Foto: Presiden Joko Widodo, sumbee foto: Pinterpolitik.com
Oleh : Ruskandi Anggawiria
Stramed, Bagi orang Indonesia tampaknya hal yang sangat sulit berkata jujur, apa lagi jika harus memuji orang yang menjadi lawan. Namun sebaliknya bagi orang Eropa atau mereka yang terbiasa dengan budaya barat. Pujian kepada orang yang layak dipuji, adalah hal yang ringan saja mereka lakukan.
Demikian juga dengan seorang mitra Jokowi ketika masih menggeluti bisnis mebel. Seorang Perancis yang mengenal Jokowi sejak dua dekade lalu, dengan enteng menyebut Jokowi yang dikenalnya dahulu tidak berubah dengan yang dijumpainya ketika sudah menduduki jabatan tinggi.
Bernard, demikian nama mitra tersebut, mengaku dirinya tidak melihat Jokowi sebagai politisi, “Dia bukanlah politisi” terangnya. Jika mendefinisikan politisi sebagaimana kita menilainya dari kaca mata yang umum, barangkali aneh kalau melihat perilaku politisi seperti Jokowi.
Lazimnya politisi, selalu melihat setiap kebijakan yang diambilnya, memperhitungkan ongkos politik dan resikonya bagi karir dirinya di masa depan. Taruh saja ketika mengorbankan dirinya menjadi bahan olok-olokan oposisi, ketika memprioritaskan pembangunan infrastruktur, apakah Jokowi sedang melakukan bunuh diri politik? Benar apa yang dikatakan Bernard tadi, Jokowi memang bukan politisi sebagaimana kita saksikan pada mereka yang bergelut di dunia politik secara umum.
Perilaku Jokowi menjadi antitesis terhadap cara pikir lama tentang pengambilan kebijakan bagi kemaslahatan rakyat. Kita bisa bayangkan ketika kursi jabatan yang sangat menggoda itu digoyang sedemikian kuatnya. Penyebabnya adalah karena dia berani mengutamakan pembenahan fondasi ekonomi, yang bagi pejabat lain merupakan pekerjaan beresiko besar.
Namun karena dia bukanlah seorang politisi, seperti diucapkan oleh mitra Perancisnya, maka hitung-hitungan politik tidak menjadi perhatiannya yang pertama. Hitung-hitungan yang paling menggugahnya adalah tentang yang seharusnya dilakukan menurut rasa kebangsaannya.
Bahwa karena banyak hal yang tidak semestinya terjadi, tentang mafia migas misalnya. Karena memang Jokowi tidak melihat resiko politik sebagai harga yang harus sekuat tenaga dipertaruhkannya, maka dengan ringan pula pemberantasan mafia-mafia yang menggerogoti keuangan negara itu dilawannya.
Pertanyaan klasik akhirnya mengganggu kita, kenapa para Presiden terdahulu tidak seberani Jokowi? Untuk menjawab pertanyaan itu tentu ada beberapa versi. Bisa jadi Presiden terdahulu tidak memiliki pemahaman yang sama dengan Jokowi, atau tidak memiliki prioritas yang sama, dan ada pekerjaan yang lebih mendesak untuk dilakukan lebih dahulu ketimbang pemberantasan mafia.
Namun sejauh yang kita amati, keberanian melawan tradisi negatif yang bepotensi akan terus diwariskan kepada generasi mendatang, adalah perhitungan utama Jokowi. Dia memutuskan untuk menghentikan praktik tak terpuji itu jika ingin rintangan terbesarnya dihilangkan, dan dengan memulai langkah awal pemberantasan mafia-mafia, menjadi penyemagat untuk membenahi rintangan-rintangan lain yang tak kalah rumitnya.
Langkah-langkah besar yang telah dicapai oleh Jokowi, ternyata tak membuat lawan politik ciut untuk melakukan perlawanan. Padahal jika mereka berhitung dengan benar, keberhasilan Jokowi mengembalikan hak-hak pengelolaan sumber daya alam bagi negara, niscaya akan membuat mereka berpikir ulang untuk mempersoalkan kesaktiannya.
Sangat tepat apa yang dikatakan Bernard, Jokowi adalah pemimpin yang terbentuk secara alamiah. Namun ada hal yang dilewatkannya, dia hanya menyebutnya sebagai cerdas dan pandangannya jauh ke depan, seharusnya yang paling pertama diucapkannya, Jokowi menakar segala kebijakannya berdasarkan kata hatinya.
Memang Tuhan tidak pernah salah dalam membela orang-orang baik, demikian juga ketika Jokowi berpihak kepada kepentingan rakyat dan bangsanya. Dengan keyakinan yang tinggi, meskipun arus gelombang penentangan begitu besar dan dahsyat, Presiden Jokowi sangat teguh ketika telah memutuskan langkah kebijakannya yang mengganggu hajat orang-orang kuat.
Kita sangat yakin ketika memutuskan mengambil alih Freeport, banyak pihak yang akan dirugikan. Fee atas keuntungan sangat besar bagi perusahaan asing itu, yang semula mengalir ke pihak-pihak tertentu, dihentikan seketika oleh Jokowi. Dan potensi kemarahan pasti akan dihadapi oleh pemerintah.
Namun dengan tekad yang kuat, ternyata semua rintangan itupun berhasil dihindarkan, dan kini negara mendapat keuntungan yang sangat besar, pemerintah berikutnya pun mendapat keuntungan, karena persoalan divestasi Freeport berhasil diselesaikan.
Dengan meletakkan fondasi kuat bagi pembangunan Indonesia di masa jabatannya yang kedua, Jokowi telah meletakkan ancang-ancang agar kejayaan kita dipacu lebih kencang. Inilah bukti kebenaran yang disebut Bernard, bahwa Jokowi adalah pemimpin yang lahir secara alamiah namun cerdas dan bepandangan jauh ke depan.
Sangat berbeda dengan lontaran kritik yang disampaikan oleh haters seperti Rocky Gerung misalnya. Dia yang merupakan jenis berlawanan dengan sikap jujur ala Bernard, karena tak pernah ada kamus positif tentang Jokowi di benaknya.
Namun kita tak perlu perhatikan kata-kata yang penuh kebencian dari seorang Rocky Gerung. Kita hanya melihat dampak yang dihasilkan oleh sikap positif Jokowi. Jika Rocky Gerung berkata benar, bahwa Jokowi salah dalam melakukan langkah kebijakannya, maka tidak mungkin pula semua hasil positif yang ditunjukkan pemerintah, terbukti seperti yang kita lihat sekarang.
Fakta-fakta otentik itu menjadi bantahan yang paling telak, bahwa kritikan pedas seperti yang disampaikan oposisi sekaliber Rocky Gerung, hanya akan menenggelamkan dirinya saja, sementara pemerintah tetap maju dengan segala kebijakannya yang pro kepada rakyat dan bangsa.
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.