Oleh : Wilnas dan TW Deora
Stramed, “Perang” menyangkut status dan situasi West Papua tak hanya terjadi di pedalaman hutan Pegunungan Tengah Tanah Papua. Perang wacana menyangkut status dan situasi West Papua juga secara daring atau online di berbagai platform media sosial. Menariknya, kontra propaganda isu kemerdekaan West Papua itu menggunakan pola baru, termasuk dalam usaha mereka menyasar pengguna media sosial di Belanda dan Jerman.
Profesor David Robie adalah Direktur AUT Pacific Media Centre dan editor Pacific Journalism Review (PJR) yang mengunggah berita terkait isu West Papua, dengan ilustrasi foto salah seorang peserta demonstrasi mengenakan koteka, dicabut secara sepihak oleh Facebook. Berita yang dimaksud menyoroti peningkatan perhatian terhadap kebebasan media di Melanesia yang dipublikasikan oleh International Federation of Journalists (IFJ) dalam Pacific Journalism Review pada edisi terbaru mereka.
Profesor Robie awalnya menuding facebook telah menerapkan “tirani algoritma” dalam kebijakan “laporan komunitas” mereka. Dua surat protesnya, bersama protes-protes dari kelompok pengadvokasi kebebasan pers seperti Reporters Without Borders (RSF) dan International Federation of Journalists (IFJ) lama diabaikan tanpa respon.
Jurnalis dan peneliti forensik daring/online, Benjamin Strick dalam wawancaranya mengungkap hasil investigasinya terhadap kampanye disinformasi dan blokade media pada tahun lalu. Strick menyimpulkan kampanye disinformasi itu seiring dengan meningkatnya pergolakan di Papua.
Strick menyimpulkan berbagai konten disinformasi persoalan Papua itu diunggah ke internet dengan bot, akun media sosial yang menggunakan robot/program untuk bertindak secara otomatis. “Ini sudah pasti bots karena unggahannya disetel waktu, disebar berdasarkan algoritma otomatis.
Bellingcat meluncurkan hasil penelusuran terbaru mereka terkait operasi daring ‘anti West Papua merdeka’. Menurut laporan terbaru mereka, operasi pemengaruh daring yang baru itu bermaksud melawan gerakan pro kemerdekaan West Papua yang bermunculan di situs media sosial yang menonjol. Terdapat 100 sampai 200 akun pemengaruh, menggunakan semua media sosial utama seperti Twitter, Facebook, Youtube dan Instagram.
Proxy War dan Perang Dunia Maya
Riset GlobalWebIndex menunjukkan terjadinya peningkatan waktu rata-rata pemanfaatan media sosial dari 90 menit/hari pada tahun 2012 menjadi 143 menit/hari pada tahun 2019 atau sekitar sepertiga dari waktu yang digunakan untuk berselancar di dunia maya perhari.
Merujuk data Wearesosial Hootsuite (2019), pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi. Pengguna internet di Indonesia diperkirakan memanfaatkan waktu 195 menit/hari untuk menggunakan medsos. Sementara itu, pengguna internet di Philipina mengalokasikan waktu di media sosial hingga 241 menit/hari lebih tinggi dibandingkan Jepang yang hanya sekitar 45 menit/hari. Hasil riset tersebut memperlihatkan bahwa medsos telah mengambil peranan penting dalam kehidupan setiap manusia dan berpengaruh besar terhadap mindset dan perilaku manusia.
Pengumuman Facebook dan Twitter pada 19-8-2019 menjadi salah satu bukti Beijing memakai cara selain pengerahan tentara. :Secara keseluruhan, akun-akun ini sengaja dan secara khusus berusaha menyebar perselisihan politik di Hong Kong, termasuk merusak posisi dan hasil gerakan protes,” demikian pengumuman Twitter soal identifikasi ratusan ribu alam yang diduga sebagai media propaganda China. Twitter menyatakan punya bukti tepercaya bahwa akun-akun itu dikoordinasi Pemerintah China. Hal itu, antara lain, berdasarkan identifikasi yang menunjukan unggahan terkoordinasi dan dalam jumlah besar terkait unjuk rasa Hong Kong.
Selain di media sosial, sejumlah media massa China juga secara terbuka menyiarkan pandangan negatif terhadap unjuk rasa Hong Kong. Global Times, media yang dikelola China, dan Kantor berita Xinhua secara terbuka menyebut, pengunjuk rasa telah melakukan terorisme. Media-media itu men-dorong pengerahan pasukan China di Hong Kong. Ancaman sejumlah media juga menyiarikan ancaman selain pengerahan pasukan. Media mengingatkan ketergantungan Hong Kong pada China. Pangan segar, air, hingga energi dipasok China dalam jumlah besar ke Hong Kong. Pemerintah Hong Kong mengakui hal itu dalam sejumlah laporan pertanggungjawaban tahunan.
Pada 2017/2018, Hong Kong mengimpor 664 juta meter kubik air atau setara 67 persen kebutuhan kota itu dari China, sisanya dipenuhi dari waduk-waduk di sekitar Hong Kong. Ketergantungan Hong Kong pada Beijing juga terjadi dalam hal makanan. Setidaknya 90 persen kebutuhan sayuran segar dan daging babi segar Hong Kong dibeli dari China. Sementara 100 persen daging sapi segar dan 66 persen telur didatangkan dari China. Di sektor energi, 100 persen gas alam dan 99 persen elpiji Hong Kong dipasok China. Adapun 25 persen kebutuhan listrik Hong Kong dipasok dari PLTN di Guangdong. Sementara salah satu PLTA di Guangzhou memasok hingga 1.200 megawatt listrik ke Hong Kong.
Jadi jika ada akun-akun walaupun bersifat robot yang membela kepentingan nasional di Papua atau ingin mempertahankan integrasi Papua ke Indonesia maka hal tersebut adalah wajar dan lumrah, belajar dari bagaimana langkah serupa yaitu propaganda melalui media sosial dan media massa juga dilakukan Tiongkok untuk mempertahankan Hongkong sebagai bagian integral mereka. Pertanyaannya adalah mengapa media-media asing, termasuk IFJ, AUT Pacific Media Centre, Bellingcat dan beberapa media lokal di Papua hanya mempersoalkan soal Papua saja, kenapa mereka tidak berani mengkritik Tiongkok???. Oleh karena itu, sekali lagi perlu ditegaskan, tidak perlu ada media asing, peneliti dan NGO asing masuk ke Papua, karena pengalaman sebelumnya menunjukkan mereka memiliki agenda tersendiri juga.
*) Penulis adalah pemerhati masalah Papua.
Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.