Foto: Tri Rismaharini, sumber foto: Id.wikipedia.org
Oleh : Rahmatika
Stramed, Sejak rapat kunker Pemprov DKI Jakarta ke Surabaya membahas soal sampah, semakin banyak yang menyerukan agar Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada pilkada tahun 2022 mendatang. Masih tiga tahun lagi tapi sepertinya sudah banyak yang nggak sabar menaikkan #2022GantiGubernur.
Risma sendiri menjawab diplomatis. Ia akan selesaikan dulu masa jabatan di Surabaya sampai 2021. Jawaban ini tentu buat yang menginginkan Risma jadi Gubernur DKI Jakarta seperti sebuah lampu hijau. Kan 2021 sudah selesai, bisa siap-siap, kemudian 2022 sudah dapat maju Pilkada.
Semuanya terlihat seperti mungkin dan mudah. Eits, jangan keburu senang dulu. Saya kok nggak yakin akan semudah itu Risma bisa duduk sebagai DKI Jakarta-1. Jadi begini, dalam politik itu ada berbagai macam kepentingan. Ya samalah dengan Pilpres kemarin. Ada yang ingin dipimpin pemimpin yang beneran bisa kerja, ada yang justru cari cara bagaimana caranya supaya yang bisa kerja ini nggak jadi pemimpin.
Penyebabnya banyak. Mereka yang disiplin, berusaha membuat efisiensi, kerja benar sebagai pemimpin, dan berusaha membuat segala sesuatunya mudah untuk sistem birokrasi juga adanya transparansi pasti akan dimusuhi dengan mereka yang merasa kemajuan itu akan mempersulit bisnisnya.
Lihat saja Pilpres kemarin. Yang tidak memilih Jokowi itu kebanyakan bukan mereka yang merasa Prabowo adalah pemimpin yang oke. Sederhananya mereka ini kelompok Asal Bukan Jokowi. Kenapa asal bukan Jokowi?
Sudah bukan rahasia lagi. Di era Jokowi ada HTI dibubarkan. Jelas simpatisannya ngamuk berat. Sebentar lagi mungkin FPI yang sudah telat perpanjangan ijin juga bisa jadi dibubarkan. Pasti makin banyak yang benci-benci nggak jelas terhadap Jokowi. Padahal Hizbut tahrir di banyak negara juga sudah dilarang dan orang Indonesia mayoritas lebih happy tanpa FPI.
Itu baru dari satu sisi. Di jaman Jokowi ini ASN juga dituntut untuk kerja benar dan profesional. Banyak cara yang dulu digunakan untuk ngentit uang Pemerintah sekarang diperketat. Makelar-maklear proyek jadi kesulitan ruang geraknya. ASN yang malas-malas jadi gerah. Makanya jangan heran kalau kemarin sempat muncul berita banyak ASN justru tidak memilih Jokowi. Padahal mereka justru sudah ditingkatkan kesejahteraannya, asal kerjanya benar.
Pola yang sama juga akan terjadi di DKI Jakarta. Jakarta itu beda dengan Surabaya. Di Surabaya, masyarakatnya kompak. Risma bikin kebijakan apa, selama itu baik, selalu didukung dan mereka siap back up.
Sementara di Jakarta? Anda kebayang nggak preman-preman yang jaman Ahok dipersempit ruang geraknya kemudian sekarang bisa menikmati lagi pundi-pundi uang melalui parkir sampai kaki lima apa mereka nggak akan marah kalau kemudian muncul Gubernur seperti Risma yang punya beberapa kesamaan dengan Ahok salah satunya kalau lihat hal yang nggak beres nggak segan untuk marah?
Apa ASN-ASN di lingkungan Pemprov DKI Jakarta sudah siap dengan ritme kerja disiplin dalam melayani masyarakat yang kurang lebih akan balik lagi seperti jaman Ahok dulu? Saya sih nggak yakin.
Jakarta itu isinya tak semua punya pikiran bahwa lebih penting cari pimpinan yang bisa kerja daripada yang jual retorika semata. Karakter masyarakat Jakarta dan Surabaya (termasuk Jawa Timur) itu beda.
Saya yakin mereka yang nggak mau periuk nasinya terganggu akan cari beragam cara supaya bisa menjegal Risma jangan sampai jadi Gubernur. Termasuk dengan isu SARA dan gender. Keperempuanan Risma akan dijadikan batu sandungan oleh mereka. Akan dimainkan lagi dalil-dalil Qur’an dan Sunah agar bagaimanapun caranya Risma yang perempuan itu tidak boleh jadi pemimpin.
Mau diajukan bahwa Megawati pernah jadi Presiden, Khofifah jadi Gubernur pun, sama saja. Akan dimentahkan lagi dengan ancaman ayat dan mungkin juga bisa berakhir bawa-bawa mayat seperti jalan kemenangan Anies Baswedan dulu. Apalagi kalau PKS mengusung calon selain Risma. Anies sendiri kan juga pastinya masih ingin menjabat Gubernur sembari menunggu 2024 siapa tahu ada yang mau mengusungnya jadi Capres atau Cawapres.
Dan sekali lagi, karakter masyarakat Surabaya dan Jawa Timur itu beda dengan DKI Jakarta. JKT58 itu adalah bukti bahwa mereka bisa ditipu mentah-mentah dengan politisasi ayat dan mayat.
*) Pemerhati politik.
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.