Foto: Megawati dan Prabowo, sumber foto: Tribunnews
Oleh : Eko Wibowo
Stramed, Rabu, 24 Juli 2019 lalu, menjadi hari reuni bagi Megawati dan Prabowo. Mereka berdua pernah berpasangan dalam kontestasi Pilpres 2009. Sepuluh tahun yang lalu mereka berpasangan sebagai Mega-Pro. Mega kependekan dari Megawati sebagai calon presiden, sementara Pro berasal dari Prabowo yang berperan sebagai calon wakil Presiden. Keduanya adalah pimpinan dua partai politik besar di Indonesia. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah langganan pemenang pemilu pasca Orde Baru. Sementara Partai Gerindra adalah partai politik nomor dua saat ini. Kondisi tersebut cukup menggambarkan bagaimana “kebesaran” yang mereka berdua miliki.
Boleh dikatakan, dengan latar belakangnya sebagai ketua partai terbesar ditambah pula dengan kenyataan sebagai putri proklamator Indonesia, Megawati adalah politisi terbesar Indonesia saat ini. Sementara Prabowo, berhasil membuat partainya bisa mengungguli partai tradisional seperti Golkar dan PPP. Sempat menjadi calon wakil presiden dan dua kali calon presiden. Hal-hal tersebut dan dengan segala kekurangannya, cukup membuktikan kebesaran seorang Prabowo.
Apa yang hendak Megawati sampaikan ketika menemui Prabowo? Sebagai tujuan jangka pendek, bertemu dengan Prabowo akan memberi penyadaran kepada Prabowo bahwa Indonesia sedang di jalur yang tepat. Tidak seperti narasi yang sering menjadi muatan pidato Prabowo dalam setiap kampanyenya.
Kepada pendukung Prabowo, pertemuan tersebut akan menjadi wujud pelajaran berharga, bahwa politik bukanlah permusuhan. Politik hanyalah jalan menuju kekuasaan. Bukanlah jalan untuk menguasai kekuasaan. Politik juga bukanlah jalan pintas menuju surga. Sehingga berpolitik yang baik dalam demokrasi, tidak perlu mendegradasi arti dan simbol-simbol keagamaan.
Pertemuan tersebut juga menjadi ajang unjuk diri dari seorang Megawati sebagai politisi senior dan matang. Terlihat bagaimana Prabowo terlihat menjadi kecil di hadapan Bu Mega. Prabowo menjadi begitu yunior di hadapan Bu Mega.
Megawati juga seakan “berbicara” memanfaatkan pertemuan tersebut. Seperti diketahui, pasca penetapan kemenangan Pak Jokowi, para partai pendukung koalisi serta merta menunjukkan keinginannya untuk segera dibalas budinya. Mereka tak sungkan mulai mengajukan jumlah beserta nama menterinya, yang jumlahnya tidak masuk akal. Ada yang minta sepuluh, ada juga yang merasa pantas mendapat 11 dan 9 jatah.
Padahal di saat bersamaan, PDIP sebagai pemenang pemilu legislatif dan partai asal Pak Jokowi, masih anteng-anteng saja. Tidak terlalu sibuk dan terhanyut dalam proses pembentukan kabinet seperti halnya partai pendukung lainnya.
Bu Mega seakan memberi pesan kepada para partai pendukung peminta jatah tersebut, agar jangan mencoba untuk mendikte Presiden. Jangan membuat suasana tetap panas, seperti halnya sewaktu pemilu berlangsung. Bahwa ada hal yang masih lebih penting yang perlu diselesaikan, yaitu masalah persatuan yang harus dilakukan elit sebagai contoh bagi masyarakat akar rumput. Dan memberi pesan, seandainya tetap mendikte Pak Jokowi, maka bersiaplah karena Prabowo siap bergabung.
Nah untuk jangka panjang, kedua tokoh ini bisa saja bersiap untuk sebuah peran baru. Bu Mega tetap meneruskan perannya sebagai queen maker. Dan mengajak Prabowo menikmati peran barunya sebagai king maker. Peran yang oleh masing-masing telah dibuktikan kesuksesannya. Mereka adalah orang di balik hadirnya sosok Pak Jokowi untuk Indonesia.
Nah untuk selanjutnya mereka bisa saja berduet untuk menemukan calon-calon pemimpin masa depan Indonesia. Toh mereka tidak perlu lagi memusingkan apa itu ambang batas. PDIP sendiri sudah siap, ditambah Gerindra tentu akan lebih memastikan. Bukanlah pertemuan tersebut bisa diartikan sebagai dukungan kepada Prabowo demi 2024 nanti?
Lima tahun waktu yang cukup untuk melihat perkembangan peta perpolitikan Indonesia. Sekaligus sembari mematangkan para calon pemimpin potensial. Hingga pada saatnya akan ditemukan calon pemimpin yang sesuai dengan masanya.
Prabowo? Tentu selepas tertutupnya kemungkinan dari Pak Jokowi, dialah nama yang paling dikedepankan. Namun melihat apa yang terjadi hari-hari kemarin, Prabowo sudah terlalu kuno untuk hari ini. Pun elektabilitasnya juga nampak sulit untuk didongkrak.
Sudah saatnya dia menikmati peran seperti apa yang dijalani Bu Mega. Pasca kalah dua kali berturut-turut, Bu Mega memanfaatkan pengalaman dan sisa-sisa pengaruhnya demi memberi kesempatan dan peran lebih pada generasi yang lebih muda. Kepada mereka yang lebih diterima oleh jaman.
*) Pemerhati Indonesia.
Disclaimer: Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.