Foto: Ir. Sukmadji Indro Tjahyono (Analis Strategi Pangan), BK/Stramed
Stramed-Jakarta, “Kalau kita lihat Jepang, keberpihakan pada petani dan pertanian itu jelas. Bahkan demi petani dan pertanian, berapa pun subsidi digelontorkan. Semua lembaga-lembaga bisnis, seperti otomotif dan yang lain, menyumbang dananya untuk mendukung pertanian. Jepang bukan sekedar ingin menumbuhkan pertaniannya, tapi pertanian itu dinilai sebagai sektor strategis”, kata Indro Tjahyono.
Hal itu disampaikan dalam diskusi publik bertema “ Menyongsong Kebijakan Politik Pertanian Baru” yang diadakan di Kedai Kopi Banksaku di jalan Biak No. 14 Bb, Cideng Jakarta Pusat, Rabu (24/07).
Pentingnya Ketahanan
Kalau apa yang dimakan seseorang masih tergantung dari negara lain, berarti negara itu tidak punya daya tahan alias rapuh. Negara harus punya ketahanan pada tingkat tertentu, untuk menjaga sistem dan entitasnya di tengah-tengah dinamika global. Bahkan ada tiga ketahanan yang harus kita jaga, yakni ketahanan energi, ketahanan pangan , dan ketahanan energi.
Bagaimana caranya? Punya kemandirian dan tidak ada ketergantungan, itulah modalnya, jelas Indro Tjahyono, seorang analis strategi pangan.
Jepang setelah perang dunia kedua, merasakan betapa pahitnya tergantung kepada Amerika. Jepang tidak bisa memutuskan apa-apa, bahkan mengenai kebijakan pangannya. Semua dibatasi, sehingga Jepang tidak menjadi kuat dan berdaulat.
Kita perlu belajar dari pengalaman Jepang dalam politik pertanian kita. Bahwa pertanian mempunyai nilai strategis untuk menjaga ketahanan nasional. Dan itu dimulai dari pangan. Bung karno pada saat peletakan batu pertama Institut Pertanian Bogor tahun 1952 dalam pidatonya mengatakan: “Soal mati-hidup bangsa kita di kemudian hari adalah soal persediaan makanan rakyat. Cukupkah persediaan makan rakyat kita di kemudian hari?
Syarat Menjadi Negara Maju
Kecukupan dan ketahanan pangan, karenanya sangat menentukan kehidupan bangsa dan negara ke depan, papar Indro. Setelah pertanian dan pangan dibangun, kemudian giliran industri dasar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan metalurgi. Selanjutnya mengembangkan industri barang modal dan industri manufaktur.
Urutannya seperti itu, kalau kita ingin menjadi negara maju. Pada fase berikut pertanian dan industri menjadi satu dan saling menunjang. Akibat dari pidato Bung Karno itu, pada tahun 1960-1970, Indonesia mampu mengekspor pangan , baik yang esensial maupun non esensial, ke seluruh dunia.
Waktu itu bisa ekspor, karena lahan pertanian kita masih cukup. Pada jaman Soeharto pertanian juga menjadi perhatian, tapi sistemnya kontradiktif. Di lain pihak impor bahan pangan terutama gandum dilakukan besar-besaran.
Untuk mengembangkan pertanian didirikanlah Kementrian Transmigrasi. Walaupun Kementrian ini juga punya agenda pertahanan dan membangun ciri-ciri kebudayaan Indonesia. Gagasan Pak Harto, kebudayaan Jawa yang berbasis pertanian akan dijadikan patron dan ditularkan, sehingga lahan pertanian dibuka di mana-mana.
Setelah itu, Suharto baru berani mencanangkan kebijakan tinggal landas. Maksudnya kita masuk dalam fase negara industri dari negara agraris. Pertanyaanya sudah siapkah kebijakan pertanian dan pangan kita?
Belum Membangun Pertanian sebagai Sistem
Namun dibandingankan dengan Jepang, bedanya kita tidak pernah membangun sistemnya. Baru pada tingkat reaksioner dan improvisasi. Apalagi kemudian dukungan terhadap pertanian itu dinilai politis.
Di Jepang, pertanian disubsidi tidak apa-apa, karena subsidi adalah kewajiban negara melayani rakyatnya. Di sini petani disubsidi kita ribut. Padahal nilai hasil subsidi itu secara ekonomi lebih besar daripada tergantung pada negara lain. Jika kita sangat tergantung, suatu kali ada perang global dan terjadi kelangkaan pangan, habislah kita.
Sebenarnya nasib pertanian di mana-mana saat ini sedang mengalami penurunan atau decreasing. Kenapa pertanian menurun ,tapi penduduk dunia tetap survive. Karena kita hidup dari surplus-surplus kolektif beberapa negara yang melakukan praktek-praktek subsidi.
Pentingnya Perencanaan dalam Pertanian
Kita sampai saat ini tidak pernah tahu, apakah kita sedang mengalami surplus atau tidak. Secara nasional dan global , hal ini tidak tertata dan terdata dengan baik. Semua diserahkan kepada pasar bebas.
Akhirnya harga produk pertanian menjadi fluktuatif. Ketika terjadi pergeseran iklim, fluktuasi itu makin kencang. Negara-negara yang lahan pertaniannya besar, tidak perlu memikirkan sistemik atau tidak. Tapi mereka bisa meningkatkan dan mendiversifikasi produksi pertaniannya, sehingga tidak collaps. Seperti Australia dan Selandia Baru.
Di Indonesia cadangan lahan untuk pertanian tidak pernah direncanakan dengan baik. Di lain pihak para elit pengambil keputusannya adalah para komprador. Yang lebih senang memperjuangkan kepentingan asing daripada kepentingan dalam negeri.
Hal tersebut tentu akan mempersulit dalam proses diplomasi pangan dan diplomasi pertanian secara global. Dimensi kepentingan nasional kita tidak pernah precise dan akurat. Itu terbukti ketika gugatan Indonesia kepada Brasil tentang ayam ras mengalami kekalahan.(BK)