Stramed, Sejarah telah mencatat bagaimana perempuan dijadikan objek kekerasan dan eksploitasi oleh pemilik modal dan elit penguasa. Buruh perempuan adalah bagian dari yang terdampak.
Tahun milenial bukan pertanda bahwa kondisi buruh perempuan di era milenial ini sudah lepas dari tindakan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Hak maternitas buruh perempuan semakin langka didapat, karena masih dianggap sebagai hak yang lumrah untuk tidak dipenuhi oleh perusahaan. Hak buruh perempuan masih dianggap tidak penting karena buruh perempuan adalah unskill dan bukan pencari nafkah utama. Ini sungguh memprihatinkan.
Dalam prakteknya, cuti haid dibalas intimidasi, cuti keguguran dikebiri, cuti melahirkan dibalas dengan pemaksaan pengunduran diri. Kondisi ini marak terjadi dalam industri yang menimpa buruh perempuan di negeri ini.
Buruh Perempuan juga kerap menjadi korban pelecehan seksual dari atasan dan rekan kerja. Dengan iming-iming perpanjangan kontrak kerja, relasi kuasa digunakan untuk melecehkan buruh perempuan. Ini menunjukkan bahwa dunia kerja kita tidak sedang baik-baik saja.
Kondisi kerja tidak layak ini juga dialami oleh perempuan pekerja rumah tangga (PRT). Eksploitasi tenaga PRT diperparah dengan tidak adanya jaring pengaman atas upah, jam kerja, jaminan sosial bahkan perjanjian kerja.
Buruh Perempuan perkebunan kelapa sawit, juga mengalami hal serupa. Beban kerja yang sangat tinggi, tidak diimbangi dengan upah dan jaminan keamanan dan keselamatan kerja yang memadai. Pelecehan Seksual juga terjadi. Mereka menambah deretan eksploitasi pekerja di negeri ini.
Disisi lain, undang-undang Cipta Kerja sudah disahkan oleh pemerintah. Ya, undang-undang yang mengukuhkan informalisasi tenaga kerja di Indonesia dengan tidak adanya jaminan kepastian kerja, upah layak, perlindungan atas PHK maupun pesangon. Data BPS 2019 menunjukkan bahwa 70.8 jt pekerja informal mayoritas adalah perempuan. Data ini akan terus membesar seiring pemberlakuan UU Cipta Kerja. Lalu dimana peran negara melindungi buruh perempuan?
Dalam peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) tahun ini, kami dari Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia – FSBPI menyerukan kepada pemerintah, untuk memprioritaskan agenda perlindungan perempuan dan perempuan pekerja untuk segera:
1. Membahas dan mengesahkan RUU PKS
2. Membahas dan mengesahkan RUU PRT
3. Menerbitkan PERPU Pembatalan Omnibuslaw Cipta Kerja.
F-SPBI juga menyerukan kepada seluruh perempuan pekerja untuk melakukan perlawanan terhadap berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, eksploitasi terhadap buruh perempuan. Membangun komite-komite perempuan di tingkat pabrik dan mencantumkan perlindungan hak buruh perempuan tercantum dalam perjanjian kerja bersama (PKB).
Demikian, Terima kasih.
25 November 2020,
Dian Septi (Ketum F SBPI/081804095097)
Jumisih (Waketum F SBPI/08561612485)
(Federasi Buruh Lintas Pabrik yang pasca berkongres dan berganti nama menjadi Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia , red)