Foto: Ilustrasi, sumber foto: Koin Works
Penulis: Almira Fadhillah (Pasca Sarjana Univ. Gunadarma)
Stramed, Kabar baik datang dari ekonomi negeri kita akhir-akhir ini. Pertama, berdasar keterangan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) realisasi investasi kurun waktu 2019 mencapai Rp. 809,6 triliun, jauh melebihi target yang ditetapkan oleh BKPM Rp. 792 Triliun. Target tercapai disebabkan upaya strategis pemerintahan fokus pada sektor usaha mikro dan menengah. Dampak dari terpenuhinya target ini adalah menciptakan penyerapan tenaga kerja yg mencapai 1 juta lebih orang, sekaligus ini pula bisa mendongkrak citra baik Indonesia bagi investor.
Kedua, keluarnya Indonesia dari daftar negara berkembang berdasar dalam kebijakan Kantor Perwakilan Dagang AS atau US Trade Representative. Meski tidak berdampak luas kebijakan USTR terhadap ekonomi Indonesia, namun ini bisa menjadi pemicu sekaligus membuktikan ekonomi Indonesia siap-siap secara de facto melesat menjadi negara maju. Tentu ini menimbulkan gairah ketertarikan investor untuk masuk ke Indonesia ditengah ketidakpastian kondisi ekonomi global saat ini, terlebih ancaman dampak virus corona.
Jika prestasi semua ini bisa dimanfaatkan dengan baik, pastinya membuka peluang besar Indonesia mencapai target menjadi negara ekonomi maju terbesar ke empat di tahun 2045. Langkah nyata pemerintahan sudah mulai memperlihatkan hasilnya, mengingat selama ini daya saing ekonomi Indonesia menjadi pusat perhatian presiden.
Tengok saja percepatan pembangunan infrastruktur, pemangkasan suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR), penurunan pajak umkm, dan penyerdehanaan regulasi lewat omnibus law. Semua itu dilakukan sebagai upaya meningkatkan produktifitas, kompetitif, dan koneksitas ekonomi Indonesia sehingga menciptakan biaya produksi yang lebih efisien dan tentunya berdampak pada daya saing ekonomi Indonesia.
Tinggal pertanyaan selanjutnya adalah bisakah trend ini mampu dijaga oleh pemerintahan. Mengingat di awal tahun 2020 hambatan investasi ekonomi yang dihadapi pemerintahan Indonesia tidaklah mudah. Dampak dari perang dagang AS dan Tiongkok mulai nyata. Ini terlihat dari indikasi melambatnya ekonomi Singapura yang menjadi pusat pergerakan ekonomi dunia. Laporan Produk Domestik Bruto (PDB) Singapura yang rilis agustus 2019 menunjukkan penurunan 3,8 persen kuran tiga bulan. Jika ini sampai pada kuartal ketiga tahun 2020 negatif berarti bisa dikatakan akan memasuki resesi teknis. Ditambah kini Singapura terimbas dampak virus corona yang membuat makin buruk kondisi ekonomi Singapura.
Di Indonesia, dampak virus corona diprediksi cukup signifikan, mengingat besarnya kontribusi ekonomi Tiongkok terhadap Indonesia, lebih-lebih bila persoalan virus corona ini tidak cepat tertangani. Dari sektor ekspor Indonesia ke Tiongkok tertinggi dibanding negara lain, yakni 16 persen. Jika ekspor ke Tiongkok turun, tentu defisit neraca perdagangan Indonesia akan lebih dalam negatifnya. Peningkatan kapasitas investasi langsung Tiongkok ke Indonesia juga berpotensi turun. Padahal kontribusi investasi Tiongkok di Indonesia di Tahun 2019 meningkat 16,82 persen dibanding tahun 2015.
Disamping itu, tidak meratanya penyebaran investasi masih terjadi hingga saat ini. Dari 10 propinsi tertinggi Penanaman Modal Asing (PMA), lima teratas semuanya dari Jawa. Jawa Barat paling tertinggi dengan 3.081 proyek PMA. Dampak dari tidak meratanya investasi menyebabkan daerah lain semakin tertinggal infrastruktur dan teknologinya.
Kendala lain, panjangnya polemik tentang disahkan dan tidaknya omnibus law hingga saat ini bisa menimbulkan rasa ketidakpastian bagi investor sehingga memicu perlambatan proses berinvestasi di Indonesia. Namun tampaknya pemerintahan akan tetap mewujudkan targetnya, yakni Indonesia menjadi negara ramah investasi meski masih ada pro kontra ditengah elemen masyarakat.
Omnibus Law dianggap strategi jitu untuk mempercepat investasi karena dianggap yang paling fundamental menghambat investasi selama ini. Perizinan yang menghabiskan waktu, bertele-tele, dan saling tumpang tindih disinyalir masalah utama minimnya investasi. Adanya kekacauan birokrasi dan panjangnya urusan administrasi membuat banyak investor berpikir ulang melakukan investasi. Masih banyak peraturan yang saling tumpang tindih sehingga kadang izin di sini sudah beres, di sana belum beres-beres yang bisa memakan berapa tahun baru bisa didapat proses izinnya. Kendala fundamental inilah coba diatasi oleh presiden dengan mengusulkan omnibus law agar percepatan investasi bisa direalisasikan. Lewat omnibus law, pemerintahan berharap terjadi sinkronisasi pada 2507 pasal menjadi 174 pasal.
Ditengah tantangan pelambatan realisasi investasi itu semua, dibutuhkan upaya sigap pemerintahan untuk terus mengestimasi dan mengantisipasi agar momentum positif pertumbuhan ekonomi diimbangi meningkatnya kelas menengah dan jumlah usia produktif yang tinggi terus terjaga. Dengan begitu jalan ramah investasi itu bisa berjalan mulus. Tentunya dianggap demikian bila iklim ekonomi sudah dalam kondisi saling ketersambungan baik infrastruktur maupun regulasi.
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.