Oleh : Victor Alfons Jigibalom*)
Stramed, Sekretariat Bersama Petisi Rakyat Papua (PRP) Tolak Otsus mengumumkan bahwa hingga 26 November sudah ada 102 organisasi sipil yang menyakan sikap dukung upaya PRP galang dukungan rakyat menolak Otsus diperpanjang. Petisi ini didukung oleh berbagai organisasi gerakan dan elemen rakyat Papua yang bersepakat bahwa Konflik politik Papua versus Indonesia dan segala dimensi persoalannya tidak terselesaikan dengan Otsus jilid I, dan tidak akan pula selesai dengan memperpanjang Otsus jilid II. Sehingga, jalan terbaik yang aman, damai dan demokratis adalah “kembalikan kepada rakyat West Papua untuk Menentukan Nasibnya Sendiri. Informasinya ada 102 organisasi Rakyat Papua dan 3 Organisasi solidaritas untuk Rakyat Papua, antara lain KNPB (Komite Nasional Papua Barat), AMP (Aliansi Mahasiswa Papua), WPNA (West Papua National Authority), MAI (Masyarakat Adat Independen), DAP (Dewan Adat Papua), Asosiasi Mahasiswa dan Pemuda Papua Barat (AMP3B), Himpunan Pelajar Mahasiswa Kwiyawagi Bersatu se-Indonesia di Jayapura, Nelayan Pribumi Papua (NEPPA) Kota Jayapura, Serikat Pembebasan Perempuan Papua (SP3), Ikatan Mahasiswa Pegunungan Tengah di Manukwari, Serikat Perjuangan Rakyat Lapago Papua (SPRLP), Suku besar Dani, Damal, Nduga (D3N) di Nabire, Orang Muda Katolik Kristus Raja (OMK KR), Pemuda Adat Wate, Suku besar Unaukam, Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), Front Rakyat Maubere Untuk West Papua (FRM-WP) dan PNG’s NGO and Civil Society Coalition Partners. Inc
Ketua Dewan Adat Suku Byak (Manfun Kawasa Byak) Papua, Apolos Sroyer, mengatakan bahwa Rapat Dengar Pendapat Majelis Rakyat Papua (RDP-MRP) di Biak tidak melibatkan unsur adat karena diduga dipolitisir oleh Pemerintah Daerah berserta perangkat aparat keamanan secara sistematis.
Sementara, Sekertaris Kankain Karkara Byak (KKB), Gerard Kafiar, menyatakan bahwa pernyataan sikap dan rekomendasi rakyat Byak telah diserahkan kepada dua wakil MRP [di luar] forum RDP. Pernyataan sikap kami baru kami berikan kepada anggota MRP pukul 01.00 Waktu Papua (Kamis dini hari) yaitu kepada anggota MRP, Neles Rumbarar dan Yuliana Wambrauw,” katanya. Diharapkan, dua anggota MRP ini tetap melanjutkan kesepakatan 9 kepala adat (Mananwir) wilayah Biak dalam pernyataan sikap tersebut tanpa terpancing dengan pernyataan sepihak yang dilakukan oleh pemerintah Biak Numfor.
Rencana Rapat Dengar Pendapat (RDP) tentang Pelaksanaan Otonomi Khusus yang direncanakan Majelis Rakyat Papua (MRP) di masing-masing wilayah adat selama dua hari diperhadapkan dengan situasi yang tidak diduga sebelumnya. Rapat Dengar Pendapat yang direncanakan pelaksanaanya pada 17–18 November 202 tersebut dibatalkan oleh lembaga lain yang semestinya tidak boleh terjadi. Demikian dikemukakan Okto Marko Pekei, ketua Dewan Adat Wilayah (DAW) Meepago, melalui release kepada suarapapua.com, Kamis (19/11/2020).
Namun aneh, Maklumat Kapolda Papua yang isinya menekankan dua hal yaitu; Pertama; Dalam pelaksanaan RDP wajib memperhatikan protokol kesehatan Covid 19 yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan Kedua; Dalam pelaksanaan kegiatan RDP dilarang merencanakan atau melakukan tindakan yang menjurus pada tindak pidana keamanan negara “makar”.
Sikap positif malah ditunjukkan oleh Bupati Nabire mengeluarkan surat dengan nomor 330/2919/set tentang Penolakan Rencana Pelaksanaan RDP di Wilayah Meepago tersebut merujuk pada Surat Kapolres Nabire dengan nomor surat B/775/XI/YAN/2.1/2020/Intelkam perihal pertimbangan tempat pelaksanaan kegiatan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Kabupaten Dogiyai yang mendapat penolakan dari sejumlah komponen masyarakat di wilayah Adat Meepago dan akan menimbulkan kerawanan keamanan dan ketertiban masyarakat di Wilayah Meepago,” terangnya.
Ia menilai, berdasarkan tanggapan yang berbeda antara pemimpin di tingkat provinsi dan pemimpin di tingkat kabupaten atas rencana pelaksanaan RDP tersebut diatas, bupati Nabire tidak menjadikan seruan Gubernur Provinsi Papua sebagai rujukan dalam surat yang dikeluarkan sehingga terkesan mengabaikan petunjuk atasan.
Penulis setuju dengan Kepala BAIS, Letjen TNI Joni Supriyanto yang mengatakan, Papua sudah sah menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak 1969, dengan melihat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua yang pernah dilakukan pada 1969. Hasil Pepera itu kemudian selalu digaungkan oleh TNI kepada masyarakat Papua dan di luar Papua. Sebelum hasil Pepera tersebut, sudah ada perjuangan rakyat bangsa yang dipimpin oleh Panglima Mandala saat itu, Soeharto.
“Sehingga dari upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia waktu itu, didengar oleh PBB, maka dilakukan Pepera. Kemudian, lobi-lobi politik antara Indonesia dengan negara luar untuk meyakinkan bahwa Papua adalah bagian Indonesia dilakukan oleh petinggi kita zaman dahulu,” ujar Jenderal berbinta tig aini seraya menambahkan, desakan gerakan separatisme, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM), perlu diwaspadai, terlebih lagi, saat ini, gerakan tersebut dinilai sudah memasuki ranah dunia maya atau bergerak melalui media sosial (medsos).
Semua elemen bangsa, terutama generasi muda, untuk melawan gerakan separatis tersebut dengan cara perang opini. Adapun perang opini itu dapat dilakukan dengan memberikan narasi terkait keberhasilan pemerintah dalam membangun Papua.
*) Penulis adalah pemerhati masalah strategis Indonesia.
Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.