Foto: Ilustrasi, sumber foto: Freepik.com
Stramed, Potensi ekonomi Amerika Serikat (AS) terperosok dalam resesi setahun ke depan meningkat pertumbuhan ekonomi di AS skan terus kehilangan daya pacunya ke depan, akibat dampak perang dagang. Dalam logika ekonomi, suatu negara mengalami resesi apabila pertumbuhan ekonominya terkontraksi atau minus dalam dua kuartal berturut-turut.
Berdasarkan survei oleh Bloomberg kepada sejumlah ekonom selama 2-7 Agustus 2019, sekitar 35 persen responden memperkirakan terjadinya resesi di AS dalam 12 bulan ke depan. Angka prosentase tersebut meningkat dibandingkan survei serupa sebelumnya, yakni 31 persen.
Ekonom memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) AS pada 2019 sebesar 2,3 persen. Perkiraan tersebut lebih rendah dibandingkan asumsi yang disampaikan pada Juli 2019 sebesar 2,5 persen. Mereka juga memproyeksikan pertumbuhan PDB AS pada kuartal III-2019 sebesar 1,8 per-sen dibandingkan periode sama tahun lalu (yoy). Perkiraan di bawah capaian pada kuartal I sebesar 3,1 persen dan kuartal sebesar 2,1 persen.
Terkait prospek perekonomian global tahun ini, para ekonom memangkas perkiraan mereka menjadi 3,2 persen dari sebelumnya sebesar 3,3 persen. Ekonom memperkirakan penurunan suku bunga berikutnya oleh bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) akan terjadi pada September mendatang, berlawanan dengan proyeksi sebelumnya pada Desember mendatang. Ekonom memperkirakan penurunan suku bunga acuan The Fed sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2,00 persen pada pertemuan kebijakan FOMC pada 17-18 September 2019.
Indikasi akan adanya resesi ekonomi global sudah makin nyata terlihat dari perlambatan ekonomi Singapura yang menjadi barometer perdagangan dunia. Bahkan, Singapura diperkirakan memasuki resesi pada kuartal ketiga 2019 akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang terus mengguncang ekonomi negara tersebut. Terkait dengan dampak perang dagang, konsultan keuangan global Mc Kinsey & Company mengingatkan agar negara Asia mewaspadai risiko terulangnya krisis keuangan 1997 menyusul tingginya tingkat utang luar negeri (ULN).
Mengenai kinerja ekonomi Singapura, South China Morning Post (13/8/2019) mewartakan, setelah pertumbuhan kuartal 11-2019 dipastikan turun 3,3 persen, ekonomi Singapura diperkirakan memasuki resesi pada kuartal 1-2019. Laporan Produk Domestik Bruto (PDB) yang dirilis 12/8/2019 menunjukkan penurunan besar yakni 3,8 persen dalam tiga bulan pertama 2019, dan pertumbuhan kuartalan terburuk yang pemah dialami negara itu selama tujuh tahun.
Secara tahunan, ekonomi Singapura hanya tumbuh 0,1 persen atau turun dari 1,1 persen pada kuartal pertama. Ini menandai tingkat pertumbuhan paling lambat sejak krisis keuangan global 2008. Sektor yang mencatatkan kinerja terburuk antara lain manufaktur merosot 3,1 persen, serta perdagangan grosir dan eceran yang turun 3,2 persen. Jika pertumbuhan triwulanan Singapura tetap negatif pada kuartal ketiga tahun ini, berarti negara seluas kota itu telah memasuki resesi teknis, sebuah skenario yang menurut data lain semakin mungkin terjadi.
Singapura secara drastis menurunkan prakiraan pertumbuhan tahun ini. Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura (MTI) memperkirakan pertumbuhan antara 0,0 hingga 1,0 persen, atau merosot tajam dibandingkan prediksi tahunan sebelumnya antara 1,5 sampai 2,5 persen.
Pada Juli 2019, Dana Moneter Intemasional (IMF) telah memangkas perkiraan pertumbuhan 2019 Singapura menjadi 2 persen dari 2,3 persen. MTI mengatakan sebagian penurunan itu disebabkan meningkatnya konflik perdagangan AS-Tiongkok dalam beberapa bulan terakhir. Ekonomi Tiongkok dilaporkan mencetak rekor pertumbuhan terendah pada kuartal kedua, sebesar 6,2 persen, sejalan dengan kemerosotan Singapura.
Sementara itu, McKinsey & Co dalam laporan “Signs of Stress in The Asian Financial System” mengungkapkan 25 persen utang swasta valas jangka panjang di Indonesia memiliki rasio penutupan bunga (interest coverage ratio CR) kurang dari 1,5 kali. Posisi itu terhitung rawan karena itu berarti perseroan menggunakan mayoritas labanya untuk membayar utang.
Indonesia bersama Australia, Tiongkok, Hong Kong, dan India masuk dalam kategori itu. Utang tersebut kebanyakan berasal dari sektor utilitas seperti pembangkit listrik dan jalan tol, dengan porsi 62 persen. Sektor energi dan bahan mentah menyusul dengan porsi masing-masing 11 persen dan 10 persen.
Dampak tingkat utang korporasi dan utang rumah tangga yang tinggi terlihat di Indonesia, Tiongkok, India, dan Thailand.
Bahkan, tingkat utang Indonesia yang berdenominasi dollar AS mencapai 50 persen dari porsi utang yang ada, atau jauh di atas rata-rata kawasan sebesar 25 persen.
Sebelumnya, gejala krisis akibat ekonomi yang dipompa oleh utang juga dialami Indonesia. Bahkan ekonom senior, Rizal Ramli, menyebutkan hampir seperempat perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi salah satu faktor yang dapat memicu krisis tahun depan. Sebab, sebanyak 24 persen emiten tersebut merupakan perusahaan ‘zombie’ karena hanya mengandalkan sistem pembiayaan kembali atau refinancing (Red/dari berbagai sumber).