Foto: Andi Naja FP Paraga (Penulis)
Oleh : Andi Naja FP Paraga
Stramed, Jika menilai tingkat kecemasan dua lembaga Asosiasi Pengusaha Indonesia(APINDO) dan Kamar Dagang dan Industri(KADIN) terkait Penundaan Pembahasan Klaster Ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang undang Cipta Kerja 2020 dapat dipastikan bahwa Klaster Ketenagakerjaan adalah Jiwa dari RUU Cipta Kerja hasil Omnibus Law tersebut. Pembahasan 10 Klaster yang lainnya akan menjadi sia sia saja karena ibarat tubuh 10 Klaster itu hanya batang tubuh dari RUU Cipta Kerja. Tubuh tanpa jiwa adalah Mayat/jazad saja.
Pandangan APINDO bahwa tanpa Klaster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja akan menyebabkan semakin kecil peluang untuk menari investasi padat karya yang masih diperlukan Indonesia mengingat kualitas SDMyang ada,tingkat pengangguran terbuka yang masih tinggi sebesar 7 juta orang belum termasuk setengah pengangguran yang bekerja hanya beberapa jam dalam seminggu. Tanpa Pembahasan Klaster Ketenagakerjaan hanya akan menarik industri padat modal yang tidak banyak menyerap tenaga kerja sebagaimana terlihat dari data BPKM dimana investasi naik namun penciptaan lapangan kerja justru turun dalam beberapa tahun terakhir. Dengan demikian investasi yang masuk mayoritas industri padat modal yang memerlukan pekerja dengan tingkat keahlian yang tinggi sehingga pencari kerja dengan tingkat keahlian rendah akan sulit mendapatkan pekerjaan.
Kondisi penyerapan tenaga kerja yang makin merosot mengakibatkan kesejahteraan dan kemampuan keuangan masyarakat semakin melemah,hal ini dapat terlihat dari data terpadu Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RI 2019 yaitu penerima subsidi yaitu pelanggan listrik 98,6 juta orang serta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan 96,8 juta orang. Bila hal ini terus dibiarkan maka Indonesia tidak akan menikmati bonus demografi,karena rakyatnya tidak memiliki kesempatan untuk bekerja di sektor formal. Tentu angka yang sangat fantastis. Kemiskinan berdasarkan data Penerima Bantuan Iuran(PBI)BPJS Kesehatan yang didanai APBN sebesar 96,8 juta orang ditambah 35,2 juta orang yang dibiayai APBD dengan total dari keduanya sebesar 132,1 juta orang.
KADIN mencoba memberikan data 2020 hasil dari kompilasi dari berbagai sumber data terkait potensi pengangguran atau pekerja yang membutuhkan pekerjaan/lapangan kerja angkanya sangat besar. Pengangguran Terbuka sebesar 7,85 juta orang,Angkatan Kerja Baru sebesar 2,24 juta orang,setengah menganggur 8,14 juta orang dan pekerja paruh waktu sebesar 24,41 juta orang. Jadi Total Angka Pencari Kerja sebesar 45,84 juta orang. Semua ini tentu membutuhkan Solusi yang cepat dan KADIN meyakini solusinya adalah diundang-undangkan RUU Cipta Kerja hasil Omnibus Law. Namun tentu disertai dengan pembahasan seluruh Klaster dalam RUU Cipta Kerja termasuk Klaster Ketenagakerjaan.
KADIN meyakini Indonesia tetap membutuhkan investasi padat karya karena lebih dari 60 persen angkatan kerja hanya mengenyam pendidikan tingkat SMP,nilai pesangon tertinggi di Asia jika terjadi PHK dengan angka maksimal 32,4 persen,diharapkan dengan RUU Cipta Kerja angka maksimal 17 persen. Dengan Pertimbang-pertimbangan diatas menilai penghentian pembahasan RUU Cipta Kerja dengan penangguhan pembahasan Klaster Ketenagakerjaan tidak berujung pada perubahan substansi dari pasal pasal yang sudah ada dan dibahas sebelumnya. Tingginya angka pesangon menurut APINDO layak untuk ditinjau ulang.
Nampaknya Klaster Ketenagakerjaan menjadi unsur primer dari Omnibus Law sebuah RUU bernama RUU Cipta Kerja. Nasib RUU Caker sangat ditentukan oleh Buruh/Pekerja. Pemerintah,Apindo/Kadin tidak bisa berjalan sendiri apalagi memaksakan agar RUU cipta Kerja disahkan DPR RI tanpa turut membahas Klaster Ketenagakerjaan terlebih dahulu walaupun pembahasannya pada kesempatan paling terakhir. Pandangan Konstruktif dan kritis Serikat Buruh/Serikat Pekerja menjadi sangat penting. Masalahnya kapan APINDO,KADIN,Pemerintah bersama Serikat Buruh/Serikat Pekerja bertemu mengkompilasi konsep,data dan fakta demi perbaikan draft RUU Cipta Kerja.(ANFPP)
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.