Foto: Ilustrasi, sumber foto: Freepik.com
Oleh: SIMON SARAGIH (Wartawan Senior Kompas)
Stramed, Opini tentang resesi global semakin intensif. Para ekonom Amerika Serikat memperkirakan resesi paling lambat terjadi pada 2021 untuk Amerika Serikat. Jerman telah memasuki masa resesi. Pertumbuhan sudah menurun pada kuartal kedua dan berlanjut pada kuartal ketiga. Hanya, dari semua kalkulasi, Asia tetap bisa tumbuh mantap.
Presiden AS Donald Trump menyatakan, opini resesi merupakan tindakan konspirasi untuk mementalkan kesempatan terpilih kembali pada Pemilu AS 2020. ”Perusahaan-perusahaan kita memiliki banyak uang tunai, rakyat sedang berbelanja kencang. Saya sudah memberikan fasilitas berupa pengurangan pajak…. Ekonomi negara kita dalam kondisi bagus, negara-negara lain sedang masalah.”
Trump tidak lebih cekatan melihat gejala ekonomi ketimbang para ekonom dan pelaku pasar. Survei dari University of Michigan menyebutkan, sentimen konsumen AS menurun. Ini membuktikan ucapan Trump yang salah.
Tarif yang dia kenakan pada impor baja dan mobil serta tarif atas 250 miliar dollar AS impor dari China menjadi penyebab utama resesi kali ini. Hal ini telah beresonansi juga ke banyak mitra dagang. ”Tipe resesi kali ini adalah hasil tindakan sendiri yang melukai dengan sendirinya,” kata Tara Sinclair, ekonom dari George Washington University yang mendalami siklus bisnis.
Jerman masuki resesi
Dengan tarif Trump telah mengganggu mata rantai produksi global (global supply chain). Bundesbank (Bank Sentral Jerman), Senin (19/8/2019), secara resmi menyatakan ekonomi Jerman diperkirakan memasuki resesi pada kuartal ketiga setelah ekonomi mengalami kontraksi 0,1 persen pada kuartal II-2019. Ini senada dengan penyataan Menteri Keuangan Jerman Olaf Scholz bahwa perekonomian kemungkinan mengalami krisis.
Bundesbank (Bank Sentral Jerman), Senin (19/8/2019), secara resmi menyatakan ekonomi Jerman diperkirakan memasuki resesi pada kuartal ketiga setelah ekonomi mengalami kontraksi 0,1 persen pada kuartal II-2019.
Pilihan Inggris keluar dari Inggris (Brexit) telah mengganggu rencana investasi Uni Eropa. Kepastian Brexit yang tidak kunjung selesai menambah sentimen bisnis. Bank Sentral Eropa (ECB), bulan lalu, mengindikasikan kemungkinan penurunan suku bunga untuk mencegah penurunan ekonomi di zona euro, pengguna mata uang euro.
Opini para ekonom pun mengerucut dengan kesimpulan resesi pasti terjadi. Lembaga bergengsi AS yang beranggotakan para ekonom AS, The National Association for Business Economists (NABE), kepada anggota NABE lewat survei menyatakan lebih yakin resesi akan menimpa AS. Permasalahannya hanya soal kapan, kata Presiden NABE Constance Hunter, yang juga ketua tim ekonomi dari KPMG.
Opini soal resesi telah membuat pasar khawatir, kata Christopher Smart, ahli strategi investasi global dari Barings Investment Institute. ”Sepanjang 2019 ini sinyal resesi di AS makin kuat,” katanya. Inggris, Italia, Korea Selatan, dan Brasil pun sudah memasuki gejala resesi.
Reaksi pasar soal resesi terlihat dari indikator kurva terbalik tentang hasil investasi obligasi (inverted yield curve). Tidak lazim hasil investasi pada obligasi jangka panjang (10 tahun) lebih rendah daripada investasi pada obligasi jangka pendek (dua tahun). Sama seperti deposito, semakin lama jangka waktu deposito, semakin tinggi suku bunganya. Demikian halnya pada obligasi jangka panjang.
Pada Rabu (14/8/2019), telah terjadi inverted yield curve. ”Kurva seperti ini, tidak memprediksi kapan resesi, tetapi menunjukkan resesi menjelang,” kata Kathy Bostjancic, ahli ekonomi keuangan Oxford Economics. ”Biasanya resesi terjadi antara 10,5 dan 36 bulan setelah kurva terbalik itu muncul,” ujarnya.
Banyak negara sudah paham bahaya yang segera muncul. Bank sentral AS dan 19 bank sentral di dunia sudah melonggarkan kebijakan moneter. Menurut Fitch Ratings, itu merupakan tindakan paling massal sejak 2009. ”Ini mencengangkan,” kata Brian Coulton, ekonom senior Fitch Ratings.
Hanya akar masalah resesi sekarang adalah perang dagang AS-China. Solusinya adalah penghentian perang dagang. Trump sudah mencoba menghentikan pengenaan tarif untuk sebagian produk impor asal China. Trump juga memutuskan untuk tiga bulan ke depan raksasa telekomunikasi China, Huawei, boleh mengimpor komponen asal AS, seperti diberitakan kantor berita Reuters, 19 Agustus.
Akan tetapi, pebisnis menginginkan penghentian perang dagang total. Soal ini Trump tidak siap. Bahkan, penasihat dagangnya, Peter Navarro, mengatakan, tarif merugikan China semata, bukan AS. Navarro adalah ekonom yang tidak mendapatkan apresiasi dari para ekonom AS.
Efek ke Asia
Tidak ada negara yang aman dari efek tarif, termasuk AS. Laporan IMF sudah menyimpulkan, tarif merugikan perusahaan AS miliaran dollar AS.
Pertanyaan penting lainnya, amankah Asia? ”Meski ada guncangan, negara berkembang Asia tetap tumbuh dengan mantap,” demikian Bank Pembangunan Asia (ADB) pada Mei lalu. Asia tumbuh 5,7 persen pada 2019. ”Sumber pertumbuhan datang dari sektor konsumsi dan investasi,” kata Takehiko Nakao, Presiden ADB pada 2 Mei.
Hanya saja, Asia juga negara pedagang dengan tujuan pasar AS. Asia akan terpengaruh dengan penurunan pertumbuhan menjadi 5,6 persen pada 2020. Namun, Asia relatif tetap tumbuh meyakinkan. (AFP/AP/REUTERS)
Sumber: Kompas.Id