Foto: Gibran, sumber foto: Genpi.co
Oleh : Ayyas
Stramed, Menjelang Pilkada Solo, nama Gibran ramai diperbincangkan. Gibran dijagokan meneruskan kiprah ayahnya, Presiden Jokowi menjadi wali kota Solo. Sebuah survei dariembaga survei lokal, Lembaga Laboratorium Kebijakan Publik Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo menyatakan Gibran Rakabuming masuk dalam bursa pemilihan wali Kota Solo (Pilwalkot). Gibran masuk dalam deretan tokoh terpopuler.
Berita tersebut disambut antusias oleh pendukung Jokowi. Gibran seolah menjadi harapan baru, untuk menjadi Jokowi yang ke-dua. Partai politik pun ikut memberikan respon. PKS bahkan mengaku siap mengusung Gibran di Pilkada Solo.
Mungkin hanya saya, pendukung Jokowi yang termasuk di antara orang yang kurang senang dengan berita ini. Bukan saya sedang meremehkan Gibran. Bukan saya tak percaya Gibran mampu menjadi wali kota. Ada beberapa alasan mengapa saya kurang setuju jika Gibran maju di Pilkada Solo.
Pertama, saya yakin ada faktor Jokowi yang membuat nama Gibran masuk bursa calon Wali Kota Solo dan punya popularitas yang tinggi. Jika bukan anak dari Presiden RI, sepertinya nama Gibran tak akan masuk bursa calon Wali Kota Solo. Jadi bisa disimpulkan, kenapa Gibran dijagokan untuk maju di Pilkada Solo bukan karena faktor kemampuan, tapi lebih karena faktor ayahnya. Gibran sama sekali belum pernah punya pengalaman di dunia politik.
Gibran memang putra dari seorang politisi ulung yang tak pernah kalah dalam sejarah kesikutsertaan dalam pemilu. Tapi bukan berarti Gibran mampu meneruskan kiprah ayahnya, atau memiliki potensi yang sama dengan ayahnya meskipun ada pepatah yang mengatakan buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Saya percaya ada sifat, potensi, dan kemampuan Jokowi yang diwariskan ke Gibran, tapi tidak seluruhnya. Gibran mewarisi daya juang Jokowi dalam membangun usaha secara mandiri sehingga berhasil membuat usaha markobar. Gibran juga mewarisi sifat Jokowi yang mampu membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis. Lalu apakah Gibran juga mewarisi kemampuan berpolitik yang dimiliki oleh Jokowi? Jawabannya belum tentu.
Gibran perlu membangun karir politik dari nol, misalnya terlebih dahulu menjadi kader partai sebelum diminta bertarung di medan sebesar Pilkada.
Kedua, saya tidak ingin Jokowi terus menerus dicaci maki oleh kampret. Saya ingin Jokowi fokus bekerja dengan tenang. Saya yakin Jokowi bakal dicaci. Jokowi yang selama ini terkenal bersih, tidak nepotisme, tidak membangun dinasti politik, secara otomatis akan dicap sebagai orang yang tidak konsisten. Katanya tidak membangun dinasti politik, kenyataannya malah meridhoi Gibran maju di Pilkada Solo. Meskipun hal ini sebenarnya sah-sah saja.
Ketiga, saya tidak mau Gibran menjadi AHY ke-2. AHY adalah contoh buruk seorang politisi prematur. AHY yang belum punya kecakapan dalam politik, namun SBY memaksanya untuk langsung bertarung di medan sebedar Pilkada DKI. Karena masih prematur, AHY menjadi babak belur tak berdaya. Untungnya AHY kalah jadi DKI Jakarta tidak dipimpin oleh orang yang tidak cakap bekerja, meskipun yang menjadi gubernur DKI Jakarta juga orang yang tak cakap dalam bekerja. Namun dari kisah AHY, Gibran mungkin bisa mengambil pelajaran untuk tidak terburu-buru maju di Pikada Solo.
Terlebih, usia Gibran masih sangat muda.
Jika Gibran maju dan menang, saya juga khawatir karena belum punya pengalaman sama sekali. Jika Gibran kalah, Jokowi dan keluarga akan dibully habis-habisan, persis seperti SBY dan keluarga yang dibully pasca kekalahan AHY di Pilkada DKI 2017.
Saya setuju dengan pernyataan Kordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz, bahwa sebaiknya Presiden Jokowi tidak menganjurkan putranya, untuk terjun ke kontes politik praktis guna mencegah citra politik dinasti. Jokowi sudah kadung dikenal sebagai sosok yang bersih, dicitrakan sebagai orang yang tidak membangun politik dinasti.
Saya membuat tulisan ini bukan berarti meremehkan kemampuan Gibran, sama sekali tidak. Kalau memang Gibran punya niatan terjun ke dunia politik, dia punya hak dan undang-undang menjaminnnya. Saya hanya berharap Gibran tidak menjadi AHY ke-2. Saya berharap Gibran bisa menjadi Jokowi yang ke-2.
Artinya Gibran harus memulai langkah dari nol jika ingin terjun ke dunia politik. Misalnya menempa diri dengan bergangung ke partai dan menkadi kader. Setelah cukup matang dan punya pengalaman, tidak ada salahnya untuk mencoba maju di Pilkada Solo. Jokowi perlu menyarankan Gibran untuk mencari ilmu dan pengalaman di dunia politik terlebib dahulu sebelum memutuskan untuk maju menjadi calon wali kota Solo.
*) Pemerhati Polkam
Disclaimer: Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.