Stramed, Persidangan atas terdakwa Habib Riziek Shibab (HRS) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang dilaksanakan secara elektronik, teleconference (ONLINE), jelas merugikan hak hukum pihak Terdakwa. Secara teknis persidangan ONLINE tersebut ternyata mengalami ganggungan audio secara fatal, dimana suara Terdakwa tidak bisa jelas dimengerti seluruh hadirin persidangan.
Sebaliknya bagi Terdakwa, HRS, juga tidak bisa mendengar secara jelas apa yang diucapkan oleh pejabat-pejabat pengadilan di persidangan. Dus, terjadi diskoneksi antara hakim dan jaksa di satu pihak, dan Terdakwa di lain pihak. Secara hukum, persidangan ONLINE seperti itu adalah suatu “CONTRA LEGEM” (Pelanggaran Hukum secara Nyata) oleh lembaga peradilan Indonesia. Suatu pencederaan atas azas “fair trial” pada umumnya, dan secara khusus merupakan pemangkasan hak terdakwa untuk membela diri di depan persidangan.
Dalam rilisnya TP3 menyatakan bahwa KUHAP adalah aturan main dalam beracara di pengadilan pidana. Sementara itu persidangan ONLINE, diberlakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.4/2020, yang kedudukannya bukan saja dibawah UU, tetapi juga menurut UU No.12/2011, PERMA tidak dikenal dalam hirarkhi perundang-undangan di Indonesia.
PERMA hanya mempunyai kekuatan mengikat secara internal yaitu berlaku untuk lingkungan Mahkamah Agung sendiri, tidak mempunyai kekuatan mengikat jika menyangkut kepentingan umum yang melibatkan Terdakwa.
Menurut KUHAP, Terdakwa harus dihadapkan ke ruang sidang secara fisik dan dalam keadaan bebas. Untuk menyimpangi ketentuan ini, maka harus merubah KUHAP dengan instrumen UU juga. Tidak boleh disimpangi dengan perundang-undangan selevel PERMA. Betul bahwa PERMA atau Peraturan Menteri (PERMEN) diakui keberadannya dalam praktek beracara dan bernegara, namun keberlakuannya harus atas perintah UU atau peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal persidangan ONLINE ini, tidak ada perintah dalam UU atau KUHAP atau peraturan yang lebih tinggi dari PERMA yang memperbolehkan MA membuat PERMA untuk melakukan persidangan secara ONLINE.
Fakta bahwa terdakwa HRS berada di Rutan Bareskrim ketika persidangan berlangsung di PN Jakarta Timur sudah jelas menunjukkan pelanggaran nyata bahwa terdakwa disidang tidak dalam keadaan bebas. Selain itu Majelis Hakim juga salah memahami atau malah sengaja memanfaatkan PERMA No.4/2020 untuk kepentingan politis dengan cara mengangkangi hukum.
Kami sudah paham bahwa persidangan ini bersifat politis dari pada yuridis, sehingga kami sudah bisa memperkirakan 99% vonisnya adalah HRS bakal dijatuhi hukuman. Ketidakadilan ini sudah kami perhitungkan, sehingga kami tidak berharap ada vonis yang meringankan.
Namun ternyata bukan hanya vonisnya yang akan kita terima sebagai ketidakadilan, malah prosesnya pun merupakan kedholiman nyata. Alhasil ini semua menjadi lengkap sebagai suatu peradilan yang sesat. Lembaga peradilan telah berubah fungsi menjadi hanya sebagai Lembaga Pemidanaan!
Atas dasar hal-hal di atas, mengingat kasus HRS ini tak dapat dipisahkan dari peristiwa pembunuhan enam anggota Laskar FPI, maka Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Laskar FPI menyatakan sikap sbb:
- Pertama, mendesak PN Jakarta Timur yang mengadili kasus HRS agar menjalankan proses peradilan secara konsisten sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dengan senantiasa menghadirkan terdakwa secara OFFLINE di muka persidangan.
- Kedua, meminta MA agar mengawasi dan memeriksa Jaksa maupun Hakim yang mengadili HRS yang menunjukkan sikap tidak independen, melanggar HAM, serta mengadili dengan tidak berasaskan presumption of innocent.
- Ketiga, mengingat kasus ini dinilai mengada-ada dan menjadi sebuah peradilan politik, maka transparansi dan makna “terbuka untuk umum” harus benar-benar dijalankan sebaik mungkin. Akses Penasehat Hukum kepada terdakwa dibuka seluas-luasnya demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Keempat, terhadap perilaku tak pantas yang dilakukan oknum Jaksa maupun petugas yang terlibat dalam proses peradilan HRS, merupakan catatan yang harus ditindaklanjuti dengan sanksi hukum yang semestinya. Penghormatan kepada siapapun harus dilakukan, terlebih HRS adalah da’i, ulama, dan salah satu tokoh Islam.
- Kelima, mendesak agar memberi penangguhan penahanan kepada HRS mengingat yang bersangkutan telah cukup usia, kondisi kesehatan, serta jaminan untuk tidak lari atau menghilangkan bukti. Wibawa hukum dan pengadilan patut untuk dipulihkan kembali setelah dua kali persidangan yang memperlihatkan kegaduhan, invalid secara hukum, dan tidak menunjukkan proses peradilan yang berwibawa.