Foto: Megawati Soekarno Putri, sumber foto: Suara.com
Oleh : Samsul Bahri Sembiring
Stramed, Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPP PDIP yang baru dilantik untuk periode 2019-2024 pada kongres PDIP V di Bali, Bambang Wuryanto, mengaku siap mengukir kemenangan untuk ketiga kalinya pada Pemilu 2024. Ketua umum perintahnya begitu, ya kami pasti siap. Ya kami kan kalau bisa pengin hattrick dan saya kira bukan mau sombong, maksudnya hattrick di pemilu bos.
Keinginan Megawati tersebut sangat wajar, meskipun diakui bukan sombong tetapi akankah semudah itu? Sejak lengsernya Soeharto, belum ada partai politik berturut-turut tiga kali memenangkan pemilu, baik pilpres maupun legislatif.
Kenyataan berlakunya politik populis di Indonesia menyebabkan setiap tokoh ada zamannya dan setiap zaman ada tokoh idolanya, Gus Dur, SBY, dan Jokowi. Setiap pemilu berbeda tantangannya.
Pada Pemilu legislatif 2014, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), perolehan suaranya tidaklah mengesankan, meskipun di posisi pertama, perolehannya hanya 18,95 persen. Begitu juga dukungan suara pasangan Jokowi-Kalla yang 53,15 persen, bukanlah jumlah yang luar biasa.
Faktor populis SBY yang tidak bisa maju lagi dan kelemahan lawannya, Prabowo-Hatta, menjadi keberuntungan Jokowi-Kalla. Meskipun peran mesin partai PDIP tidak diabaikan, tetapi kesuksesan pencitraan mempopulerkan Jokowi sangat menentukan kemenangannya.
Perolehan suara Pileg PDIP 2019 meningkat tipis dari Pileg 2014, menjadi 19,33 persen. Peningkatan tipis tersebut bukanlah prestasi membanggakan bagi partai petahana berkuasa. Demikian juga kemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dengan suara 55,5%, menantang lawan tetapnya Capres Prabowo, bukanlah kemenangan membanggakan, mengingat posisinya sebagai juara bertahan. Sekali lagi, faktor popularitas dan petahana menjadi keberuntungan.
Salah satu faktor lain yang tidak muncul di 2014 tetapi menentukan kemenangan Jokowi di 2019 adalah penomena politik polarisasi sentimen agama oleh Islam garis keras. Meskipun secara ideologi, golongan Islam garis keras memperoleh keuntungan strategis dari polarisasi identitas tersebut, tetapi secara politis, Jokowi dan PDIP yang memperoleh keuntungan suara.
Secara kontradiksi dialektika, Jokowi dimenangkan oleh golongan Islam garis keras. Fakta ini tentunya disadari tokoh elit PDIP, bukan tidak mungkin, politik polarisasi identitas akan digerakkan lagi pada 2024, tetapi berbalik, bukan oleh Islam garis keras tetapi oleh PDIP.
Tanda-tanda strategi tersebut terbaca dari pidato politik Megawati, pada kongres PDIP V di Bali. Dalam teks pidatonya, Megawati menyampaikan: Jas Merah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah! Izinkan saya mengingatkan kembali warisan bagi kita dari para pahlawan, para pendiri bangsa ini.
Mereka wariskan pada kita Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Keempat prinsip tersebut bersifat final and binding, sudah final dan mengikat seluruh elemen bangsa, tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Hampir seluruh narasi pidato politik Megawati memuat retorika tentang Pancasila. Dapat diduga, lima tahun kedepan, retorika Pancasila akan digalakkan terus dan akhirnya menjadi paradok. Pada satu sisi, retorika “Saya tegaskan pula bahwa Pancasila adalah ideologi, jalan hidup bangsa Indonesia.
Jangan diperdebat-debatkan lagi!”, dilain sisi, seringnya Pancasila diungkit-ungkit untuk tidak diperdebatkan bermakna bahwa Pancasilla tersebut memang dimaksudkan untuk diperdebatkan. Dengan kata lain, ‘diperdebatkan untuk tidak diperdebatkan’.
Selain melalui strategi politik identitas ideologi, PDIP bermaksud Hattrick menangkan Pemilu 2024 melalui strategi memaksimalkan keuntungan kekuasaan pemerintahan petahana.
Bentuk kongkret strategi ini adalah menguasai semaksimal mungkin kekuasaan Pemerintahan, kursi menteri, pejabat lembaga non kementerian, dan BUMN.
Selanjutnya memenangkan Pilkada serentak tahun 2020, dimana sekitar 270 kursi kepala daerah diperebutkan. Hal ini blak-blakan diutarakan Megawati pada pidatonya di kongres.
Dengan dikuasainya jabatan-jabatan kekuasaan pemerintahan maka sumberdaya mesin partai semakin kuat. PDIP menyadari bahwa mesin partai PDIP harus menjadi kekuatann utama meraih kesuksesan di 2024.
Memperoleh tokoh populis pengganti sekaliber Jokowi tentunya sangat diharapkan, tetapi tidak ada jaminan sosok tersebut akan muncul. Dengan kekuatan mesin partai yang mumpuni, tokoh Capres yang akan diusung akan lebih ringan mengorbitkannya.
Merapatnya Prabowo, yang tadinya rival, ke kubu Megawati, dan sebaliknya merenggangnya hubungannya dengan Surya Paloh/Partai Nasdem, merupakan bagian dari rencana-rencana PDIP menghadapi 2024. Memang tak dapat dipungkiri itu kepentingan jangka pendek, persoalan pembagian kursi jabatan di pemerintahan. Tetapi itu juga menyangkut jangka panjang untuk 2024.
Selain Surya Paloh/Nasdem terlampau banyak permintaan, juga dikhawatirkan mengrogoti PDIP dari dalam, seperti benalu, demikain dimata PDIP.
Sedangkan Prabowo/Gerindra, sebagai pecundang tetap, merasa sangat berterima kasih bila mendapat bagian sedikit, dari pada tidak sama sekali sebagai oposisi seperti periode sebelumnya, sembari mulai memikirkan masa depannya di 2024. Strategi dan rencana-rencana PDIP tersebut diatas bukan tidak memiliki resiko dan hambatan, bahkan kalau PDIP tidak hati-hati, bisa menjatuhkannya ke jurang kekalahan.
Ada beberapa faktor yang dapat menjerumuskan Megawati dan PDIP, antara lain; Pertama, polarisasi sentimen ideologi Pancasila hanya menguntungkan ketika berhadapan dengan kuatnya serangan Islam garis keras. Retorika Pancasila yang berlebihan dapat memicu sentimen negatif, seperti yang diberlakukan rezim Soeharto selama 30 tahun, apalagi kalau diiringi dengan otoriterian.
Kedua, menumpuknya kekuasaan pemerintahan di PDIP, bila dampaknya tidak berkorelasi dengan pemenuhan harapan rakyat, maka PDIP dianggap sebagai oportunis belaka. Katakanlah penyakit korupsi semakin mewabah, kerumitan birokrasi semakin menggurita, kebebsan semakin terkekang, kekuasaan mengalahkan hukum, dan ekonomi semakin sulit. Persoalan tersebut tidak dapat diobati dengan retorika kesaktian Pancasila, trisakti atau revolusi mental. Tokoh populis lawan PDIP yang bukan Islam garis keras, akan mudah memanfaatkan isu ini untuk memperoleh simpati rakyat. Apakah Surya Paloh memahaminya demikian?
Ketiga, mekipun kepentingan jangka pendek partai politik menentukan tujuan jangka panjangnya, katakanlah 2024, tetapi politik pragmatis dan oportunis di Indonesia sangat mudah berubah haluan.
Persekutuan mudah pecah dan gampang pula disusun ulang. PDIP bisa saja menjadi korban, dia yang berjuang, oportunis menikmati hasilnya, sisa bagian buruknya disematkan padanya.
Atau ditubuh PDIP sendiri bersemayam oportunis. Strategi sangat jitu ketika oportunis memelihara gerakan Islam garis keras untuk mengelabui persoalan rakyat sesungguhnya, menyembunyikan nafsu kenikmatan kekuasaan, dengan retorika ketakutan-ketakutan dari hantu radikalisme.
*) Pemerhati politik.
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.