Oleh : Toas Rahman Jalil
Wacana rekonsiliasi politik mengemuka pasca Pilpres 2019, walaupun “batu sandungan” untuk mewujudkannya tetap menganga. Rekonsiliasi politik diperlukan untuk meredakan ketegangan politik kedepan.
Menurut berbagai sumber dari media massa, dikabarkan Jokowi sudah mengutus 3 pensiunan jenderal untuk berdialog dengan Prabowo yaitu Moeldoko, Budi Gunawan dan Luhut Binsar Panjaitan, namun belum berhasil.
Peluang rekonsiliasi politik pasca pilpres tampaknya sulit dengan indikasi : pertama, menurut Moeldoko sebenarnya Prabowo mau bertemu dengan Jokowi, namun dipengaruhi lingkungan/orang orang tertentu sekitarnya untuk menolaknya. Mungkin analisa Moeldoko benar. Kedua, Prabowo-Sandi dikabarkan tidak menghadiri rapat KPU tanggal 30 Juni 2019 untuk penetapan Capres/Cawapres terpilih. Ketiga, Prabowo belum mengucapkan selamat kepada Jokowi.
Jika Prabowo tidak mau menerima rekonsiliasi politik, maka banyak kerugian yang akan diperolehnya antara lain : pertama, bisa saja suatu saat ditinggal koalisi lamanya, karena pasti ada parpol yang saat ini gabung dengan Gerindra, akan “loncat pagar”, karena gestur politik parpol adalah ingin berkuasa.
Kedua, Gerindra atau parpol manapun yang menolak rekonsiliasi harus berani menjadi oposisi sebenarnya, bukan quasi oposisi seperti yang dilakukannya selama ini. Menjadi oposisi sesungguhnya membutuhkan modal besar, media massa yang bersedia diajak berkolaborasi menyebarkan suara oposisi dan harus sabar serta kuat jika mendapatkan perlakuan hukum yang kurang mengenakkan. Bahkan mendapatkan sinisme dari masyarakat yang meminta politik cepat stabil agar ekonomi tidak terganggu.
Setidaknya ada dua skenario dari berhasil tidaknya rekonsiliasi politik, dimana hasil akhirnya tetap sama parpol pendukung pemerintah akan mendapat dukungan politik sebesar 78 persen, sedangkan parpol oposisi hanya 20 sampai 22 persen saja dari hasil suara Pileg 2019.
Skenario pertama, hanya Gerindra dan PKS yang konsisten jadi oposisi, maka suara kedua parpol ini hanya 23 persen hasil Pileg 2019.
Skenario kedua, Jokowi hanya mengajak Gerindra dalam koalisinya. Dengan dukungan hanya dari PDIP mendapatkan suara di Pileg 2019 sebanyak 27.053.961 atau 19,33%, Partai Golkar mendapatkan 17.229.789 atau 12,31%, PKB (13.570.097 atau 9,69%) dan Nasdem (12.661.792 suara atau 9,05%) yang memiliki kekuatan politik proporsional, maka jelas pemerintahan Jokowi membutuhkan teman koalisi baru khususnya Partai Gerindra yang mendapatkan 17.594.839 suara atau 12,57%, apalagi kondisi internal Partai Golkar yang diwarnai konflik internal.
Dalam politik praktis, berlaku adagium “tidak ada lawan dan kawan politik yang abadi, namun kepentingan yang abadi”. Mengacu kepada adagium ini, maka Jokowi-Ma’ruf Amin membutuhkan partner politik yang memiliki kekuatan massa yang besar. Partai Gerindra perlu digalang untuk masuk koalisi pemerintahan, karena untuk mengurangi “political turbulence” ke depan, sebab jika Partai Gerindra masuk ke koalisi Jokowi maka koalisi Jokowi memperoleh kekuatan politik sebesar 77,18%.
Kemungkinan besar Partai Demokrat dan PAN tidak diajak ke koalisi baru Jokowi, karena “budaya politiknya”, termasuk PKS kurang dapat diterima karena gaya politiknya berbeda dengan PDIP dan Nasdem serta parpol koalisi utama kubu Jokowi. Jika ini yang terjadi, kekuatan oposisi juga hanya miliki 23 persen saja.
Penulis adalah kolumnis.