Oleh : Bustaman al Rauf
Stramed, KSPI bermaksud melakukan unjuk rasa ke DPR RI pada hari Rabu (29/7/2020). Adapun tuntutan dalam aksi ini adalah meminta agar pembahasan omnibus law dihentikan. Sebaiknya pemerintah dan DPR RI fokus untuk menyelamatkan ekonomi dengan mencegah darurat PHK yang saat ini sudah terlihat di depan mata. Aksi rencananya akan diikuti massa buruh dari Jawa Barat, DKI, dan Banten akan memusatkan aksinya di DPR RI, termasuk di 15 provinsi yang lain.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyesalkan sikap DPR RI melalui Panja (Panitia Kerja) Pembahasan RUU Cipta Kerja di terus saja melakukan pembahasan meskipun DPR sedang reses. Sikap DPR RI yang memprioritaskan pembahasan omnibus law menimbulkan kecurigaan. Seolah-olah mereka sedang kejar target.
Seperti sedang terburu-buru untuk memenuhi pesanan dari pihak tertentu.
Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, ada hal lain yang mendesak untuk dilakukan ketimbang membahas omnibus law. Salah satunya adalah menyusun strategi untuk mencegah darurat PHK.
Menurut Said Iqbal, khusus untuk anggota KSPI di sektor testil dan garmen saja, selama pandemi ini sudah 96 ribu orang dirumahkan. Sebagian besar tidak mendapatkan upah penuh. Sedangkan yang di PHK sudah mencapai 100 ribuan orang yang tersebar di 57 perusahaan. Sedangkan yang masih dalam proses PHK dan saat ini sedang dalam perudingan dengan serikat pekerja terjadi di 15 perusahaan.
Menurut KSPI, sebagian besar buruh menolak omnibus law. Hal ini bisa dilihat dari aksi-aksi di tingkat nasional maupun di daerah, hampir seluruh elemen serikat buruh turun ke jalan untuk melakukan penolakan. Jadi kalau Menaker mengatakan “sebagian besar serikat buruh bersama kami”, itu hanya elit di beberapa serikat pekerja saja. Bisa dibuktikan, di tingkat bawah, sebagian besar serikat buruh yang elitnya disebut memberikan dukungan tadi sesungguhnya menolak omnibus law.
Sikap paradoks
Dari siaran pers yang dikeluarkan oleh KSPI menjelang rencana aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law tersebut, penulis melihat ada sikap paradoks, ambigu dan ketidakjelasan perspektif KSPI dalam melihat urgensi Omnibus Law.
KSPI menilai bahwa sudah ada darurat PHK di depan mata dengan fakta-fakta antara lain khusus untuk anggota KSPI di sektor testil dan garmen saja, selama pandemi ini sudah 96 ribu orang dirumahkan, Sebagian besar tidak mendapatkan upah penuh, terkena PHK mencapai 100 ribuan orang yang tersebar di 57 perusahaan dan dalam proses PHK dan saat ini sedang dalam perudingan dengan serikat pekerja terjadi di 15 perusahaan.
Pertanyaannya adalah apakah rangkaian aksi unjuk rasa yang “disetting” sejumlah elemen buruh termasuk KSPI akan dapat menyelesaikan permasalahan diatas, atau unjuk rasa tersebut malah akan memperburuk situasi ketenagakerjaan dan kemudahan berusaha di Indonesia?
Disinilah letak “waton suloyo alias asal beda” yang ditunjukkan KSPI dan sejumlah elemen buruh lainnya dalam melihat Omnibus Law. Bagi berbagai elemen masyarakat yang berfikir netral saja kepada penulis mayoritas menyatakan Omnibus Law dapat menjadi solusi memberantas over regulasi atau obesitas regulasi yang selama ini menghambat kemajuan ekonomi dan berusaha di Indonesia, walaupun beberapa pasal harus dibahas “hati-hati” agar tidak kebablasan sehingga merugikan generasi muda dan tenaga kerja masa depan Indonesia.
Soal elemen buruh yang masih resisten menolak Omnibus Law, pemerintah sepertinya bersama DPR RI sudah membuka partisipasi publik dengan melaksanakan public hearing berkali-kali walaupun hasilnya tidak maksimal karena dilaksanakan virtual akibat Covid-19, bahkan Kemenakertrans sudah membentuk Tim Teknis untuk membahas Omnibus Law Bersama elemen buruh, namun mereka malah “walk out”, sehingga patut dipertanyakan adakah agenda lain selain menolak Omnibus Law yang diusung oleh kelompok yang masih resisten/menolaknya?
Semoga saja tidak ada upaya mengkapitalisasi situasi yang berkembang untuk kepentingan “hidden notions” atau information warfare lainnya.
*) Penulis adalah pemerhati dinamika Omnibus Law. Tinggal di Pidie, Nanggroe Aceh Darusslam.
Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.