Foto: Ilustrasi, sumber foto: RSUD Buleleng
Stramed, Dari hari ke hari jumlah pasien positif virus COVID-19 terus bertambah hingga menjadi 1.046 orang per Jumat (27/3). Berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah pusat untuk membatasi penyebaran virus corona ini. Meski demikian, sekuat apapun upaya pemerintah pusat tak akan efektif jika tidak didukung oleh pemerintah di daerah maupun masyarakatnya.
Pada awal-awal kasus penyebaran virus ini, terlihat bagaimana sebuah kebijakan malah memberikan efek sebaliknya yang tadinya hendak dihindari, seperti soal pembatasan jarak atau social distancing dalam kasus transportasi publik di Jakarta beberapa waktu lalu. Kala itu belum ada kesepahaman, baik antar pemerintah, pengusaha, hingga masyarakat mengenai skala kasus virus corona yang berpotensi besar menjadi pandemi. Harian ini berulang kali mengingatkan bahwa virus tersebut berpotensi besar menjadi ‘krisis’ yang berdampak pada ekonomi sehingga penanganan awal yang tepat menjadi kunci utama keberhasilan mencegah penyebaran virus ini.
Untungnya, perlahan tetapi pasti mulai tampak irama segendang sepenarian antara masyarakat, pengusaha, dan pemerintah untuk membatasi penyebaran virus. Pada situasi saat ini, di mana ketidakpastian demikian besar, sudah sepantasnya setiap warga memiliki kesadaran untuk tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Minimal tidak menambah kekhawatiran orang lain saja sudah jauh lebih baik. Meski demikian, pemerintah juga harus lebih agresif lagi dan taktis dalam melakukan pencegahan penyebaran.
Seiring dengan melambatnya aktivitas ekonomi di Jakarta, maka pekerja sektor informal mulai berangsur-angsur kembali ke kampung halaman. Apalagi Lebaran, yang ditandai dengan arus mudik besar-besaran, sudah kian dekat sekitar 2 bulan lagi. Kebijakan pembatasan sosial justru dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk mempercepat waktu mudik ke kampung halaman. Kondisi ini dikhawatirkan membuat penyebaran virus corona makin meluas.
Potensi terjadinya penyebaran massal virus corona dari arus mudik itu berpeluang besar menjadi skala bencana yang tidak terbayangkan sehingga pemerintah harus bergerak cepat. Sayangnya, hingga kini belum ada kejelasan dari pemerintah menyangkut apa yang akan dilakukan.
Akibatnya, daerah bergerak sendiri-sendiri secara sporadis untuk menutup wilayahnya. Pada Rabu (25/3), misalnya, Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono mengumumkan kebijakan lockdown atas kota di pesisir Jawa Tengah itu. Langkah ini disampaikan usai ada warga Tegal yang dinyatakan positif COVID-19. Dedy menyatakan seluruh titik masuk ke Tegal akan ditutup Movable Concrete Barrier (MBC) untuk memastikan tak ada orang yang memaksa masuk. Berat pembatas beton itu diklaim mencapai 1-2 ton, sehingga akan sulit untuk digeser tanpa menggunakan alat khusus.
Keputusan lockdown ini tampak berlawanan dengan kebijakan pemerintah pusat yang memilih tidak mau mengunci perbatasan Indonesia. Hal tersebut juga dilakukan menjelang Ramadan, yang menjadi jadwal tetap bagi para perantau untuk pulang ke kampung halaman masing-masing. Tegal merupakan salah satu jalur yang digunakan pemudik untuk menuju Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Jawa Timur. Namun, keputusan Dedy bukannya tak bisa dipahami.
Peningkatan kasus di daerah sejalan dengan pergerakan masyarakat dari Ibu Kota, menyusul kebijakan pembatasan sosial yang diserukan pemerintah sejak Minggu (15/3). Pemerintah mengimbau masyarakat untuk belajar di rumah, bekerja dari rumah, dan beribadah di rumah. Kesempatan ini justru dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk pulang kampung.
Apalagi, masa sekarang berdekatan dengan momentum puasa dan Lebaran. Indikasi melonjaknya pergerakan orang ke daerah salah satunya dapat terlihat dari tingkat okupansi bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP). Seyogianya, pemerintah pusat dan daerah bersatu padu menyiapkan kebijakan yang komprehensif demi mencegah penyebaran makin masif. Masyarakat mau mendengar kok karena kami percaya COVID-19 bisa dilawan jika kita bersatu
Sumner: Bisnis Indonesia