Foto: Tri Dharma Eka Karma, sumber: Puspen TNI
Oleh : Anjani Natula
Isu kembalinya militer ke dalam dunia politik-sipil Indonesia, atau yang dikenal dengan istilah “Dwifungsi” belakangan ramai dibicarakan ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 tahun 2019 tentang jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia (TNI). Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan rencana restrukturisasi TNI dalam bentuk penambahan 60 pos jabatan struktural baru.
Hal ini dipicu dengan adanya data bahwa berdasarkan Rapat Pimpinan TNI tahun 2017, jajaran TNI mengalami kelebihan 141 Perwira Tinggi dan 790 Perwira Menengah yang didominasi dari Angkatan Darat. Selain di level perwira, TNI juga mengalami kelebihan ribuan prajurit di level Bintara dan Tamtama.
Prajurit-prajurit yang tidak kebagian jatah jabatan ini kemudian masuk kedalam kategori “Luar Formasi” atau sering diistilahkan dengan sebutan “non-job”. Mereka harus sabar menunggu, bahkan hingga tiga tahun, sebelum mendapat jabatan baru.
Surplus prajurit di tubuh TNI tidak hanya disebabkan oleh faktor sederhana terkait lebih banyaknya prajurit yang direkrut dibanding jumlah jabatan yang tersedia. Permasalahan surplus ini jauh lebih rumit daripada itu.
Surplus prajurit adalah masalah serius. Terus menumpuknya prajurit non-job, terutama di level perwira, dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik internal di tubuh TNI karena ketidakpuasan atau kecemburuan para prajurit yang “terlantar” karir dan pangkatnya. Profesionalisme dan program modernisasi TNI-pun dapat terhambat karena para pimpinan TNI harus disibukkan dengan permasalahan manajemen personel akut. Selain itu, surplus prajurit menyebabkan lebih banyak anggaran terpakai untuk belanja pegawai dibanding untuk pembelian, riset, dan pengembangan senjata.
Meskipun dalam Pasal 1 Ayat 1 secara jelas dituliskan bahwa Perpres ini hanya mengatur jabatan fungsional prajurit dalam suatu satuan organisasi TNI, beberapa pihak berpendapat bahwa kekhawatiran yang muncul di masyarakat cukup beralasan karena pemerintah sebelumnya sudah mengeluarkan sinyal kuat untuk “memperbolehkan” semakin banyak anggota aktif TNI berkarir di institusi sipil. Rencana ini kemudian dilanjutkan oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang menginginkan prajurit TNI aktif dapat menempati jabatan eselon satu atau eselon dua di lembaga atau kementerian sipil.
Jika ide Hadi Tjahjanto ini diterapkan, akan muncul kesan pemerintah hanya mengeluarkan solusi-solusi jangka pendek alias “instan” untuk menyalurkan prajurit-prajurit non-job, disamping itu akan bertabrakan dengan visi yang disampaikan oleh Jokowi pada 14 Juli 2019 di Sentul, Jawa Barat, terkait reformasi birokrasi yang bertujuan lembaha negara akan semakin lincah, sebab dengan masuknya TNI aktif (termasuk Polri aktif) dalam struktur birokrasi jelas akan merusak jenjang karir Aparatur Sipil Negara (ASN), bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi.
Menurut Evan A. Laksmana, peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), surplus prajurit muncul akibat kurangnya peran manajemen personel TNI sebagai institusi, terutama dalam hal promosi pangkat dan jabatan, apalagi kenaikan pangkat/jabatan seorang prajurit di tubuh TNI lebih didorong oleh faktor kedekatan atau intervensi politik. Kedekatan dan loyalitas junior dengan seniornya dilihat lebih menjamin kenaikan pangkat dibanding prestasi sang prajurit itu sendiri.
Permasalahan juga terjadi dalam sistem pengukuran dan evaluasi prajurit yang tidak lengkap, tidak akurat, dan tidak terintegrasi, sehingga indikator apakah seorang prajurit pantas naik pangkat atau menduduki suatu jabatan menjadi tidak jelas. Hal ini memungkinkan terjadinya lobi-lobi jabatan yang tidak sesuai sistem.
“Beberapa solusi jangka panjang yang dapat diambil pemerintah. Pertama, meningkatkan transparansi indikator kenaikan pangkat yang berdasarkan pada prestasi (merit-system) sang prajurit. Kedua, membuat kebijakan “up-or-out” yaitu kebijakan yang memungkinkan seorang perwira untuk keluar dari militer jika dalam jangka waktu tertentu tidak memenuhi syarat untuk naik pangkat. Ketiga, mempermudah prajurit TNI yang ingin keluar dari militer dengan memberikan pelatihan karir tambahan dan kebijakan pensiun dini. Selain untuk mengurangi surplus, solusi ini juga diperlukan guna memastikan bahwa prajurit-prajurit yang menempati jabatan tinggi adalah mereka yang benar-benar terbaik dan memiliki kapabilitas sesuai jabatannya,” ujar Evan A. Laksmana.
Pada dasarnya, Perpres terkait jabatan fungsional TNI perlu segera direalisasikan terutama bagi anggota TNI yang berkarir di Mabes TNI, dan tidak perlu berlaku bagi anggota TNI yang ditempatkan di lembaga sipil seperti BIN, BNPT, BNPB, Kemenko Polhukam, Kementerian Pertahanan, Basarnas, BSSN, Kemendagri, Kemenlu, dan lain-lain, karena sebenarnya over load perwira tinggi dan menengah tersebut merupakan persoalan dalam TNI, seharusnya dapat diselesaikan dengan memperperluas struktur dan rentang kendali di TNI sendiri misalnya pengamanan perbatasan bisa dibuat detasemen/batalyon ataupun setingkat korem sendiri atau membuat detasemen baru untuk menjangkau rentang fungsi pertahanan dan keamanan.
Disamping itu, perlu diintensifkan fungsi operasi militer selain perang (OMSP) dimana TNI dapat memperbanyak program kerjanya dalam memerangi peredaran senjata ilegal/rakitan, patroli udara dan laut di wilayah atau pulau terluar, peredaran dan penjualan satwa ilegal, penyelundupan dan perdagangan orang, pencegahan konflik sosial, membentuk dan memperluas fungsi teritorial TNI dengan adanya organisasi mengurusi masalah Tentara Masuk Desa dengan dipimpin oleh perwira minimal setingkat kolonel dalam rangka menunjang pelaksanaan dan pengamanan program infrastruktur yang dilaksanakan Jokowi, perlunya dibentuk Kodim di tiap kabupaten/kota diseluruh Indonesia mengingat ancaman strategis global, regional dan nasional ke depan yang sulit diantisipasi, termasuk memperbanyak keberadaan Korem serta Kodam dengan menaikkan status dan pangkat perwira yang menjabatnya dan lain-lain, sehingga tidak perlu anggota TNI aktif ramai-ramai masuk lembaga sipil.
Diharapkan dengan adanya Perpres terkait jabatan fungsional TNI, maka anggota TNI yang berada atau berkarir di instansi sipil “akan kembali ke Mabes TNI”, karena peranan mereka sebagai pejabat fungsional lebih diperlukan oleh TNI, mengingat sudah ada “kesamaan dan pemahaman” terhadap budaya institusi, daripada mereka mengabdi di institusi sipil walaupun “masih berbau keamanan” seperti BIN dan BNPT karena berbeda kultur dan mekanisme budaya organisasi dan manajemen pengetahuannya, sehingga pada akhirnya malah akan menyulitkan Jokowi sendiri dalam melakukan reformasi birokrasi yang menjadi salah satu fokus pemerintahannya mendatang.
*) Penulis adalah pemerhati masalah politik dan keamanan.
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.