Foto: Peta Papua (ilustrasi), sumber foto: Papuanews.id
Stramed, Peristiwa Malang dan Surabaya telah menyulut kerusuhan Manokwari, Sorong dan fakfak. Tidak berhenti disitu, kerusuhan merembet ke Deiyai dan beredar luas bahwa sejumlah bangunan milik pemerintah, swasta, pertokoan dan pasar dibakar. Kerusuhan ini juga mengakibatkan tiga orang anggota TNI terluka dan satu orang meninggal dunia, 4 orang anggota Polri terluka dan satu orang anggota masyarakat meninggal. Rentetan kerusuhan Deiyai juga mengakibatkan 10 pucuk senjata SS 1 milik TNI raib dirampas pengunjuk rasa.
Sehari kemudian, pada hari kamis tanggal 29 Agustus 2019 kerusuhan meletus di Abepura, Kotaraja dan Jayapura. Selama kerusuhan tersebut sejumlah layanan publik seperti SPBU tutup, masyarakat mengalami kesulitan bahan bakar. Sekitar 1000 massa menduduki dan menginap di kantor Gubernur Papua.
Mereka takut pulang karena akan berbenturan dengan kelompok massa dari Paguyuban Nusantara yang melakukan sweeping terhadap massa yang membuat kerusuhan. Selain menghimbau agar Paguyuban Nusantara menghentikan aksi sweeping, Kodam XVII/Cenderawasih dan Polda Papua juga menyiapkan kendaraan untuk mengevakuasi para pengunjuk rasa yang menginap di kantor Gubernur. Tercatat, 30 orang pengunjuk rasa yang mengakibatkan kerusuhan di amankan Polda Papua.
Selama kerusuhan Jayapura terjadi, kawasan perekonomian dan gudang bahan makanan dirusak. Kantor MRP, kantor KPU, kantor Pos dan kantor Telekom hangus dibakar. Tidak hanya kantor-kantor tersebut, Dinas Komunikasi dan Infromatika Papua serta Kantor Bea Cukai Pelabuhan Jayapura mengalami hal yang sama. Sedangkan kantor yang mengalami kerusakan adalah Kantor Balai Besar Klimatologi dan Geofisika wilayah Jayapura.
Selain perkantoran, beberapa bangunan lain juga mengalami kerusakan seperti Dealer Suzuki Entrop, Hotel Horizon Kotaraja, Hotel Grand Abe dan Dealer Daihatzu . Puluhan rumah makan dan toko serta puluhan kendaraan hangus dibakar, termasuk kendaraan dinas Dandim Jayapura. Rongsokan kendaraan yang dibakar juga masih berada di tengah jalan hingga tanggal 30 Agustus 2019. Selama kerusuhan terjadi listrik di Jayapura padam.
Ribuan warga memilih mengungsi ke Instansi Militer untuk memperoleh perlindungan. Dalam kondisi sedemikian mencekam, penjarahanpun terjadi. Aksi penjarahan berlanjut hingga malam hari. Ribuan warga mengungsi ke Markas TNI AL Hamadi. Mereka takut karena ribuan massa masih bertahan di halaman kantor Gubernur Papua.
Situasi di Jayapura dan wilayah Papua lainnya untuk sementara mereda sejak Sabtu 31 Agustus 2019, walaupun disana-sini masih terjadi ketakutan, sebab sebagian warga masih memilih kembali menginap di Markas TNI AL Hamadi.
Menurut Menkopolhukam 10 pucuk senjata yang dirampas perusuh di Deiyai telah direbut kembali. Harapan masyarakat tentu kerusuhan harus segera dihentikan permanen dan aktivitas masyarakat kembali normal. Jangan muncul tuduhan violence by omission ditujukan kepada penguasa, karena Presiden dinilai banyak pihak diam dan mengatakan telah meminta Menkopolhukan, Panglima TNI dan Kapolri bertindak tegas.
Akankah kerusuhan berakhir? Tentu akan sangat tergantung kepada bagaimana pemerintah merespon kerusuhan tersebut. Yang pasti diperlukan ketegasan bertindak. Ketiadaan pernyataan Presiden secara khusus tentang penanganan rusuh diyakini membuat keraguan aktor keamanan. Throma tuduhan pelanggar HAM dikalangan aktor keamanan masih tinggi.
Pasca pertemuan beberapa tokoh masyarakat Papua dengan Menkopolhukam wacana dialog muncul kembali kepermukaan. Tidak ketinggalan pendapat serta pernyataan beberapa politisi dan masyarakat yang mendorong terwujudnya dialog untuk menyelesaikan persoalan Papua.
Sekedar mengingatkan, bahwa pada tanggal 12 Februari 2012 sejumlah tokoh agama bertemu Presiden SBY di Istana Negara. Sebanyak dua belas tokoh agama berdialog dengan SBY, yang ujungnya disampaikan oleh Almarhum Pastor Neles Tebay, bahwa penyelesaian Papua harus dilakukan melalui dialog. Presiden SBY mengatakan dan menegaskan setuju dialog sejauh tujuan, format, agenda dan pesertanya jelas. Arti keempatnya dielaborasi secara jelas oleh Presiden SBY.
Jawaban dan pernyataan tersebut disampaikan kepada para tokoh agama di depan beberapa Menteri dan Kepala UP4B. Apabila keempat hal tersebut dapat direncanakan dan dipersiapkan oleh para tokoh, agar disampaikan kepada Wapres Budiono dan dialog segara dilaksanakan. Realitanya tidak satupun tokoh yang hadir pada waktu itu mampu mewujudkan kehendak Presiden hingga masa bakti Pemerintahan SBY berakhir.
Bukan tidak mungkin membangun dialog antara Jakarta – Papua sebagaimana diangkat dan dikemukakan oleh Almarhum Dr. Muridan. Tetapi menyatukan kelompok-kelompok di Papua bukan persoalan mudah. Sebab masyarakat Papua yang terdiri dari 252 suku. Suku-suku tersebut secara demografis adalah kelompok masyarakat yang otonom.
Artinya, tidak satupun suku mensubordinasikan suku lainnya. Belum lagi Denominasi gereja yang jumlahnya juga banyak. Dalam konteks dialog sebagai jalan menyelesaikan permasalahan Papua sebagaimana diskurus yang mencuat kepermukaan, maka tidak satupun suku yang ada akan mewakilkan suaranya kepada suku lainnya.
Masih terkait dengan kehendak dialog, pada 5 s.d 7 Juli 2011 di Auditorium Universitas Cendrawasih, dilaksanakan Konferensi Damai yang digagas oleh Pastor Neles Tebay bersama Jaringan Damai Papua (JDP). Agenda ini sebagai kelanjutan dari kegiatan Konsultasi Publik dan Mengkampanyekan Dialog di beberapa kota di Tanah Papua oleh JDP sebagai jalan memulai perdamaian.
Konferensi Damai ini bertujuan membangun fondasi bersama, demi perdamaian abadi di Tanah Papua. Secara substansial ingin menjajaki makna damai bagi masyarakat Papua baik dari aspek Sosial, Politik, Ekonomi, Budaya dan Keamanan. Untuk ini, panitia mengundang Wakil Presiden Budiono untuk membuka Konferensi.
Sebagai pejabat yang diketahui panitia diberi tugas untuk menyelesaikan persoalan Papua, diharapkan memberikan keynote speech. Beliau berhalangan hadir dan diwakilkan kepada Menkopolhukam Joko Suyanto. Pembukaan Konferensi berjalan aman, tertib dan lancar.
Penulis adalah satu-satunya orang Jakarta yang diminta oleh Pastor Neles Tebay mengikuti diskusi di dalam Komisi Dialog yang isinya adalah mereka-mereka pendukung OPM, sebuah Komisi yang semula tidak diadakan. Dalam perdebatan yang sangat panas, sangat terasa yang dimaksud dialog adalah perundingan antara Bangsa Papua dengan Bangsa Indonesia. Sesuatu yang tidak mungkin disetujui siapapun pemerintah yang berkuasa di Jakarta.
Tercatat, mencuat dalam diskusi tentang: Fasilitator perundingan seperti Desmod Tutu, PBB dll; Tempat perundingan harus diluar Indonesia, Bahasa Inggris sebagai bahasa dalam perundingan, serta; Penentuan syarat-syarat juru runding yang jumlahnya 5 orang. Memang dalam diskusi tersebut tidak disebut siapa kelima orang dimaksud. Akan tetapi menjelang penutupan konferensi, panitia mengumumkan kelima juru runding yang mereka siapkan, situasi spontan menjadi kacau dan keadaan menjadi tidak menentu.
Lain halnya di era Presiden BJ Habibie. Jumlah peserta dialog yang hadir sangat banyak, sehingga kurang dapat berjalan. Konon, Presiden mengatakan: “Kalian boleh minta apa saja kecuali merdeka”. Tetapi harus di akui bahwa pertemuan tersebut menjadi pemicu dan embrio lahirnya UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Papua.
Bagi para pihak yang mendorong-dorong Presiden Jokowi segera berangkat ke Papua melakukan dialog, harus berfikir komprehensif dan obyektif. Artikel ini ingin mengingatkan bahwa persoalan Papua harus menjadi persoalan bangsa Indonesia. Bahwa Presiden yang paling bertangung jawab benar adanya, tetapi beban penyelesaian tidak bisa dipikul sendiri oleh Presiden Jokowi, walaupun beliau adalah Presiden RI yang paling banyak berkunjung ke Papua.
Satu hal yang harus dipahami, ada gap yang sangat lebar antara Jakarta dengan Papua yaitu status politik Papua yang ditetapkan melalui Resolusi PBB 2504 dan tidak diakui oleh mereka yang melawan NKRI. Bagi mereka, status politik Papua telah tertransformasi menjadi ideologi untuk memisahkan diri dari NKRI.
Bagi mereka, Papua telah merdeka pada tanggal 1 Desember 1961 dan direbut oleh Presiden Soekarno. Dalam kontek ini, gap sejarah juga sangat lebar.
Oleh karena itu Pemerintah harus fokus terhadap upaya-upaya penyelesaian Papua dan bukan hanya menjadi sambilan seperti yang terasa selama ini. Harus ada upaya ekstra dan fokus menyelesaikan persoalan-persoalan yang substansial yang membuat tuntutan merdeka tertransformasi menjadi perlawanan Orang Asli Papua yang semakin meluas. Pasti ada yang salah.
Fokus akan melahirkan gagasan yang dapat menyelesaikan persoalan. Fokus hanya dapat dilakukan apabila ada lembaga yang menangani secara khusus. Keberadaan lembaga di pemerintahan yang secara khusus menangani Papua dapat mengurangi, mencegah dan melawan politik HAM Benny Wenda untuk referendum meningkat dan menemukan momentumnya. Keberadaannya dapat berfungsi untuk merancang, mengkondisi dan mempersiapkan dialog.
Tuduhan adanya provokator tidak akan pernah menyelesaikan persoalan, apalagi dikait-kaitkan oleh banyak pihak dengan politik pasca Pilpres seperti yang beredar luas di medsos. Faktanya, persepsi sebagian Orang Asli Papua, Pemerintah hanya melakukan pendekatan keamanan. Politisasi provokator hanya menebalkan rasa kepapuaan dari pada rasa keindonesiaan.
Penulis: Letjen TNI (Purn) Bambang Darmono
Ketua Dewan Pembina IDESSS, Direktur Utama BWASS dan Ketua Bidang Pengkajian PPAD, serta; Mantan Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B), Sekjen Wantanas, Komandan Kodiklat TNI AD, Komandan Bantuan TNI Penanggulangan Tsunami, dan Pangkoops TNI Aceh.( Sumber: Idesss.org)
Disclaimer: Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.