oleh : Andi Naja FP Paraga
Stramed, Didalam Islam 2(dua) hari raya besar dirayakan berdekatan hanya berjarak satu bulan. Hari Raya Idul Firi pada Awal Bulan Syawal sedangkan Hari Raya Idul Adha juga pada tanggal 10 Dzulhijjah yang hanya diserang dengan Bulan Zulqaiddah. Sesungguhnya hal ini tidak terjadi begitu saja tanpa Esensi dan Substansi sehingga membuat 2(dua) hari hanya sebuah rutinitas semur hidup semata.
Jika kedua Hari Raya disebut Hari Kemenangan tentu menjadi menarik untuk didadalami dan dihayati dimulai dari satu pertanyaan Kemenangan atas apa setelah mengalahkan apa bukan pertanyaan atas siapa dari siapa karena memang kita tidak pernah bertarung dengan orang lain lalu dirayakan pada dua hari raya. Itu berarti kita kembali kepada satu pertanyaan saja yaitu Kemenangan atas apa setelah mengalahkan apa.
Yang saya Pahami Idul Fitri dan Idul Adha sesungguhnya bisa berbeda Substansi dan berbeda Esensi namun kegagalan menemukan Perbedaan Substansi dan Esensinya telah membuat kita memahami kedua hari raya ini sama dari Substansi dan Esensi. Para Khatib pun nampaknya tak terlalu tertarik untuk mengurai perbedaannya dan Umat pun tak terlalu penting membedakannya. Rasanya kedua sikap diatas menjadi masalah yang membuat keduanya merasa harus berbuat sesuatu. Hal ini cukup memprihatinkan karena sedikit sekali yang merasa harus ada keprihatinan khusus terkait Substansi dan Esensi yang berbeda dari Keduanya.
Kehadiran Peringatan dan Perayaan Idul Adha di setiap bulan terakhir Kalender Tahun Hijriyah sebetulnya sebuah Isyarat Besar dari Islam betapa pentingnya memahami Esensi dan Substansi Penghujung Tahun. Bulan ke -12 Bulan Dzulhijjah itu adalah bulan yang keagungannya sangat besar dan semestinya Sejarah Peristiwa Besar yang terus diulangi dan Ibadah Haji sebagai Ibadah Besar serta Kolosal itu yang berlangsung pada Bulan Dzulhijjah mendongkrak pemahaman beragama Umat Islam di Seluruh Dunia.
Ibadah Haji dan Kita jangan lagi dilihat sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja sehingga kesannya pun menjadi biasa-biasa saja. Ritual Ibadah Haji hendaknya menjadi Pelajaran Substansif dan Esensif bagi Kita selaku Hamba Tuhan. Manasik Haji jangan lagi hanya jadi pelajaran bagi Calon Jemaah Haji semata,melainkan harus menjadi mata pelajaran pada Pondok Pesantren dan Lembaga Pendidikan Islam yang menekankan Penghayatan Substansi dan Esensi Haji. Jauhkan Haji dan penggelaran dan status sosial yang kering Substansi dan Esensi.(ANFPP020820)
Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.