Foto: Presiden Joko Widodo saat bertemu dengan Prabowo Subianto, sumber foto: Wartakota.com/Alex Suban
Oleh : Syaiful,S.Sos
Stramed, Pertemuan perdana antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto pasca pemilu 2019 berlangsung di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Lebak Bulus, Jakarta Selatan pada 13 Juli 2019. Dalam pertemuan tersebut, Prabowo Subianto menyampaikan langsung ucapan selamat kepada Joko Widodo sebagai presiden terpilih. Prabowo Subianto juga menyatakan siap membantu pemerintah untuk kepentingan rakyat namun Prabowo Subianto juga mengatakan akan menyampaikan kritik kalau ada kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat karena demokrasi membutuhkan pengawasan dan penyeimbang (check and balances). Pertemuan kedua tokoh ini memang perlu dilakukan untuk proses rekonsiliasi supaya masyarakat tidak lagi terkotak-kotak seperti saat masa kampanye berlangsung. Sebelumnya, Prabowo Subianto – Sandiaga Uno juga sudah menerima putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh gugatan sengketa Pilpres 2019, yang diajukannya.
Dengan demikian Pilpres 2019 dimenangkan oleh pasangan nomor urut 1, Joko Widodo – KH Ma’ruf Amin dengan perolehan sebanyak 85.607.367 suara atau 55,50% dari total suara sah nasional.
Pemilu 2019 serentak sendiri digelar pada 17 April 2019. Pada hari tersebut lebih dari 187 juta pemilih baik di dalam negeri atau luar negeri untuk pertama kalinya memilih secara serentak calon anggota legislatif (Pileg) dan calon presiden – calon wakil presiden. Dengan adanya keserentakan, Pemilu 2019 memiliki beberapa perbedaan dengan Pemilu 2014. Mulai dari penyelenggaraan, jumlah parpol peserta pemilu, hingga metode penghitungan suara parpol.
Perbedaan mendasar dari penyelenggaraan Pemilu 2019 yakni secara serentak. Pada 2014, Pileg dan Pilpres diselenggarakan secara terpisah. Perbedaan itu ditandai dengan digabungkannya UU Pileg, UU Pilpres, dan UU Penyelenggaraan Pemilu menjadi hanya UU Pemilu. Selain itu, jumlah partai politik (parpol) yang berlaga di Pemilu 2019 dibandingkan Pemilu 2014 juga berbeda. Pada Pemilu 2014 lalu, pemilu diikuti oleh 12 parpol nasional dan 3 parpol lokal Aceh. Sedangkan pada Pemilu 2019 diikuti oleh 16 partai politik nasional ditambah 4 partai politik lokal di Aceh.
Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 cukup tinggi yakni mencapai 81 persen. Antusiasme ini menunjukkan kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi. Kedewasaan sendiri ditandai dengan pemahaman tentang hak pilih dan ikut menentukan hasil pemilu. Namun ada interpretasi lain bahwa sesungguhnya masyarakat yang begitu antusias mencoblos adalah bentuk mekanisme pertahanan diri untuk mencegah potensi konflik, atau bentuk-bentuk ketakutan lainnya, yang dikhawatirkan bisa menimpa Indonesia jika mereka berdiam diri di rumah.
Mekanisme pertahanan diri ini tumbuh selama masa kampanye akibat fear-mongering atau kampanye menjual ketakutan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang terus meningkat sampai menjelang masa tenang. Akibatnya, masyarakat pun memberdayakan diri dan berbondong-bondong mencoblos untuk melindungi dirinya agar ancaman tersebut tidak menjadi kenyataan.
Kampanye menjual ketakutan itu lalu mendapat respon dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dimana SBY membuat surat yang menyebutkan bahwa cara-cara kampanye seperti itu berpotensi memecah-belah bangsa. Polarisasi itu begitu ekstrem sehingga harus ada sebuah rencana rekonsiliasi pasca pemilu 2019 serentak. Gesekan-gesekan antara kubu pendukung Koalisi Indonesia Kerja dan Koalisi Indonesia Adil Makmur terjadi begitu keras, terutama di media sosial, yang telah tumbuh subur menjadi ladang hoak yang miskin fakta.
Sesungguhnya, sebuah kontestasi pemilihan presiden di sebuah negara yang besar seperti Indonesia akan tetap menempatkan pihak yang kalah pada posisi terhormat. Namun unjuk kekuatan yang berlangsung selama masa kampanye harus berhenti. Kedua kubu harus menanggalkan seragam atau atributnya. Siapa pun kubu yang kalah harus siap bertransformasi menjadi peran lain, misalnya menjadi oposisi di parlemen.
Kata rekonsiliasi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan sebagai tindakan menyembuhkan hubungan persahabatan untuk kembali ke keadaan semula. Rekonsiliasi kebangsaan, dengan demikian bisa diartikan sebagai upaya menyembuhkan kembali hubungan persaudaraan dan persatuan bangsa, setelah sebelumnya retak atau koyak oleh menguatnya perdebatan. Rekonsiliasi pasca pemilu tentu dapat menjadi teladan bagi publik, bahwa kedua pasangan calon (paslon) merupakan pemimpin yang mengajarkan perdamaian. Demi nilai-nilai dan kepentingan sebagai bangsa, sudah semestinya menyambut positif keberanian tersebut, termasuk nilai-nilai yang melekat pada pimpinan negara, Presiden, pimpinan MPR, DPR, secara individu berseberangan namun mampu dan berani melihat ruang, mengedepankan sistem ketatanegaraaan, harus merepresentasikan dan memperkuat kebangsaan, untuk tetap saling bersilaturahmi yang digunakan untuk mempersatukan keterbelahan pendukung masing-masing kontestan pilpres. Karena pada dasarnya, demokrasi bukan berarti menciptakan sekat perbedaan, namun demokrasi merupakan landasan untuk menciptakan persatuan dalam perbedaan.
Semua mesti merenung, melakukan refleksi, dan melihat secara jernih apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh bangsa ini. Kini, sudah tak ada relevansinya lagi untuk terus melakukan perdebatan, apalagi mengumbar permusuhan dan kebencian. Pilpres telah usai dan pemimpin terpilih sudah ditetapkan sehingga tidak ada gunanya terus memelihara kebencian dan permusuhan. Yang lebih penting dan yang dibutuhkan sekarang adalah suara-suara ramah dan damai yang mengajak untuk kembali bergandengan tangan, menguatkan kerja sama dan gotong-royong untuk menciptakan keharmonisan demi kehidupan bangsa yang lebih baik ke depan. Pemilu dan seluruh rangkaian prosesnya yang aman, damai, sukses dan berintegritas adalah dambaan bersama namun itu tidak datang dengan sendirinya. Dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh elemen bangsa. Termasuk generasi muda dan para stakeholders pemilu untuk mewujudkannya.
Komitmen itu hanya dapat terbangun ketika semua pihak mau memaknai pilpres secara komprehensif, bukan mengejar hasil semata, tetapi mematuhi peraturan tertulis maupun tidak tertulis dalam proses pemilu serta menghormati norma, etika, dan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan komitmen itu maka kondisi politik di tanah air pasca Pemilu 2019 akan tetap kondusif. Penulis berharap, semua pihak dapat menerima hasil dari seluruh rangkaian mekanisme pemilu tersebut dengan jiwa besar. Kita juga berharap, segala macam perdebatan yang marak selama masa-masa kampanye hingga beberapa bulan belakangan, dapat mereda dan bisa kembali bergandengan tangan mengukuhkan persaudaraan sebagai sebuah bangsa. Penetapan pasangan presiden dan wakil presiden RI terpilih oleh KPU RI harus dapat mengakhiri segala perselisihan dan perdebatan yang selama ini terjadi. Sehingga Indonesia yang kita cintai bersama akan semakin maju dan kuat.
*) Penulis aktif di Ikatan Keluarga Alumni Ponpes Darul Hikam Burneh, Bangkalan, Madura, Jawa Timur Artikel ini juga dimuat di SKH Memorandum dan Maduracorner.com
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.