Stramed-Jakarta. Dari pemberitaan di media dan Medsos dimana kelompok yang menolak Omnibus Law lebih besar dibandingkan yang menerima. Diantara kelompok menolak dan pro Omnibus Law tidak ada saling dialog atau terjadi komunikasi yang bertepuk satu tangan karena mereka berada dalam ranah sendiri-sendiri.
Demikian dikemukakan Tomi Satyartomo dalam kajian online LP3ES Jakarta bertema “Pasukan Siber, Omnibus Law dan Kemunduran Demokrasi” di Jakarta belum lama ini seraya menambahkan, kelompok yang pro Omnibus Law tidak ada akun-akun Parpol pendukung, milik kementerian/lembaga ataupun tokoh-tokoh yang terkenal, sehingga dipenuhi akun-akun buzzer termasuk akun Denny Siregar yang paling aktif.
“Sejauh ini, pemerintah belum cukup melakukan upaya mengubah persepsi terkait Omnibus Law dengan indikasi suara resmi dari pemerintah tidak mendominasi. Yang mendominasi hanya akun-akun buzzer,” ujarnya.
Sebaliknya, ujar peneliti LP3ES ini, klaster yang kontra di Omnibus Law sangat aktif dengan akun-akun akademisi seperti PUKAT UGM, media massa seperti CNN Indonesia, Detik.com, tirto.id dan lain-lain, Hidayat Nur Wahid, Teuku Zulkarnaen, akun Partai Demokrat dan PKS, dimana penjelasan mereka terkait penolakan Omnibus Law dirujuk netizen-netizen.
Menurutnya, pemberitaan Omnibus Law di media massa memuncak tanggal 8 Oktober 2020 dengan mengalahkan berita soal Pilkada, dan meningkat lagi tanggal 12 Oktober 2020 dimana ada peristiwa mahasiswa menyegel kantor-kantor Parpol pendukung Omnibus Law di Bali.
“Dalam perkembangan terakhir dari analisis pemberitaan media massa terkait Omnibus Law, ada tendensi stamina kelompok penolak Omnibus Law mulai menurun. Volumenya menurun dan narasinya mulai pro ke Omnibus Law,” jelas Tomi (Red).