Stramed-Jakarta. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memperkirakan pemulihan ekonomi Indonesia akan lebih lambat dari ekspektasi meskipun saat ini sudah vaksin Covid-19 sudah tersedia.
“Ada vaksin tetapi kasus harian tinggi, akhirnya banyak yang khawatir tertular virus ketika belanja, jalan-jalan atau makan di luar rumah. Kinerja konsumsi rumah tangga bisa kontraksi cukup dalam di kuartal I 2021. Awalnya ada optimisme tapi sepertinya pemulihan ekonomi berjalan lebih lambat dari ekspektasi,” ujar Bhima belum lama ini.
Bhima pun berpendapat adanya vaksin tak menjadi motor utama pemulihan ekonomi. Dia mengatakan, pemulihan ekonomi ini perlu ditopang oleh kenaikan stimulus pemerintah dan penanganan kasus harian Covid-19 yang lebih optimal. Adapun, hingga saat ini jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia tersebut bertambah. Pada 25 Januari 2020 terdapat tambahan 9.994 kasus positif Covid-19 di Indonesia. Dengan begitu, maka total kasus positif di Indonesia sebanyak 999.256.
Bhima menerangkan, kasus harian yang masih tinggi serta penerapan pembatasan sosial akan berdampak pula pada masyarakat yang menahan diri untuk berbelanja. Bahkan menurutnya, saat ini pemilik rekening di bawah Rp 100 juta turut melakukan penghematan.
“Sebelumnya kelas atas yang tahan uang di bank terlihat dari pertumbuhan simpanan yang tinggi. Saat ini ada kecenderungan pemilik rekening di bawah Rp 100 juta berhemat, bahkan yang sudah diberi insentif tunai dari pemerintah juga tidak langsung membelanjakan uangnya,” jelas Bhima.
Berdasarkan data settlement Bank indonesia (BI), dalam dua pekan pertama tahun 2021 tercatat aliran modal asing yang masuk ke pasar keuangan domestik sebesar Rp 8,55 triliun.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira melihat, tren aliran modal asing yang masuk masih akan terus berlanjut ke depan.
“Ini seiring dengan mulai berjalannya pemerintahan Biden, rebound beberapa harga komoditas sejak awal tahun, juga optimisme yang terbangun akibat vaksinasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia,” kata Bhima kepada Kontan.co.id, Senin (18/1).
Sayangnya, Bhima masih melihat beberapa hal yang bisa menghambat aliran modal asing yang masuk, seperti bencana alam yang terjadi di beberapa daerah yang bisa mengganggu distribusi logistik dan pemulihan ekonomi.
Hambatan lain yang berpotensi muncul adalah laporan keuangan emiten yang di bawah ekspektasi investor, serta peningkatan non performing loan (NPL) beberapa bank.
Namun, yang paling harus diperhatikan adalah jumlah kasus harian Covid-19. Seperti yang kita ketahui, dalam beberapa waktu terakhir kasus harian virus ini terus mencetak rekor tertingginya.
Bhima pun mengimbau agar pemerintah terus berupaya dalam menekan kasus harian tersebut. Kalau kasus harian bisa ditekan sampai 3.000 kasus misalnya, Bhima yakin Indonesia banjir dana asing. Selain itu, Bhima juga mengimbau agar Bursa Efek Indonesia (BEI) perlu mendorong startup untuk melantai di bursa. “Makin banyak startup apalagi level unicorn listing di pasar modal, inflow juga bakal deras,” tambahnya. Lebih lanjut, aliran modal asing yang masuk ini membantu menyuburkan prospek nilai tukar rupiah. Perkiraannya, nilai tukar rupiah bakal bergerak di rentang Rp 14.100 hingga Rp 14.500 hingga kuartal pertama tahun ini.
Lonjakan kasus virus corona (Covid-19) di berbagai negara membuat bank sentral di seluruh dunia kembali khawatir terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Pekan lalu, sejumlah bank sentral memang melakukan pertemuan. Mulai dari Tokyo ke Frankfurt, sejumlah bank sentra tengah mempertimbangkan prospek gangguan ekonomi global akibat pengetatan yang kembali dilakukan berbagai negara untuk menahan penyebaran virus corona.
Mengutip Bloomberg, sejumlah bank sentral pun memilih untuk mempertahankan kebijakan moneternya yang lebih longgar di awal tahun ini.
Meski cenderung stabil, Bhima tetap meminta agar otoritas terkait tetap waspada dengan risiko mata uang Garuda. “Seperti neraca transaksi berjalan yang surplus di kuartal III-2020, bisa kembali defisit seiring normalisasi. Impor juga bisa membengkak jika ada fase pemulihan,” tandas Bhima.
“Pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2021 masih sesuai dengan perkiraan Desember lalu. Ketidakpastian sebelumnya, seperti pemilihan AS dan kesepakatan perdagangan Brexit telah mereda, seiring dengan vaksinasi,” kata Gubernur European Central Bank (ECB) Christine Lagarde pada pekan lalu.
Namun dengan tingkat infeksi yang semakin tinggi, dan pembatasan baru pada aktivitas masyarakat yang berlaku hampir di seluruh dunia, Lagarde dan rekan-rekannya di otoritas moneter global hanya dapat berharap vaksinasi bisa mengurangi dampak Covid-19.
Meski begitu, dia memahami proses vaksinasi akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat bereaksi.
Sentimen itu kemungkinan akan dibagikan ke seluruh bank sentral yang akan bertemu dalam beberapa hari mendatang. Bank sentral yang akan melakukan pertemuan kebijakan moneternya di pekan ini adalah bank sentral Brasil, Kanada, Indonesia, Malaysia, Norwegia, Afrika Selatan, Sri Lanka, Turki dan Ukraina.
“Pembuat kebijakan di Frankfurt akan merasakan perasaan deja vu yang kuat seiring dengan peningkatan infeksi Covid-19 berisiko berupa serangkaian tindakan penahanan baru. Ini berpotensi dengan konsekuensi ekonomi yang mengerikan. Untungnya, saat kawasan euro memasuki putaran ketiga pembatasan, pasar keuangan sudah memahami fungsi reaksi ECB dan itu secara signifikan mengurangi kebutuhan untuk aksi kaget dan kagum pada pertemuan 21 Januari,” papar Bloomberg Economics.
Sementara itu, posisi utang pemerintah hingga akhir Desember 2020 mencapai Rp 6.074,56 triliun. Berdasarkan laporan APBN KiTa yang dikutip Kompas.com, Minggu (17/1/2021) hal tersebut setara dengan 38,68 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan jumlah tersebut, utang pemerintah sepanjang tahun 2020 meningkat Rp 1.296 triliun atau 27,1 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 yang sebesar Rp 4.778 triliun.
Secara lebih rinci dijelaskan, komposisi utang pemerintah tersebut terdiri atas pinjaman sebesar Rp 852,91 triliun. Untuk pinjaman dalam negeri besarnya Rp 11,97 triliun sedangkan pinjaman luar negeri mencapai Rp 840,94 triliun.
Sementara itu, sebagian besar dari sumber utang, yakni mencapai 85,96 persen, berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN) yang mencapai Rp 5.221,65 triliun Untuk SBN domestik, nilainya Rp 4.025,62 triliun, sedangkan dalam bentuk valas nilainya mencapai Rp 1.196,03 triliun. Dari sisi mata uang, utang pemerintah pusat pun didominasi dalam mata uang rupiah, yakni mencapai 66,47 persen dari total komposisi utang pada akhir Desember 2020.
“Dominasi mata uang Rupiah ini seiring kebijakan pengelolaan utang yang memprioritaskan sumber domestik dan penggunaan valas sebagai pelengkap untuk mendukung pengelolaan risiko utang valas,” sebut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati seperti dikutip dari laporan tersebut. Ia pun mengatakan, peningkatan nilai utang pemerintah disebabkan oleh pelemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19. “Serta peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional,” kata Sri Mulyani seperti dikutip dari laporan tersebut (Red/dari berbagai sumber).