Foto: Ilustrasi, sumber foto: Liputan6.com
Stramed, Indonesia, seperti banyak negara lain di kawasan, sedang dibayang-bayangi resesi ekonomi. Situasi dapat memburuk bila Indonesia tidak waspada menghadapi pelemahan dan ketidaksbalian perekonomian global. Hal ini antara lain disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, ketika berbicara dalam Seminar Nasional bertema “Nota Keuangan RAPBN 2020: Mengawal Akuntabilitas Keuangan Negara” di Gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8).
“Tidak hanya Indonesia yang mengalami tantangan tersebut, tetapi seluruh negara, terutama negara berkembang,” ujar Sri. Menurut Menkeu, pemerintah menjadikan strategi menghadapi bayang-bayang resesi sebagai prioritas utama. “Apa yang kita perhatikan dalam perkembangan perekonomian dunia, proyeksi ekonomi dunia melemah. Bahkan beberapa sudah bisa disebut resesi. Ini pusat kewaspadaan kita,” katanya.
Menurut Sri Mulyani, saat ini resesi bukan hanyan menjadi ancaman negara-negara berkembang. Negera yang berpengaruh dalam konteks ekonomi global juga menghadapi ancaman yang sama. “Jerman, Singapura, negara Amerika Latin seperti Argentina juga dalam masa krisis. Meksiko dan Brasil juga dalam situasi sulit. Eropa pun mengalami berbagai masalah seperti Brexit,” jelasnya.
Untuk mengantisipasi ancaman tersebut, kata Sri, pemerintah tengah merancang pengoptimalan penggunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 untuk menjaga ekonomi nasional. “Kami di Kemenkeu terus menjaga agar APBN sebagai instrumen fiskal terus dalam kondisi sehat dan kredibel,” tukasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan akan tetap mewaspasdai kondisi ketidakpastian global yang akan terjadi di 2020, lantaran saat ini pertumbuhan ekonomi global juga mengalami pelemahan karena dipengaruhi oleh kebijakan global yang dilakukan pada 2018. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tahun ini, seperti penurunan suku bunga acuan olehThe Fed, akan terlihat dampaknya di tahun depan. Hal itu sebagaimana terjadi dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pada 2018 dan kemudian dampaknya terlihat di tahun ini, sementara berbagai kebijakan di tahun ini akan terlihat dampaknya di tahun depan.
Eskalasi perang dagang antaraTiongkok dan Amerilca Serikat (AS) juga masih meningkat, namun saat ini sulit untuk memprediksi apakah akan ada kenaikan tarif atau penurunan tarif, sebab masih ada berbagai indikator dan persyaratan yang memang belum disetujui oleh kedua belah pihak antara Tiongkok dan Amerika Serikat.
Ketegangan perang dagang juga akan memiliki pengaruh kepada kegiatan-kegiatan industri manufaktur yang terlihat dari Indeks Manufaktur Tiongkok yang mengalami pelemahan. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi Tiongkok mengalami pelemahan. Untuk 2020, pemerintah akan terus mewaspadai mengenai siklus atau adanya tren pelemahan. Pelemahan perekonomian global juga ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, serta mempengaruhi kinerja ekspor yang melambat.
Beban pembayaran bunga utang pemerintah Indonesia yang meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir dinilai mengurangi kapasitas APBN untuk memacu pertum-buhan ekonomi guna menghindarkan diri dari arus resesi global. Apalagi, utang negara selama ini tidak hanya digunakan untuk menutup defisit, tetapi juga dimanfaatkan untuk membayar utang atau gali lubang tutup lubang. Pola seperti itu diperkirakan masih akan berlangsung dalam lima tahun ke depan, sehingga Indonesia berpeluang terperosok dalam lubang utang yang lebih dalam.
Peneliti Perkumpulan Prakarsa, Irvan Tengku Hardja (20/8/2019), menilai RAPBN 2020 penuh tantangan karena disusun di tengah-tengah ancaman resesi global akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Menurut ekonom senior Indef, Didik Rachbini, RAPBN 2020 masih dihantui permasalahan dari lima tahun. Pemerintah selama ini selalu mengandalkan utang untuk menutup defisit. Bunga hutang sudah menyentuh Rp 300 triliun.
Sementara itu, Bank sentral Jerman, Bundesbank, mengeluarkan peringatan bahwa negara itu bisa jatuh ke dalam resesi ekonomi.
Bank itu melaporkan, kemungkinan ekonomi Jerman tetap tidak bergairah pada kuartal ketiga 2019. Sebelumnya, sinyal kuat resesi akibat perang dagang juga terlihat dari perlambatan pertumbuhan ekonomi Singapura dan Tiongkok. Secara tahunan, ekonomi Singapura pada kuartal 11-2019 hanya tumbuh 0,1 persen. Ini menandai tingkat pertumbuhan paling lambat sejak krisis keuangan global 2008. Sedangkan Tiongkok melaporkan, pertumbuhan produksi industri tahun ini merupakan yang terlemah sejak 2002.
Mengenai kinerja Jerman, PDB negara itu pada kuartal 11-2019 terkontraksi 0,1 persen, dibandingkan dengan kuartal pertama. Resesi terjadi ketika ekonomi menyusut selama dua kuartal berturut-turut. Jerman menghadapi sejumlah masalah ekonomi yang oleh para analis disebut sebagai badai yang sempurna. Ekonomi negara itu tergantung pada eksportir yang menjual barang ke Tiongkok dan AS.
Brandywine Global Investment Management Jack McIntyre mengatakan, apresiasi dolar yang signifikan telah memperburuk hasil keuangan untuk perusahaan dalam indeks S&P 500, yang pada akhirnya menyebabkan lebih sedikit pekerjaan dan lebih banyak pengangguran. Dengan sendirinya dolar AS yang kuat akan memicu resesi AS yang akan menyeret pertumbuhan global juga.
Indonesia tetap mewaspadai kondisi ketidakpastian global yang akan terjadi di 2020, lantaran saat ini pertumbuhan ekonomi global juga mengalami pelemahan, karena dipengaruhi oleh kebijakan global yang dilakukan pada 2018. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tahun ini, seperti penurunan suku bunga acuan olehThe Fed, akan terlihat dampaknya di 2019.
Respons policy seperti Federal Reserve menaikkan suku bunga, sekarang menurunkan suku bunga. Eskalasi perang dagang antaraTiongkok dan Amerika Serikat (AS) juga masih meningkat, namun saat ini sulit untuk memprediksi akan ada kenaikan tarif atau penurunan tarif, sebab masih ada berbagai indikator dan persyaratan belum disetujui oleh kedua belah pihak antara Tiongkok dan Amerilca Serikat.
Selain ketegangan perang dagang AS dan Tiongkok, beberapa tension dari sisi politik yang tejadi di Hongkong dan Argentina yang juga memberikan tambahan ketidakpastian. Saat ini, pelemahan kinerja ekspor sudah ikut melemahkan kinerja negara seperti Singapura dan Jerman (Red/berbagai sumber).