Stramed, Kami di KSPI tentang turunan cipta kerja tentu kita tolak. Tentang peraturan pemerintah yang kami soroti yang merupakan merugikan buruh yaitu izin tenaga kerja asing. RPTKA justru sekarang lebih mudah didapatkan, malah lebih banyak juga TKA yang akan masuk. Juga ada ketika hanya kunjungan bisnis tanpa menggunakan RPTKA, ujar Kepala Humas KSPI Kahar S. Cahyono dalam webinar tentang “Bahaya Pembahasan PP Turunan UU Cipta Kerja Tanpa Dikawal Rakyat, yang diadakan oleh Silaturahmi Pekerja Buruh Rindu Surga, Minggu (14/03).
Untuk peraturan PP no 35 dan 34 tahun 2021 kita soroti tentang waktu kerja. Untuk karyawan kontrak tidak diberi tahu berapa lama pembaharuan sebagai karyawan kontrak. Misal kontrak 5 tahun, dan berapa lama lagi kontrak bisa dilanjutkan. Lalu soal istirahat atau cuti, dalam PP ini memang ada istilah istirahat panjang, tapi tidak dicantumkan berapa lama bisa dilakukan cuti panjang. Lalu soal pesangon, dalam PP no 35 pesangonnya hanya setengahnya ini jelas mendegradasi. Lalu ada efesiensi PHK untuk mencegah kerugian. PP no 36 tentang upah perjam itu bisa digunakan jenis tertentu tapi tidak ada penjelasan lebih jelas, tidak ada penjelasan jenis pekerjaan yang menggunakan upah per-jam. jelas Kahar.
Kahar mengatakan bahwa KSPI meminta pemerintah untuk membatalkan UU Cipta Kerja, kami rasa bahwa UU tidak memberikan proteksi kepada pekerja dan buruh. Dan kari kinerja pemerintah sekarang semakin memburuk, apalagi tentang mensejahterakan kaum buruh.
Persoalan tentang PP juga menyoroti tentang penyusunan UU. Semenjak ini banyak dituntut oleh banyak orang untuk dibatalkan dan tetap ditetapkan dan disahkan dan berharap presiden mengeluarkan wewenang dalam pengesahan dan dibuatkan peraturan Presiden dan peraturan pemerintah. Seharusnya melibatkan kelompok masyarakat dalam penyusunan UU dan untuk kepentingan masyarakat. Lalu sekarang apa? Ya yudisial review. Seandainya untuk investasi ya untuk kepentingan rakyat bukan untuk multi corporation nation, terang Direktur PKAD Slamet Sugianto.
Saya kira kita harus memikirkan solusi dalam UU Cipta Kerja apalagi turunannya. Untuk masalah skill, warga indonesia juga memiliki skill, jika hanya karena masalah ekonomi lalu masuknya TKA ya harus kita pikirkan, jelas Slamet.
Yang ada di PP 34 yaitu Pergeseran prinsip, menggunakan TKA, dulu dilarang, sekarang dibolehkan. Lalu sekarang juga tidak ada kewajiban TKA untuk memahami budaya indonesia. Juga sekarang pekerjaan harus outsourcing, semua penyerahan pekerjaan boleh diserahkan. Artinya berlaku lagi KUH perdata zaman belanda. Juga sekarang selamanya jadi pekerja kontrak. Soal PP 35 Juga sekarang buruh bisa bekerja di banyak perusahaan, prinsip poliandri. Soal PHK, ada sistem untuk memberangus serikat pekerja. Serikat pekerja sudah tidak berfungsi lagi, baru berfungsi jika ada penolakan dari pekerja. Hak-hak pekerja tetap diambil untuk membayar hak pekerja tidak tetap, jadi pengusaha tidak membayar atau menambah. Jadi semacam kompensasi, tapi asalnya kompensasi itu dari pekerja tetap, pesangon dikurangi, ungkap Saepul Anwar dari SPSI.
Soal PP 36, ini pemiskinan rakyat. Tidak ada UMK, yang ada UMP. Upahnya juga tidak naik, kita cuma nunggu UMP hingga bisa naik setinggi UMK. Kemudian upah pekerja di sektor mikro dan kecil, hanya menikmati 25% dari keseluruhan upah, ini memiskinkan sekali. Nyatanya ini seperti melindungi, tapi dalam prakteknya tidak menguntungkan. Hak pekerja biasanya naik, sekarang tidak pernah naik, hanya dapat 3 kali. Karena iuran dikaitkan dengan jaminan kehilangan pekerjaan. Tapi kalau untuk pekerja kontrak, kalau kontraknya belum habis ya bisa pakai jaminannya, dan sebaliknya. SPSI posisinya sekarang dilematis, kita menolak UU Cipta kerja. Kalau kita tak beri masukan terhadap PP, nanti katanya kita setuju. Kalau kita nanti waktu disahkan menolak, nanti dibilang kenapa kemarin-kemarin tidak bersuara atau mengusulkan? Kalau kita demo, buat kerumunan massa. Lalu kalau kita koar-koar di medsos, ya nanti kena UU ITE. Kita ya cuma bisa berdoa aja. Dilematis lah, papar Saepul Anwar.
Menurut Suro Kunto dari SPBRS bahwa SPBRS menolak omnibus law, katanya sih ini membangun negeri ini. Tapi menurut SPBRS, omnibus law bukan solusi pamungkas, harusnya sesuai aturan Allah SWT, aturan yang berpihak kepada umat. Harusnya negara membuat aturan yang memberikan kesejahteraan untuk umat. Samakan persepsi, sistem kapitalisme tidak akan membawa kesejahteraan. Kembalilah ke sistem islam, terapkan ke sistem kenegaraan.(Red)