Foto: Benny Wenda, sumber foto: Wikipedia
Stramed, Tokoh Papua yang mengklaim diri tokoh perjuangan Papua Merdeka, Benny Wenda, tidak diizinkan masuk ke ruang sidang umum PBB di New York, Amerika Serikat.
Benny Wenda yang kini bermukim di Oxford, Inggris, ini disebut-sebut sebagai dalang di balik aksi kerusuhan yang belakangan terjadi di Papua.
Benny Wenda tidak diizinkan masuk ke ruang sidang umum PBB karena PBB saat ini memiliki peraturan baru.
Benny Wenda awalnya berupaya masuk ke ruang sidang, ketika sidang Majelis Umum PBB yang diikuti perwakilan ratusan negara seluruh dunia sedang berlangsung.
“Kini PBB punya aturan baru, hanya warga negara resmi dari negara peserta yang bisa masuk dan hadir dalam Sidang Umum PBB,” kata Delegasi RI asal Papua, Nick Messet, melalui pesan WA, Jumat 27/9/2019) malam.
Benny Wenda sebelumnya mencoba masuk ke ruang sidang melalui delegasi Vanuatu.
“Benny Wenda cs mau masuk ruang sidang PBB dengan ikut delegasi Vanuatu tapi tidak diizinkan, karena peraturan PBB kali ini cukup keras,” ungkap Messet.
Sehingga, Benny Wenda tidak lagi bisa ikut delegasi Vanuatu seperti sebelum-sebelumnya.
“Saya kira ini bagus sekali, peraturan PBB cukup ketat bagi setiap peserta Sidang Umum PBB,” ungkap Messet.
Bahkan, lanjut Messet, dirinya yang menjadi Konsulat Kehormatan Negara Nauru di Jakarta tidak diperbolehkan masuk.
“Saya sendiri juga tidak diperbolehkan masuk ikut delegasi Nauru, meskipun saya Konsulat kehormatan mereka di Indonesia. Saya bisa masuk melalui delegasi Indonesia kalau diperlukan,” ujar Messet.
Messet menambahkan, saat ini dirinya sedang bersiap masuk ruang sidang umum PBB melalui delegasi RI.
“Tadi Pak Roy Sumirat menghubungi kami dan menyampaikan pesan dari bu Menteri Luar Negeri RI agar Pak Nick, Pak John dan Pak Manufandu dapat mendampingi Wapres RI masuk duduk resmi dalam SU PBB dan ikut mendengarkan pidato Wapres RI,” kata Messet penuh haru.
Alasannya, hal tersebut bagi dirinya merupakan sejarah, orang asli Papua mendampingi Wapres RI mengikuti sidang umum PBB.
Nick Messet (kedua kiri) bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla saat sidang Umum PBB di New York, Amerika Serikat.
Nick Messet (kedua kiri) bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla saat sidang Umum PBB di New York, Amerika Serikat. (istimewa/tribun medan)
”Ini baru pertama kali dalam sejarah RI bahwa ada tiga orang Papua yang mendampingi Wapres RI di sidang PBB,”ujarnya.
Nick Messet adalah mantan Menlu Organisasi Papua Merdeka yang lama bermukim di Eropa.
Ia bahkan sempat membuka perwakilan OPM di Senegal dan Swedia.
Namun, ia kemudian kembali kepangkuan RI.
Sebelumnya Nick Messet mengatakan, situasi SU PBB terkait nasib Papua termasuk apa yang terjadi belakangan ini tidak banyak negara yang menanggapi.
Negara-negara peserta Sidang Umum PBB mengikuti perkembangan situasi dan kondisi Papua melalui media.
Setiap negara punya persoalannya masing-masing yang harus mendapat perhatian dari SU PBB dan waktu untuk bicara di atas mimbar SU PBB juga sangat terbatas hanya 10 menit.
Sehingga, banyak negara besar tidak ingin mencampuri negara lain.
Mereka lebih fokus menyampaikan persoalan di negaranya sendiri.
“They can only say, Sorry and have sympathi to the Papuans! Apart from that, nothing else (Mereka hanya bisa berkata, Maaf dan bersimpati pada orang Papua! Selain itu, tidak ada yang lain),” katanya.
Menurut dia, hanya negara-negara kecil yang selalu ingin mengangkat permasalahan Papua di Sidang Umum PBB.
“Hanya negara-negara kecil di Pacific yang selalu mau angkat soal Papua di SU PBB tahun ganti tahun. Tetapi tidak pernah ada perubahan, jalan ditempat terus,” kata Nick.
Nicolas Meset yakin, pada saatnya negara-negara tersebut bakal bosan membawa isu Papua dalam SU PBB.
“Negara-negara seperti, Vanuatu, Palau, Marshall Island yang selalu mengangkat isu Papua di dalam SU PBB pasti satu waktu akan jadi bosan sendiri. Soalnya topik yang mereka bawakan sudah kadaluarsa untuk negara-negara anggota PBB. Bosan untuk mendengar, The same old story again and again, Self determination and freedom for West Papua (Kisah lama yang sama berulang kali, Penentuan nasib sendiri dan kebebasan untuk Papua Barat),” kata Meset.
Dilansir abc news indonesia, Benny Wenda sibuk melobi agar komisioner HAM PBB dapat berkunjung ke Papua.
Seperti yang sudah dilontarkan Kapolri Jenderal M Tito Karnavian, Benny Wenda menjual kerusuhan di Jayapura dan Wamena yang menelan puluhan korban jiwa.
Pemerintah Indonesia menyebut Benny Wenda berada di balik kerusuhan di Provinsi Papua dan Papua Barat yang meletus sejak Agustus lalu hingga saat ini.
Namun tuduhan itu telah dibantah, baik oleh Benny Wenda maupun oleh Sebby Sambom, jurubicara West Papua National Liberation Army, sayap militer Gerakan Papua Merdeka.
Dalam wawancara dengan stasiun TV SBS Australia, Benny Wenda mengaku sedang berada di New York untuk mengupayakan jalan bagi kunjungan Komisioner HAM PBB ke tanah airnya, Papua.
“Pesan saya ke masyarakat internasional, kami sangat membutuhkan pasukan penjaga perdamaian PBB untuk masuk ke Papua,” ujarnya.
Hal itu, katanya, didorong oleh pertimbangan krisis kemanusiaan yang kini terjadi di sana.
Laporan resmi versi Pemerintah RI mengenai kerusuhan terbaru di Wamena menyebutkan lebih dari 32 orang tewas, kebanyakan warga pendatang.
“Total sudah 32 korban tewas sampai malam ini. Yang ditemukan hari ini terbakar, ditemukan di puing-puing rumah,” ujar Komandan Kodim 1702/Jayawijaya Letkol Candra Dianto, seperti dikutip Kompas.com, Rabu (25/9/2019) malam.
Dikatakan bahwa sebagian besar korban itu ditemukan dalam keadaan hangus terbakar, serta apa pula yang terkena sabetan benda tajam, panah, dan benda tumpul.
Minta dukungan Australia
Semakin meningkatnya kekerasan dan jumlah korban tewas di Papua mendorong kelompok separatis untuk meminta bantuan masyarakat internasional termasuk Australia.
Menurut Benny Wenda, aksi di Wamena dan Jayapura tadinya berlangsung damai namun aparat keamanan Indonesia menindakinya secara keras sehingga menimbulkan pertumpahan darah.
“Kejadian ini sangat mengkhawatirkan dari segi kemanusiaan. Mereka ini siswa SMA di Wamena, mereka masih anak-anak,” katanya.
Kepada SBS, Benny meminta Australia untuk mendukung intervensi internasional dalam menyelidiki situasi yang terjadi di lapangan.
“Saya mendesak Pemerintah Australia agar bertindak cepat. Kita tidak ingin mengulangi sejarah yang sama dengan yang terjadi di Timor Timur,” ucapnya.
Sementara itu saat konferensi pers di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB, PM Scott Morrison dan Menlu Marise Payne dimintai tanggapan soal kerusuhan terbaru di Papua.
Namun, PM Morrison mengalihkan pertanyaan itu ke Menlu Payne yang meminta semua pihak untuk “menahan diri” agar tidak menambah panas situasi.
“Kami tentu saja sangat prihatin dengan laporan mengenai kekerasa di Papua dan Papua Barat,” ucap Menlu Payne.
“Hal ini merupakan permasalahan yang terus dipantau oleh perwakilan kami di Jakarta bersama pihak berwenang di sana,” katanya.
“Kami meminta kedua pihak yang terlibat untuk menahan diri,” tambahnya.
Sosok Nick Messet
Nick Messet adalah Menteri Luar Negeri Organisasi Papua Merdeka yang memilih pulang setelah 40 tahun berjuang demi Papua Merdeka dan menjadi warga negara Swedia.
Sebagai putra asli Papua, Nick Messet adalah seorang pilot berdarah Papua pertama, lulusan Cessnock, New South Wales, Australia yang bekerja untuk maskapai Papua Nugini.
Ayahnya adalah Bupati Jayapura periode 1976-1982.
Kelebihannya sebagai pilot tak membuatnya bangga dan status sebagai anak pejabat tak membuat Nick Messet betah bersama Indonesia.
Kegiatan Nick Messet lebih banyak untuk mendorong referendum di Papua.
Hingga akhirnya tahun 2007, Nick Messet memutuskan untuk kembali menjadi bagian dari Indonesia.
Setelah kembali ke NKRI, Nick Messet ditugasi membangun hubungan antara Indonesia dan negara-negara di Pasifik.
Peran Nick Messet dahulu sebagai Menlu OPM dalam merangkul negara-negara di kawasan Pasifik kini digunakan untuk kepentingan diplomasi Indonesia.
Tak heran sejak pertengahan 2018, Nick Messet ditetapkan sebagai Konsul Kehormatan dari Indonesia untuk Nauru.
Selama ini negara-negara di Pasifik seperti Nauru, Kepulauan Marshall, Solomon, Vanuatu, Tuvalu dan Tonga serta Papua Nugini dipandang menjadi target untuk meraih dukungan bagi ide kemerdekaan Papua melalui referendum karena kesamaan ras yakni Melanesia.
Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Nick Messet melontarkan alasannya kembali ke NKRI.
Nick Messet meninggalkan Papua di tahun 1960-an ketika dia merasakan kehadiran orang Indonesia di wilayah itu adalah sebuah kesalahan.
“Saya tinggalkan Papua untuk pergi keluar negeri tapi hasilnya tidak ada. Lalu saya kembali ke Indonesia untuk membangun Papua di dalam bingkai NKRI karena saya lihat sudah jalan. Satu-satunya itu harus kerja sama dengan Indonesia untuk memperbaiki kehidupan, kesejahteraan sosial Papua,” kata Nicholas Messet.(Tribunnewswiki)