Foto: Ilustrasi, sumber foto: Aanwijzing
Oleh : Erlangga Pratama
Stramed, Tema besar hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-74 adalah “SDM unggul, Indonesia maju”, dan juga sudah merupakan “janji politik” Presiden Joko Widodo bahwa dalam periode keduanya akan menggenjot kualitas sumber daya manusia Indonesia semakin meningkat agar mampu bersaing di kompetisi global. Peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia jelas sebuah keniscayaan, apalagi berdasarkan laporan yang dipublikasikan oleh World Economic Forum, peringkat kualitas sistem pendidikan di Indonesia berada di urutan ke-54 dengan skor 4,3, tertinggal 31 level dari negara tetangga kita, Malaysia yang ada di peringkat 23. Sementara itu, Inggris ada di rangking 24 dan Amerika Serikat di posisi ke-25. Mutu pendidikan di Indonesia masih kalah dengan Barbados, Selandia Baru, dan Jepang dengan skor 5,6; Estonia skor 5,7; Irlandia dan Qatar dengan skor 5,8; Belanda dengan skor 5,9; Singapura dengan skor 6,1; Belgia dan Swiss dengan skor 6,2 dan Finlandia dengan skor tertinggi 6,7.
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla juga sudah memperhatikan kesejahteraan guru melalui pemberian berbagai tunjangan kinerja, sertifikasi pendidikan dan lain-lain, namun sebenarnya permasalahan penambahan pendapatan atau gaji guru tidak otomatis akan meningkatkan mutu pendidikan vis a vis peningkatan sumber daya manusia. Menurut Dalton dan Gutierrez (2011) dalam jurnal Economy Policy, kenaikan gaji guru tidak serta merta mampu membawa perbaikan kualitas praksis pembelajaran di sekolah. Sebenarnya bagaimana wajah pendidikan di Indonesia?
Mozaik permasalahan pendidikan
Upaya dan tekad Presiden Jokowi untuk meningkatkan keunggulan mutu sumber daya manusia di Indonesia, agar Indonesia menjadi negara maju tentulah tidak mudah dan akan menghadapi “rintangan dan jalan terjal” ke depan, karena banyak mozaik permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam meningkatkan mutu sumber daya manusianya, dan itu diperkirakan banyak kalangan tidak akan tuntas dilaksanakan di era Jokowi yang akan berakhir tahun 2024 karena rumitnya permasalahan dan kemungkinan “goodwill Jokowi” belum tentu direalisasikan dengan “further goodwill” oleh bawahannya disegenap level Kementerian/Lembaga Negara Non Kementerian.
Permasalahan pertama pendidikan sebagai kunci utama meningkatkan mutu sumber daya manusia adalah masih banyaknya infrastruktur pendidikan yang mengalami kerusakan karena berbagai macam sebab. Dalam laporan Kilasan Kinerja 2018 Kemdikbud, disebutkan bahwa mayoritas SMA dan SMK belum punya laboratorium IPA.
Laporan itu juga mencatat bahwa dari sekitar 1,7 juta ruang kelas di seluruh Indonesia, sekitar 1,2 juta atau 69 persen di antaranya tergolong rusak.
Ruang Kelas SD: 74 persen rusak. Menurut data Kemdikbud tahun 2018, ada sekitar 1 juta ruang kelas untuk kegiatan belajar–mengajar SD di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, ruang kelas yang kondisinya tergolong baik hanya sekitar 280 ribu. Sekitar 600 ribu ruang kelas lain tergolong rusak ringan, 81 ribu rusak sedang, dan 107 ribu rusak berat. Artinya, dari seluruh ruang kelas SD di Indonesia sekitar 74 persennya tergolong rusak.
Ruang Kelas SMP: 70 persen rusak. Total ruang kelas untuk SMP mencapai 358 ribu. Tapi yang berkondisi baik hanya 106 ribu. Sebanyak 193 ribu ruang kelas SMP rusak ringan, 26 ribu rusak sedang, dan 31 ribu rusak berat. Kalau dilihat secara keseluruhan, sekitar 70 persen ruang kelas SMP di Indonesia berada dalam kondisi rusak.
Ruang Kelas SMA: 55 persen rusak. Ruang kelas SMA di seluruh Indonesia berjumlah 160 ribu. Jika dibanding dengan SD dan SMP, ruang kelas SMA yang kondisinya baik tergolong cukup banyak, yakni sekitar 72 ribu. Di luar itu, sekitar 75 ribu ruang kelas SMA tergolong rusak ringan, 6.401 rusak sedang, dan 7.025 rusak berat. Secara umumnya, sekitar 55 persen ruang kelas SMA di Indonesia tergolong rusak.
Ruang Kelas SMK: 53 persen rusak. Jumlah total ruang kelas SMK sekitar 162 ribu, tidak jauh berbeda dari SMA. Kelas yang berkondisi baiknya ada sekitar 75 ribu. Sekitar 78 ribu lainnya tergolong rusak ringan, 3.728 rusak sedang, dan 4.690 rusak berat. Totalnya, ruang kelas SMK yang rusak mencapai 53 persen.
Ruang Kelas SLB: 64 persen rusak. Ruang kelas Sekolah Luar Biasa (SLB) tercatat paling sedikit dibanding sekolah lainnya, yakni sekitar 22 ribu saja. Dari jumlah itu 7.999 di antaranya berkondisi baik, 12 ribu kelas rusak ringan, 936 rusak sedang, dan 822 rusak berat. Secara keseluruhan, ruang kelas SLB yang rusak mencapai 64 persen.
Sepanjang tahun 2018 Kemendikbud mempunyai sejumlah target untuk merehabilitasi ruang kelas dan juga merenovasi sekolah yang rusak. Namun demikian, menurut Kilasan Kinerja 2018 Kemdikbud, realisasinya masih jauh dari harapan. Rehabilitasi ruang kelas SD, misalnya. Dari target sebanyak 6.049, hanya 588 yang berhasil diperbaiki. Sedangkan untuk ruang kelas SMP, dari target rehabilitasi 10.000 hanya 3.815 yang terealisasi. Nasib program renovasi sekolah juga tidak jauh beda. Dari target renovasi 50 SD, sepanjang tahun 2018 Kemdikbud hanya merenovasi 2 sekolah saja. Sedangkan untuk renovasi SMA, dari target 591 hanya 100 yang tercapai (www.kemdikbud.go.id).
Permasalahan kedua adalah kekurangan guru dan dosen yang diperkirakan baru akan terpenuhi sampai tahun 2025. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menargetkan pemenuhan kebutuhan 707.324 guru pegawai negeri sipil atau PNS. Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud Supriano mengatakan, kekurangan 707.324 guru PNS terjadi karena pemerintah tak membuka perekrutan sejak 2011. Padahal, setiap tahun ada ratusan guru yang pensiun dan puluhan lainnya meninggal. Pemenuhan guru diprioritaskan untuk daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) seperti Papua.
Permasalahan ketiga adalah korupsi di dunia pendidikan. Ombudsman RI menemukan dugaan maladministrasi dalam pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi 2019. Di antaranya, Ombudsman menemukan praktik pungli hingga intervensi pejabat. Dugaan maladministrasi yang ditemukan Ombudsman meliputi tidak adanya SOP dan tim verifikasi/validasi untuk calon siswa pada PPDB tingkat SMP di Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, DKl Jakarta dan Bengkulu, ada intervensi pejabat daerah pada PPDB di Jawa Timur dan Bali, calon peserta didik yang menumpang nama di Kartu Keluarga penjaga sekolah di Jawa Barat, serta calon peserta didik anak guru yang diterima di luar jalur PPDB sesuai ketentuan yang terjadi di Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, dan Jawa Barat. Selain itu, Ombudsman juga menemukan adanya pungutan liar PPDB di Jawa Barat, penyelenggaraan PPDB SMA yang tidak menggunakan sistem zonasi dan terjadi di Nusa Tenggara Timur, DKl Jakarta, dan Sumatera Barat, ketidaksesuaian titik koordinat pada sistem jaringan online yang terjadi di Jambi dan Bali, serta permintaan sumbangan sebesar Rp 600 ribu kepada calon peserta didik yang terjadi di Kalimantan Barat (https://news.detik.com/berita/d-4640391/ombudsman-temukan-maladministrasi-di-ppdb-zonasi-pungli-intervensi-pejabat).
Berdasarkan data Ombudsman RI sebelumnya juga menyebutkan, sektor yang paling banyak dilaporkan terjadinya suap dan pungli ada di sektor pendidikan (45%) dari seluruh laporan. Hal ini selaras dengan data Kemendagri bahwa ada 7 aspek rawan pungli yaitu kepegawaian, pendidikan, perizinan, dana desa, pelayanan publik, hibah dan bantuan sosial serta pengadaan barang dan jasa.
Sementara, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pendidikan (KMSPP) mendesak pemerintah menginvestigasi kasus dugaan pungutan liar (pungli) dan jual beli kursi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019. Anggota KMSPP Ubaid Matraji menyatakan para pelaku pungli dan jual beli kursi dalam PPDB 2019 harus menerima sanksi keras. Dia khawatir kasus-kasus tersebut tidak hanya melibatkan sekolah, tapi juga dinas pendidikan dan pemerintah kabupaten/kota.
Kordinator Nasional Jaringan Peduli Pendidikan Indonesia (JPPI) tersebut menemukan indikasi pungli dalam penarikan biaya daftar ulang sejumlah siswa yang sudah lolos PPDB online. Menurut dia, seharusnya siswa tidak perlu membayar saat daftar ulang jika sudah lolos PPDB. Akan tetapi, Ubaid menemukan masih ada sekolah negeri yang memungut biaya Rp5-10 juta untuk biaya daftar ulang siswa (https://tirto.id/pemerintah-didesak-investigasi-pungli-dan-jual-beli-kursi-ppdb-2019-eejR).
Permasalahan keempat adalah terjadinya degradasi moral di kalangan pelajar dan mahasiswa. Dalam konteks pendidikan banyak perilaku tidak bermoral terjadi, antara lain kasus tawuran antar pelajar di beberapa sekolah, beredarnya video mesum yang pelakunya adalah siswa, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya, bahkan beberapa remaja putri rela menjual “kegadisan” demi untuk membeli handphone (HP), membeli pakaian bagus atau mentraktir teman.
Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2003) menyatakan sebanyak 32% remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota besar Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) pernah berhubungan seks. Kasus lain berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) hingga tahun 2008 pengguna Narkoba di Indonesia mencapai 3,2 juta orang. Dari jumlah ini 32% adalah pelajar dan mahasiswa.
Oleh karena itu, menjadi penting bagi pemerintah untuk “menertibkan atau meregulasi” arus informasi yang beredar di Indonesia, sebab siaran media elektronik berpotensi untuk merusak ketahanan nasional, termasuk merusak karakter bangsa seperti munculnya fenomena degradasi moral di kalangan pelajar, mahasiswa dan pemuda.
Seperti dikemukakan Siti Nur Aisyiyah dalam “Drama Televisi dan Ketahanan Nasional (2008)” mengatakan, ketahanan nasional suatu negara, peradaban dan karakter suatu bangsa, dapat kita ketahui, kita pikirkan dan rasakanketika kita menyaksikan program drama televisinya. Hal ini karenadalam setiap siaran televisi ada proses “selection effects”, “media effects” dan “virtuous circle” yang semuanya berhubungan dengan sebabakibat, kemampuan dan perilaku karakter media televisi dalammemberikan effects terhadap masalah sosial, perilaku (kejiwaan), sikap (pilihan/keputusan) dan pengetahuan politik (kebijaksanaan pola pikir) pemirsanya dalam referensi jangka panjang.
Permasalahan kelima adalah pendidikan belum link and match dengan lapangan pekerjaan, karena berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Februari 2019 ada di angka 5,01 persen dari tingkat partisipasi angkatan kerja Indonesia. Pada Februari 2019, jumlah pengangguran berkurang sebanyak 50 ribu orang dari 6,87 juta orang pada Februari 2018 menjadi 6,82 juta orang. Angka pengangguran terbuka di kota yang sebesar 6,3 persen masih lebih tinggi dibanding desa yakni 3,45 persen.
Oleh karena peliknya permasalahan yang dialami dunia pendidikan di Indonesia, sehingga tekad untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia pernah ditertawakan atau dipandang sepele, bahkan disebut sebagai amoeba atau tidak memiliki bentuk (Brotowijoyo, 1986 hal: 64). Banyak jenis amoeba yang hidup mandiri, antara lain Amoeba proteus, namun ada yang hidup parasitis dan menyebabkan penyakit disentri pada manusia dan hewan (anjing dan kucing), yaitu Entamoeba histolityca.
Solusi
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia bukanlah pekerjaan remeh temeh, sehingga diperlukan kesadaran, goodwill dan keterlibatan banyak pemangku kepentingan terkait dengan masalah ini. Sebenarnya, para founding father kita sudah menekankan pentingnya nation character building, namun ternyata bangsa ini terlena untuk melaksanakannya, sehingga daya saing globalnya masih kalah dengan beberapa negara tetangga ASEAN-nya.
Tekad pemerintahan Joko Widodo-KH. Ma’ruf Amin dalam periode 2019 s.d 2024 jelas menempatkan peningkatan kualitas manusia Indonesia sebagai prioritas pertamanya melalui mengembangkan Sistem Jaringan Gizi dan Tumbuh Kembang Anak; Mengembangkan Reformasi Sistem Kesehatan; Mengembangkan Reformasi Sistem Pendidikan; Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi; Menumbuhkan Kewirausahaan serta menguatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Sebelumnya, ketika berduet dengan Jusuf Kalla, Presiden Jokowi memiliki program Nawa Cita, dimana pada cita-cita kedelapan disebutkan bahwa pemerintah akan melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Hal ini jelas menunjukkan goodwill yang jelas dan konsistensi perhatian dari Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan peningkatan sumber daya manusia yang memiliki keunggulan dan berkarakter Indonesia.
Pendidikan karakter adalah hal paling mendasar untuk mencapai peningkatan kualitas sumber daya manusia yang paripurna, yaitu sosok generasi Indonesia yang unggul di level intellectual quotient (IQ), emotional quotionent (EQ), spiritual quotionent (SQ) dan juga memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme kepada negaranya yang sangat kuat.
Pedagog dari Jerman, FW Foester (1869-1966) mengatakan, 4 ciri pendidikan karakter yaitu : pertama, tindakan diukur berdasarkan hirarki nilai. Kedua, keteguhan prinsip. Ketiga, menginternalisasikan aturan-aturan menjadi nilai pribadi. Keempat, keteguhan dan kesetiaan.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan menenkankan kepada pembangunan karakter bangsa juga sudah lama dibahas dalam Islam. Secara filosofis pendidikan karakter merupakan kajian ilmu yang paling rasional dan aktual karena membahas tentang tingkah laku manusia yang tidak lekang oleh perubahan zaman. Selain itu pendidikan karakter memiliki landasan normatif, menurut Hamdani Hamid & Beni Ahmad Saebani antara lain: pertama, berasal dari ajaran Agama Islam, yaitu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, berlaku pula untuk ajaran agama lainnya yang banyak dianut manusia. Kedua, adat kebiasaan atau norma budaya.
Ketiga, pandangan-pandangan filsafat yang menjadi pandangan hidup dan asas perjuangan suatu masyarakat atau suatu bangsa. d) Norma hukum yang telah diundangkan oleh Negara berbentuk konstitusi, undang-undang, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bersifat memaksa dan mengikat akhlak manusia.
Sejak 14 abad yang lalu atau sejak pertama Al-Qur’an diturunkan, Islam telah memberikan konsep-konsep tentang pendidikan karakter. Salah satu ayat yang menerangkan tentang pendidikan karakter adalah Q.S Luqman ayat 12-24, Walaupun terdapat banyak ayat Al-Qur’an yang memiliki keterkaitan dengan pendidikan karakter, namun Q.S Luqman ayat 12-14 karena ayat ini mewakili pembahasan ayat yang memiliki keterkaitan makna paling dekat dengan konsep pendidikan karakter.
Allah SWT berfirman:
وَلَقَدۡ ءَاتَيۡنَا لُقۡمَٰنَ ٱلۡحِكۡمَةَ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِلَّهِۚ وَمَن يَشۡكُرۡ فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيد. وَإِذۡ قَالَ لُقۡمَٰنُ لِٱبۡنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَيَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيم. وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٍ وَفِصصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ.
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar”. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”
Hadits tentang bahaya menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ( البخاري)
“Idzaa wussidal amru ilaa ghoiri ahlihi fantadziris saa’ah.” Apabila perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kiamat. (HR Al-Bukhari dari Abi Hurairah).
Menyerahkan urusan bukan kepada ahlinya saja sudah menunjukkan tanda-tanda dekatnya Qiyamat. Apalagi justru yang diserahi itu pengkhianat lagi bodoh. Dalam hal urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya saja, dijelasksan haditsnya oleh Al-Munawi; sebab menyerahkan urusan dalam hal amar (perintah) dan nahi (larangan) kepada yang tidak amanah, rapuh agamanya, lemah Islamnya, dan (mengakibatkan) merajalelanya kebodohan, hilangnya ilmu dan lemahnya ahli kebenaran untuk pelaksanaan dan penegakannya, maka itu adalah sebagian dari tanda-tanda kiamat. (Al-Munawi, Faidhul Qadir, juz 1, Darul Fikr, Beirut, cetakan 1, 1416H/ 1996M, hal 563-564).
Outcome SDM unggul
Sementara itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia jelas akan menimbulkan keunggulan kinerja. Menurut Purba (2009: 7) kinerja merupakan suatu istilah dalam manajemen yang didefinisikan melalui perspektif atau sudut pandang yang berbeda dan tergantung dari implementasi di institusi apa pengertian tersebut ditempatkan. Istilah “kinerja” merupakan terjemahan dari performance yang sering diartikan sebagai “penampilan”, “unjuk kerja”, atau “prestasi” (Keban, 2008: 209). Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu (Simanjuntak, 2010:1).
Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang tertuang melalui perencanaan strategis suatu organisasi (Moheriono, 2009:60).
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, konsep kinerja merupakan suatu istilah dalam manajemen dengan pengertian yang berbeda-beda tergantung dari sudut pandang dan implementasi kinerja tersebut pada institusi apa konsep kinerja itu diterapkan.
Pengertian kinerja yang berarti prestasi yang diperlihatkan, kemampuan kerja, penampilan, unjuk kerja dan prestasi merupakan pengertian berdasarkan terjemahan dari kata performance.
Dari beberapa pendapat diatas diperoleh pengertian bahwa kinerja adalah prestasi atau gambaran tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan perencanaan strategis suatu organisasi.
Selanjutnya Bernadin and Russel dalam Keban (2008: 210) mengartikan kinerja sebagai “….the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period…” yang artinya adalah catatan tentang hasil akhir yang diperoleh setelah suatu pekerjaan atau aktivitas dijalankan selama kurun waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja hanya mengacu pada serangkaian hasil yang diperoleh seorang pegawai atau organisasi selama periode tertentu. Callahan dalam Muhammad (2008: 14) mendefinisikan kinerja organisasi adalah sampai seberapa jauh suatu organisasi mencapai hasil setelah dibandingkan dengan kinerja terdahulu dengan organisasi lain, dan sampai seberapa jauh meraih tujuan dan target yang telah ditetapkan.
Menurut Gibson, et al., dalam Purba (2009 :7), dikatakan bahwa kinerja adalah tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Batasan tersebut mengandung makna bahwa kinerja dinyatakan baik dan sukses, jika tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan baik. Pencapaian hasil ini sebenarnya dapat dinilai menurut pelaku, yaitu hasil yang diraih oleh individu (kinerja individu), kelompok (kinerja kelompok), institusi (kinerja organisasi), dan suatu program atau kebijakan (kinerja program/kebijakan). Kinerja individu menggambarkan sampai seberapa jauh seseorang telah melaksanakan tugas pokoknya sehingga dapat memberikan hasil yang ditetapkan oleh kelompok atau institusi. Kinerja kelompok menggambarkan sampai seberapa jauh suatu kelompok telah melaksanakan kegiatan-kegiatan pokoknya sehingga mencapai hasil sebagaimana ditetapkan oleh organisasi. Kinerja organisasi berkenaan dengan sampai seberapa jauh suatu organisasi telah melaksanakan semua kegiatan pokok sehingga mencapai visi dan misi organisasi tersebut.
Ukuran adanya kinerja unggul sebagai outcome dari peningkatan mutu sumber daya manusia sudah pernah dirumuskan oleh Malcolm Baldridge atau dikenal dengan Malcolm Baldridge Criteria for Performance Excellence (MBCfPE), adalah seperangkat ukuran penilaian kinerja suatu organisasi yang pada awalnya digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk memberikan Malcolm Baldridge National Quality Award kepada berbagai organisasi di negara tersebut. Anugerah tersebut diberikan oleh Nasional Institute of Standards and Technology (NIST) Departemen Perdagangan AS melalui Baldridge Performance Excellence Program sejak tahun 1987. Nama “Baldrige” diberikan sebagai penghargaan terhadap Malcolm Baldridge yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan AS periode 1981–1987 atas dukungannya terhadap peningkatan manajemen kualitas di AS.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia mulai menggunakan MBCfPE pada sekitar akhir 1990-an, dengan antara lain dimotori oleh PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) melalui program Telkom-2001 mereka.
Pada tahun 2004, Telkom membagikan pengalaman mereka dengan MBCfPE kepada sejumlah BUMN lain di Indonesia. Pertemuan ini melahirkan Forum Mutu BUMN (selanjutnya berubah menjadi Forum Ekselen BUMN, FEB) sebagai media berbagi pengalaman implementasi MBCfPE di lingkungan BUMN. FEB dan BUMN Executive Club (BEC) membentuk Indonesian Quality Award Foundation (IQAF) yang bertujuan untuk “membangun kinerja ekselen dan daya saing global para pelaku ekonomi dan yang mengatur pranata ekonomi, dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan”. Sejak tahun 2005, IQAF menyelenggarakan Indonesian Quality Award (IQA) yang memberikan penghargaan terhadap kinerja organisasi profit dan nonprofit berdasarkan MBCfPE. Kegiatan ini didukung oleh beberapa kementerian seperti BUMN, Perindustrian, Perdagangan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Ristek, serta berbagai institusi lainnya seperti KADIN Indonesia dan perguruan tinggi (UI, IPB, ITB, UGM, dll.).
Kriteria Keunggulan Kinerja Malcolm Baldridge pada dasarnya adalah sejumlah pertanyaan tentang berbagai aspek fundamental pengelolaan organisasi dalam konteks pencapaian kinerja unggul.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dikelompokkan ke dalam tujuh kategori yang kaitannya dapat dilihat pada gambar terlampir. Ketujuh kategori tersebut adalah kepemimpinan (leadership); Perencanaan strategis (strategic planning); Fokus pada pelanggan (customer focused), kalau untuk kepentingan Badan Intelijen Negara berarti fokus kepada national interest and serving just only to single user/client; Pengukuran, analisis, dan manajemen pengetahuan (measurement, analysis, and knowledge management); Fokus pada tenaga kerja (workforce focused); Fokus pada operasi (operation focused) dan hasil (result)
Intinya membangun kinerja unggul birokrasi didasarkan pada tujuh kategori terdiri dari; kepemimpinan, perencanaan strategis, fokus pelanggan/masyarakat, analisis dan manajemen pengetahuan, pemberdayaan sumber daya manusia, manajemen proses dan hasil-hasil organisasi yang dicapai yang terdiri dari hasil produk dan proses (product and process outcomes, hasil fokus pelanggan/masyarakat (customer-focused outcomes), hasil fokus sumber daya manusia (workforce-focus outcomes), hasil kepemimpinan dan tata kelola (leadership and governance outcomes), hasil keuangan dan pasar (financial and market outcomes).
*) Pemerhati Indonesia.
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.