Foto: Ilustrasi, sumber foto: Morningstaronlin.co.uk
Oleh : Nurdiani Latifah
Stramed, Beberapa waktu lalu, saya telah menyelesaikan buku ‘Perempuan dalam Terorisme’ dan film ‘Pengantin’ hasil riset Yayasan Prasasti Perdamaian membuka fakta baru terkait hubungan suami dan istri yang tidak selesai di kalangan keluarga teroris. Apalagi, kasus terbaru adalah sepasang suami-istri asal Indonesia menjadi pelaku bom bunuh diri di Filipina. Di mana para istri tidak bisa mengetahui apa saja yang dilakukan para suami selama pernikahan. Istri hanya menyakini apa yang dilakukan oleh suami adalah sebuah Jihad yang harus didukung oleh istri. Bahkan, dalam buku ‘Perempuan dalam Terorisme’ Humaira tidak pernah mengetahui alasannya masuk hutan bersama suaminya.
Dia hanya menjalini perintah dari suaminya tanpa bisa menanyakan apa yang sedang dilakukan. Keadaan ini sungguh memilukan. Keadaan lainnya yang memilukan dalam film ‘Pengantin’ adalah pencarian calon suami melalui sosmed. Hal ini sebenarnya sangat lumrah dilalukan, karena waktu para pekerja migran ini cukup sedikit untuk melalukan pertemuan tatap muka secara langsung. Beberapa teman saya menikah dengan seseorang yang dikenal di sosmed. Namun, hal ini juga perlu diwaspadai. Sebab, tak semua memang ‘baik’.
Harus diakui, sosial media menjadi gerakan kampanye yang efektif untuk menyebarkan faham-faham radikal saat ini. Dikemas dengan semanis mungkin, se-indah mungkin dan dimanfaatkan sebagai gerakan untuk menularkan ideologi. Kembali membahas tentang hubungan suami-istri dalam keluarga teroris.
Berdasarkan wawancara dari pihak kepolisian dan literature lainnya, harus diakui narasi jihad memang sangat dekat dengan kelompok radikal-terorisme. Mereka menafsirkan tentang narasi hijrah unutuk melawan musuh-musuh Allah sebagai sebuah kewajiban. Bagi mereka, jihad dianggap sebagai perng membela Tuhan. Termasuk obsesi mereka dalam mendirikan negara Islam.
Nah, narasi tentang Jihad tersebut tidak tersampaikan oleh para suami yang menjadi narasi teroris. Hal ini membuat para istri tidak bisa membuat para istri melakukan pencegahan terhadap tindakan radikal/teror yang dilakukan yang akan dilakukan oleh para suami.
Hubungan relasi suami-istri yang terjalin di dalam keluarga napi teroris ini cukup kaku. Di mana ruang-ruang domestic secara mutlak diberikan kepada istri. Sedangkan ruang public diberikan kepada suami. Keadaan yang konservatif tersebut membuat kepatuhan yang cukup tinggi kepada suami. Factor lainnya seperti self-independensi, mempertahankan anak, cinta, pengalaman traumatik dan dukungan keluarga memba seseorang istri semakin patuh terhadap suami.
Menurut yang dijelaskan oleh Walklate, istri dari pelaku kejahatan terorisme adalah korban yang sebenarnya. Di mana para istri ini mengalami ketidaksetaraan gender. Menempatkan perempuan dalam posisi tersebut merupakan tindakan operasif dan eksploitatif yang memang merupakan pelanggaran hukum.
Para istri ini tidak sadar dalam jaringan radikalisme-terorisme oleh suami. Pelibatan ini adalah bentuk viktimisasi. Akan tetapi, fakta keterlibatan perempuan sebagai istri dalam kejahatan terorisme secara global telah banyak ditelusuri. Misalkan Eileen McDonald mengatakan pola perekrutan istri yang dilakukan oleh suami atau dengan saudara laki-laki bukanlah pola yang tidak biasa bagi perekrutan warga Eropa untuk kelompok al-Qaida.
Perekrutan berdasarkan hubungan kekerabatan terjadi pada kelompok al-Qaida. Sebagai besar para istri ini tidak sadar, karena menjalankann perintah dan tuntunan dari suaminya. Seperti kembali mencari orang, mengantarkan logistic dan lainnya. Begitu dengan mengajarkan kembali apa saja yang diajarkan oleh suami kepada anak-anaknya. Suami menjajadi rujukan utama dalam pengetahuan agama. Sedangkan dalam dunia pendidikan, fenomena yang menjadi tren yang terjadi saat ini adalah homeschooling. Di mana ibu menjadi guru.
Fenomena istri pelaku radikal-terorisme sempat menjadi pembahasan menarik di sejumlah media di Indonesia. Keterlibatan perempuan tidak dipungkiri atas perkembangan seiring dengan perkmbangan teknologi informasi dan media sosial. Salah satu contohnya adalah Diah Yuli Novi yang mendapatkan propaganda melalui calon suami dengan menggunakan internet. Diah Yuli Novi menjadi perempuan pertama yang direkrut untuk menjadi pelaku bom bunuh diri dengan menggunakan modus pernikahan.
Kasus pelibatan istri lainnya terjadi kepada kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin oleh Santoso melibatkan 3 orang peremoan yang merupakan istri-istri pemimpin di kelompok tersebut. Para istri tersebut diabwa dan ikut bergerilya di dalam hutan guna melakukan perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia. Tidak hanya itu, fakta yang kemudian terkuak adalah kebutuhan biologis paa pemimpin kelompok tersebut menuntut para istri untuk bergerilya. Keadaan tersebut terbukti dengan ditemukannya barang bukti pil KB dalam pengejaran aparat.
Kepatuhan perempuan menjadi potensi yang digunakan sebagai dasar untuk menekan para perempuan terlibat dalam radikal-terorisme. Baik kekerasan atau non-kekerasan. Di sisi lain, teks-teks keagamaan bernuansa patriarti yang mendomestikan perempuan, dipahami secara sempit sebagai larangan perempuan untuk berkontribusi dalam bidang sosial. Begitu juga dengan asumsi kelemahan fisik. ,emya; dan spiritual perempuan telah menjadikan mereka sebagai subjek kepatuhan pada suami.
Ada tiga faktor yang mendorong sosok perempuan ideal merupakan istri yang sempurna yang diam dan patuh serta tunduk kepada suami tanpa kritik dalam mewujudkan keluarga harmonis. Tiga factor tersebut adalah kurangnya kekuatan perempuan, control diri dan kultur patriarki. Hal yang perlu diperhatikan adalah domestikasi dan ekslusi perempuan dalam masyarakat dan teks agama akan membuat para perempuan dapat menjadi aktif menerima bahan pengajaran yang bisa di eksploitasi untuk mendukung radikalisme.
Radikalisasi terhadap perempuan sebagai korban dan pelaku tidak hanya berasal dari praktik radikal, melainkan bisa berasal dari teks-teks keagamaan yang subordinatif-diskriminasi terhadap perempuan. Prinsip eksklusivitas laki-laki dalam produksi dan interprestasi teks-teks keagamaan pada akhirnya dapat membuat perempuan hanya menjadi objek control dari pengetahuan keagamaan serta peran mereka dalam memproduksi narasi yang ekual gender menjadi terabaikan.
Adanya ketidaksetaraan yang diterima oleh perempuan yang menjadi istri dari para napiter berasal dari budaya patriarki yang begitu lama mengakar dan diyakini kebenarannya. Didukung oleh ayat-ayat keagamaan yang bernuansa patriarki dan mendomestikan perempuan. Sehingga, diperlukan adanya rekontruksi nilai-nilai Islam dan eradikasi tradisi patriarkal. Serta dibutuhkan banyak para ulama perempuan yang memprotes interprestasi biar gender dari interprestasi sumber-sumber hukum Islam. Serta menyebar luaskan hal tersebut. Diperlukan juga penguatan perempuan yang terhubung dengan metode dan strategi aktivis perempuan dalam mendekontruksi relasi gender dan merevisi hierarki gender dalam masyarakat Indonesia.
*) Pemerhati Polkam
Disclaimer: Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.