Foto: Peneliti senior LIPI Syamsuddin Haris, sumber foto: Syamsuddinharis.wordpress.com
Stramed, Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mempermasalahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memberi kesan akan mengajak oposisi ke dalam kabinetnya.
Menurutnya, di periode ini Presiden Jokowi harus lebih percaya diri dalam membantuk kabinet.
“Untuk periode kedua, Pak @jokowi mestinya bisa lebih percaya diri dalam bentuk kabinet,” kata peneliti senior Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI itu dalam akun twitternya @sy_haris pada Jumat (26/7/2019).
Menurutnya sinyal yang diberikan Presiden Jokowi kepada Papol oposisi merupakan hal yang tidak baik untuk negeri.
“Tidak perlulah beliau memberi kesan hendak mengajak parpol yang kalah pilpres untuk masuk ke dalam pemerintah. Hal itu bukan hanya tidak baik bagi negeri ini, tapi juga tidak bagus untuk legacy Jokowi sendiri,” tandasnya
Diberitakan Kompas.com sebelumnya Ketua Umum partai Gerindra Prabowo Subianto melakukan pertemuan terbuka dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri di kediaman Megawati, Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat pada Rabu (24/7/2019).
Pertemuan itu digelar sebagai wujud lanjutan dari pertemuan Jokowi dan Prabowo beberapa waktu lalu.
Adapun dalam pertemuan dua tokoh sentral dari dua koalisi ini menyebut beberapa pernyataan penting terkait politik pasca-Pemilu 2019. Misalnya saja pernyataan Prabowo yang bersedia membantu dalam mengatasi masalah kebangsaan.
Setelah pertemuan, Prabowo mengaku bahwa pihaknya bersedia untuk saling membantu untuk mengatasi masalah kebangsaan. “Melalui pertemuan ini kami ingin melanjutkan dan menyambung tali persaudaraan dan hubungan yang rukun sehingga kita bisa membantu mengatasi masalah kebangsaan,” ujar Prabowo.
Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa Megawati sama-sama memiliki jiwa patriot dan berkomitmen pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Kami sama-sama patriot. Berkomitmen pada NKRI. Jadi, kalau ada perbedaan itu biasa,” lanjut dia.
Masih dikutip Kompas.com Pengamat politik yang juga Kepala Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Aditya Perdana menilai, jika keduanya membahas soal kesepakatan politik, hal itu tak mudah dilakukan.
Menurut dia, akan ada resistensi di internal koalisi pendukung Jokowi dan Prabowo. “Karena di dalam koalisi atau di partai politik baik itu Pak Jokowi atau Pak Prabowo bukan hal yang gampang juga untuk menerima atau menawarkan sesuatu,” kata Adit Rabu (24/7/2019).
Adit mengatakan, Megawati, yang berada dalam koalisi pendukung Jokowi, harus mempertimbangkan keberadaan partai-partai politik pendukung selama Pilpres 2019 yang sudah banyak bekerja demi kemenangan Jokowi-Ma’ruf.
“Jadi kalau dari Pak Jokowi ingin menerima (tawaran politik dari Prabowo) itu bukan hal yang gampang diterima oleh kelompok partai-partai pendukung,” ujar Adit.
“Karena mereka kan pengen mengatakan bahwa ‘Kami ini sudah berkeringat gitu lho untuk membantu Pak Jokowi’ sehingga ada harga atau pandangan yang juga harus dihargai oleh Pak Jokowi dan tim,” lanjut dia.
Sementara di kubu Prabowo ada beban secara psikologis untuk akhirnya bisa mengambil kesepakatan bersama dengan Megawati atau kubu yang menjadi rivalnya selama kontestasi Pilpres 2019. “Sementara dari sisinya Pak Prabowo, saya sangat yakin sulit juga menawarkan sesuatu, pasti ada (beban) dari sisi psikologis, belum tentu mudah. Karena mereka kan bukan bagian perjuangannya koalisi tersebut,” kata Adit (https://wartakota.tribunnews.com/2019/07/26/soal-koalisi-mendekat-oposisi-profesor-lipi-harusnya-jokowi-lebih-pd-di-periode-ke-2?page=2)
Sedangkan, pemerhati politik di Depok, Jawa Barat, Agung Wahyudin mengatakan, memang benar Presiden Jokowi harus pede dalam menyusun kabinet sebab beban politiknya sudah tidak ada karena tidak bisa ikut Pilpres 2024. Namun, Jokowi adalah “petugas partai dan pion” saja sehingga walau punya hak prerogratif pilih menteri namun intervensi ketum partai tetap kuat.
“Jadi siapapun yang menjadi menteri bukan karena profesional tapi balas budi saja. Dampaknya potensi kegagalan dan stagnasi pembangunan dan pemerintahan tetap terjadi, reshuffle kabinet akan sering dan jika terjadi kegagalan maka Jokowi akan menanggung sendirian,” ujarnya (Red)