukul 07.30 WIT, terjadi pemalangan dan akses lalu lintas macet total di Putaran Sahara jalan Yos Sudarso, Pukul 07.40 WIT, terjadi pemalangan di Komplek Fanindi.
“Pukul 07.50 WIT, terjadi pemalangan jalan dan pembakaran ban bekas didepan Pelabuhan dan Bank Indonesia di jalan Siliwangi, dilanjutkan pukul 07.54 WIT, telah dilakukan pemalangan di Pertigaan Swapen Perkembunan dengan menggunakan Kayu di jalan Swapen Perkebunan.Kemudian, pukul 07.55 WIT juga terjadi pemalangan di Pertigaan/Putaran Pengadilan Negeri Manokwari dengan menggunakan Kayu dan pembakaran ban serta pemecahan botol-botol dan pukul 08.00 WIT, pembakaran ban dilakukan massa di depan Hotel The Alexander di jalan Jenderal Sudirman, Manokwari,” ungkap beberapa saksi mata.
Kerusuhan di Manokwari sebagai ekses kejadian pada 16 Agustus 2019 di Surabaya, Jawa Timur. Asrama Mahasiswa Papua, di Kalasan, Kota Surabaya, Jawa Timur digeruduk ratusan massa yang berasal dari sejumlah organisasi masyarakat (ormas) pada Jumat (16/8) siang.
Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com di lokasi, dari ratusan massa yang memadati depan asrama mahasiswa itu, ada yang mengenakan atribut ormas Front Pembela Islam (FPI) dan Pemuda Pancasila (PP). Namun, sebagian besar dari mereka mengenakan pakaian bebas. Sekelompok orang dari massa tersebut menyanyikan lagu bernada kebencian dengan lantang yang ditujukan bagi penghuni asrama mahasiswa.
Salah satu perwakilan massa, Muhammad, mengaku datang bersama ratusan orang setelah melihat foto tiang bendera merah putih yang telah dipatahkan oleh mahasiswa Papua.
Foto itu sendiri, kata Muhammad sudah beredar di grup-grup media sosial.
“Di satu grup (WhatsApp) bendera merah putih dipatah-patahkan dan dibuang di selokan, ini kelihatan kan tiang-tiangnya, saya lihat di grup Aliansi Pecinta NKRI,” kata Muhammad, saat ditemui di lokasi.
Usai melihat foto tersebut, kata Muhammad, massa langsung bergegas menuju Asrama Mahasiswa Papua sekitar pukul 14.00 WIB. Namun setibanya di depan asrama, mereka mendapati bendera tersebut telah kembali terpasang. Kendati demikian, Muhammad seolah tidak puas. “Pantaskah bendera kita dibuang di selokan,” tuturnya.
Sementara itu, juru bicara mahasiswa Papua Dorlince Iyowau mengatakan kejadian itu bermula ketika sejumlah aparat keamanan dan Satpol PP diduga mendatangi asrama pukul 15.20 WIB. Mereka merusak pagar asrama.
“Pukul 15.20 tentara masuk depan asrama, kemudian di susul lagi Pol PP, lalu rusaki semua pagar. Mereka maki kami dengan kata-kata rasis,” kata Dorlince saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Tak lama setelah itu, lanjut Dorlince, sekelompok ormas datang dan melempari batu hingga mengakibatkan kaca asrama pecah. “Mereka sedang dobrak-dobrak pintu depan dan belakang asrama Papua. Kami terkurung di aula. Sampai saat ini ormas, tentara, dan Pol PP belum masuk. Masih di luar pagar,” katanya.
Hingga kini, sejumlah ratusan ormas dan anggota kepolisian terus memadati depan asrama Papua. Sementara Jalan Kalasan ditutup dan disterilkan dari arus kendaraan.
CNNIndonesia.com sudah menghubungi Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Frans Barung, namun belum ada respons dari yang bersangkutan. Terpisah, sekelompok massa Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) diduga mendapat perlakuan represif dari aparat kepolisian dan TNI saat hendak melakukan aksi di Kota Ternate, Maluku Utara, pada Kamis (15/8) kemarin.
Juru bicara FRI-WP Malut, Arbi M Nur mengatakan, peristiwa itu berawal ketika massa dari FRI-WP akan melakukan aksinya di depan Pasar Barito, Kota Ternate. Tiba-tiba muncul sejumlah aparat kepolisian dengan seragam dan berpakaian bebas serta TNI yang membubarkan paksa.
“Itu kemarin sekitar pukul 16.30 WIT kami dibubarkan paksa. Ada tindakan kekerasan yang dilakukan, semua dipukul di seluruh bagian tubuh,” ujar Arbi saat dihubungi, Jumat (16/8).
Bahkan, lanjut Arbi, salah satu peserta aksi hampir pingsan karena dipukul oleh aparat. Ia mengaku sempat meminta pada aparat agar membuka ruang bagi massa untuk membubarkan diri namun permintaan itu diabaikan. “Kami bilang ke mereka akan bubar dan minta diberi ruang untuk jalan. Tapi kami dipukulin sampai kami diangkut ke polres pakai mobil pikap,” tuturnya.
Arbi mengklaim sebelumnya telah menyampaikan surat pemberitahuan pada polisi terkait aksi massa yang akan dilakukan. Namun permintaan itu ditolak tanpa alasan yang jelas. Arbi mengatakan, aksi itu awalnya hanya untuk memperingati perjanjian antara Belanda dengan Indonesia dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Menurutnya, perjanjian itu membicarakan masa depan West Papua namun tak sedikit pun melibatkan warga Papua. “Kami ingin agar RIS bertanggung jawab atas penjajahan itu,” ucapnya.
Aksi serupa juga dilakukan di sejumlah wilayah di Indonesia, di antaranya Jakarta, Surabaya, Semarang, Salatiga, dan Yogyakarta. “Hanya di Yogyakarta saja yang tidak dibubarkan,” katanya (Red/dari berbagai sumber).