Oleh : Andi Naja FP Paraga
Stramed-Jakarta, Sang pengusul ditiadakannya pendidikan agama di sekolah bukan siapa-siapa dan mungkin termasuk orang gagal beragama. Celakanya usulan ini seolah datang dari kubu paslon 01 untuk menguatkan tuduhan terhadap kita anti pendidikan agama bahkan PKI. Fitnah Keji ini rupanya masih bersileweran pasca Pilpres 2019, sehingga menteri agama membuat pernyataan resmi : ” TIDAK BENAR pendidikan agama akan dihapuskan dari Sekolah. Pendidikan agama di sekolah tidak hanya perlu tapi harus dipertahankan selama-lamanya.
Tuduhan ini jelas sangat tidak beralasan ditengah giatnya pemerintah menekankan pendidikan agama tidak hanya di Sekolah-sekalah berbasis agama yang didirikan oleh pemerintah dan masyarakat tapi juga di sekolah-sekolah negeri. Pemerintah pun merintis lahirnya undang undang pendidikan agama berbasis pondok pesantren bahkan berbasis pendidikan di rumah rumah ibadah seperti pendidikan di Gereja, Wihara, Pura dan lain-lain. Tentu semua upaya ini dilakukan sebagai perwujudan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Indonesia memang bukan negara agama tetapi penduduknya beragama sehingga dapat dikatakan Indonesia agamis bahkan sangat agamis. Di Indonesia pengamalan beragama sudah dimulai sejak manusia Indonesia masih berupa Janin, kemudian menjadi bayi di aqiqah, dibaptis dan saat kanak-kanak mulai diberikan pendidikan dasar. Ketika itu pula mulai diajarkan beribah secara disiplin hingga mereka menjadi remaja yang mencintai Ibadah bahkan rajin beribadah di rumah-rumah ibadah sesuai dengan agama yang diyakininya. Ketika menjelang usia dewasa kesadaran beragama itu pun muncul dengan sendirinya.
Adalah fikiran yang tidak rasional ketika dituduhkan pemerintah akan menghilangkan pendidikan agama di sekolah. Karena semua jenis pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia harnya bisa terarah melalu sekolah termasuk pendidikan agama. Hanya saja persoalan kuantitas pendidikan agama diantara sekolah negeri umum dan sekolah khusus agama tentu tidak sama. Demikian pula pada sekolah-sekolah swasta yang dikelola langsung oleh yayasan atau organisasi. Perbedaan kuantitas waktu pelajaran tentu menjadi penyebab terjadinya perbedaan kualitas. Kuantitas dan kualitas inilah yang seharusnya menjadi bahasan BUKAN menggulirkan ide peniadakan ilmu agama di sekolah.
Rasanya tak habis-habisnya ada pihak yang memperkeruh suasana ditengah ketenangan dan kedamaian yang terajut begitu indah. Kenapa ada pihak pihak seolah tidak suka Indonesia tentram. Bukankah daripada isu negatif dikembangkan lebih baik merintis pola pendidikan agama yang lebih tepat untuk sekolah agar kuantitas dan kualitasnya bisa didapatkan secara bersamaan. Ide-ide yang positif itu tentu sangat dibutuhkan. Kita membutuhkan gagasan-gagasan cemerlang untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan agama di sekolah sehingga bisa menjadi kurikulum pendidikan yang memastikan sekolah sebagai tempat terbitnya siswa yang cerdas namun beriman.
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.