Stramed, Ada 2 nomenklatur utama yang dipersoalkan oleh Direktorat Tindak Pidana Khusus, Direktorat Pidana Ekonomi Mabes Polri, sehubungan aktivitas yang dilakukan oleh Zaim Saidi di Pasar Muamalah, Depok. Nomenklatur pertama, transaksi tidak menggunakan rupiah. Sesua dengan ketentuan Pasal 33 UUD No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Nomenklatur kedua, persoalan yang diperkarakan oleh Mabes Polri adalah membikin barang yang seolah-olah menjadi uang atau membuat benda yang difungsikan sebagai uang. Uang sendiri itukan memiliki fungsi sebagai satuan penyimpan nilai dan alat tukar termasuk alat pembayaran. Meskipun dalam perkembangannya fungsi itu sudah mulai ditinggalkan, bukan ditinggalkan, ditambah dengan fungsi yang lain tadi sudah dijelaskan uang sendiri sudah menjadi komoditi yang ini membuat uang tadi tidak lagi menjalankan fungsi aslinya tapi sudah menjadi komoditi terpisah dan itu yang kemudian menjadi bencana. Selain persoalan adanya devaluasi, baik inflasi atau deflasi karena uang tadi tidak di-backup, currency-nya tidak di-backup dengan satu barang yang punya nilai yang diakui dunia dalam hal ini emas dan perak sejak Amerika melepaskan diri dollarnya dengan cadangan emas itu yang membuat uang ini menjadi masalah bagi dunia. Yang kedua adalah karena tadi uang menjadi komoditi terpisah, ujar aktivis gerakan Islam Ahmad Khozinuddin S.H dalam FGD virtual yang mengangkat tema “Transaksi Dinar dan Dirham Sebuah Pelanggaran Perspektif Hukum, Ekonomi, dan Politik” yang diadakan oleh Lingkar Studi Ekonomi Ideologis dan PKAD -Pusat Kajian dan Analisis Data, Sabtu (06/02).
Ahmad Khozinuddin menyatakan bahwa dirinya sudah membuat artikel mempersoalkan kebijakan Mabes Polri dalam kasus yang dialami Zaim Saidi di Pasar Muamalah, Depok karena nomenklatur itu tidak bisa diterapkan pada fakta transaksi muamalat yang ada di Depok. Jadi di dalam hukum itu tidak boleh membuat satu analogi persoalan tafsir dari satu ketentuan pasal sehingga suatu perbuatan-perbuatan yang sebenarnya bukan tindak pidana dipaksa menjadi satu tindak pidana atau kejahatan. Jadi bertransaksi dengan dinar dirham itu bukan kejahatan tapi karena ada analogi tadi perluasan tafsir terhadap unsur-unsur pidana dari suatu ketentuan pasal perundang-undangan nah ini beliau dipersoalkan. Ia menyebut ini kriminalisasi. Jadi ada dua nomenklatur yang ia sampaikan dalam artikelnya, yang pertama ada kriminalisasi, karena tindak atau perbuatan yang dilakukan Zaim Saidi itu bukan suatu tindak kejahatan. Yang kedua, diskriminasi pada perkara yang sama toh tidak diperlakukan tindakan yang serupa. Sebagaimana tadi sudah banyak contoh. Pertama soal melakukan transaksi tidak menggunakan rupiah, ia mau jujur mungkin boleh jadi ia belum hitung dan belum ada data, berapa sih kalkulasi tentang penggunaan rupiah kita terhadap seluruh transaksi ekonomi baik pertukaran barang atau jasa di negara kita. Yang jelas instrumen pertukaran yang kita ketahui bukan hanya rupiah, pertama mata uang selain rupiah di negara ini banyak menggunakan mata uang dollar. Kalau di Batam, dollar Singapura paling banyak. Bahkan beberapa perjanjian di Batam nilainya pakai SGD. Boleh jadi beberapa lawyer di Batam transaksi feenya itu dibayar dengan dollar Singapura. Kalau di Bali dollar Amerika, wisatawan turis Amerika tidak mengkonversi dulu mata uang dollarnya yang dimiliki itu kepada rupiah tapi langsung menggunakan transaksi itu langsung dengan dollar tadi membeli sejumlah barang dan jasa yang ada di Bali. Kalau kita bicara tentang tidak menggunakan rupiah untuk transaksi, ini semua memenuhi unsur. Tetapi apa sebenarnya dalam pasal tadi 33 UUD No. 7 Tahun 2011 yang dimaksud itu.
Aktivis gerakan Islam tersebut mengaku mempunyai pengalaman di beberapa pasar swalayan, ada satu foodcourt tertentu, yang merka memang di komunitas mereka dalam melakukan transaksi jual beli barang-barang khusus. Ia kasih contoh di Eat and Eat di Mal Metropolitan itu tidak menggunakan rupiah, anda membawa uang 10 juta rupiah tunai kalau dibawa kesitu gak laku rupiah anda. Kalau mau belanja makanan disitu mau beli misalkan gudeg jogja disitu ya harus dikonversi anda, membeli kartu kemudian mengisi istilahnya tokennya diisi dari kartu tadi misalkan satu juta setelah itu baru bisa pergi ke tenant yang ada kemudian kita beli, gesek dan berkurang saldonya. Memang itu hanya strategi bisnis saja. Yang pertama strategi pembagian margin antara pembeli tenant dengan pengelola daripada bisnis itu sendiri sehingga pembayarannya dibagi berdasarkan margin penjualan. Semakin penjualan tinggi semakin untung pengelola lahan jadi sama-sama menguntungkan. Yang kedua, mereka memang mau memberikan suatu keunggulan komparatif, image tersendiri bagi komunitas mereka. Ketiga, strategi marketing, customer mau tidak mau balik lagi kesitu. Ada yang tradisionil di Pasar Gemblung, Magelang mengkonversi rupiah dengan geblu dengan nilai tertentu untuk membeli jajanan.
Transaksi di Pasar Muamalah juga sama, menerima rupiah, kalau dengan dinar dirham harus dibeli bukan dikasih oleh penyedia. Dan memang ada margin itu biasa. Orang jualan dollar dalam money changer dapat margin juga untung, sah. Apalagi ini jual dinar dirham, katakanlah biaya produksi dinar dirham itu dengan harga jualnya berbeda, ya wajar. Ada ongkos produksi, ada margin yang diambil. Asal ada kesepakatan, tidak ada masalah. Dan ini sebelumnya tidak pernah dipersoalkan. Hanya kemudian hal-hal ini dipersoalkan ketika ia sebut rezim ini mengidap Islamophobhia, anti Islam. Kalau M. Hatta menyatakan aneh kok begini, ia malah melihat ini tidak aneh karena rezimnya seperti ini anti Islam. Coba kita lihat khilafah yang memang sudah ajaran Islam, dalilnya jelas pun dipersoalkan. Apalagi dinar dirham yang dalil yang disampaikan tadi belum begitu mahsyur di tengah masyarakat, belum semuanya tahu. Orang melihat dinar dirham itu masih sesuatu yang mengawang. Tapi kalau khilafah orang sudah tahu itu memang ajaran Islam, sudah pernah ada kholifah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Banu Ummaya, Bani Abbas, dan seterusnya. Itupun dikriminalisasi. Jadi persolannya bukan masalah perbuatannya, bukan pula undang-undangnya tapi rezimnya, papar Ahmad Khozinuddin.
Persoalan tentang membikin uang yang digunakan untuk transaksi yang ia edarkan dan mengajak masyarakat untuk transaksi. Sekarang persoalannya apakah dinar dan dirham itu dideklarasikan sebagai uang. Itu kan hanya barang yang memiliki nilai intrinsik tanpa kita memberikan jaminan bahwa emas ini berharga. Emas itu tetap berharga, berbeda dengan fiat money. Kalau negara melepaskan jaminan terhadap rupiah, misalkan hari ini BI mengumumkan Rupiah tidak kamu akui lagi sebagai mata uang Indonesia, kita akan ganti Rupiah ini menjadi misalkan rapiah, ga berlaku itu Rupiah yang kita pegang. Tapi kalau emas mau Pemerintah bilang ga laku, mau Pemerintah ngomong laku, itu tetap berlaku karena emas dan perak memiliki nilai intrinsik. Jadi fakta di Pasar Muamalah itu bukan membuat uang, hanya barter saja sejumlah emas dan perak berubah bantuknya dalam koin tertentu yang memang diberi nama dinar dan dirham yang dalam Bahasa Arab maksudnya emas dan perak. Dan itu ditransaksikan, tidak memaksa dan hanya berlaku di komunitas mereka. Orang di luar dinar dan dirham boleh menggunakan Rupiah, boleh juga tidak bertransaksi di situ. Dan yang penting basis transaksinya itu real ada produk yang diperjualbelikan, jelasnya.
Kalau hal itu dipersoalkan, penerbit kartu Brizzi, e-money, bit coin, asuransi yang bisa transaksi langsung dengan dollar, yuan renminbi apakah bermasalah. Ia mengatakan tidak masalah kalau dalam konteks pasal 9 UUD No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Pidana. Balik lagi karena yang dipersoalkan bukan membikin uang dan bukan melakukan transaksi selain dengan Rupiah. Tapi dinar dan dirham lekat dengan Islam, dan bagian dari ajaran Islam, ajaran sistem moneter dalam Islam. Dan ini dipandang menggangu Pemerintah, menggangu keuangan Negara, mengganggu sistem yang sudah eksis. Penggunaan kartu, teknik digital tertentu, seperti OVO lepas dari kontrol Bank Indonesia. Bagaimana BI mengkontrol peredaran uang karena yang beredar bukan hanya uang. Inflasi kalau dahulu itu hanya ditentukan berapa banyaknya cetakan uang yang dikeluarkan BI, kalau hari ini bagaimana sistem keuangan dari luar negeri masuk secara bebas, OVO dan sebagainya. Dan itu tidak terukur dengan catatan BI tentang peredaran jumlah barang dan jasa dibandingkan dengan peredaran mata uang. Boleh jadi inflasi real yang terjadi hari ini lebih besar ketimbang apa yang dicatat oleh BI. Karena banyak transaksi tadi menggunakan sarana jual beli tidak lagi menggunakan fiat money atau uang yang dikeluarkan BI. Zaim Saidi orang yang cinta agamanya berusaha mengedukasi dinar dirham sebagai ajaran Islam mendapat kriminallisasi karena rezimnya anti Islam, terangnya.
Edy Mulyadi, jurnalis senior menyampaikan bahwa konspirasi global ataupun elite global, Yahudi yang mengatur perekonomian dunia untuk kepentingan, keserakahan mereka. Harta benda kita yang kita cari bertahun-tahun, keringat, banting tulang segala macam, cuma dibayar dengan lembar kertas yang dalam detik, menit bisa dicetak. Begitulah perekonomian dunia disusun dan Indonesia sebagai bagian, pelaksana, penjaga dan pengaman sistem itu berlangsung dari segala macam gangguan yang tidak dikehendaki oleh majikan asing baik disadari maupun tidak disadari. Derajat Indonesia dibawah jongos, budak, dan sekaligu menjadi satpam, menjadi anjing herder.
Edy Mulyadi mengaku tidak tahu apakah Polisi-polisi yang menangkap Bang Zaim paham atau tidak. Segala hormat dan mohon maaf, Polisi tidak dilatih untuk berpikir seperti narasumber yang dahsyat-dahsyat jauh melihat gambar besarnya. Kalau kita yang awam cuman melihat gambar yang kotak kecil dan kadang-kadaing itu pun buram karena berbagai kelemahan kita. Para pembicara memperlihatkan petanya, kalian itu merupakan skrup yang ditaruh untuk dimainkan. Reserse Kriminal Ekonomi hampir pasti tidak paham dan jangan-jangan Menteri Keuangan, Sri Mulyani juga tidak paham, Doktornya bukan moneter bukan ekonomi makro, doktornya perguruan dengan contoh kasus buruh di Lampung.
Ada kelompok yang memang mind master menyusun rencana yaitu Yahudi elite global, ada kelompok para pelaksana yang mendapat honor, bagian, gaji seperti saya menjadi jongos. Ada juga kelompok-kelompok yang menjadi jongos tapi tidak tahu dan yang paling parah sudah jadi jongos sekaligus jadi hansip, anjing herder. Ia khawatir Indonesia masuk ke kelompok yang ke-empat, dieksploitasi, sumber daya alam dikeruk, dibayar uang kertas yang dalam detik dicetak, ujar Edy.
Begitu ada kelompok orang yang berusaha menawarkan dan menerapkan sistem lain tetapi dianggap menggangu kepentingan majikannya maka kita bereaksi cepat langsung mengambil tindakan hukum untuk kepentingan kekuasaan. Apa yang terjadi pada bangsa ini, jangankan tokoh-tokoh yang bicara ini, orang awam di pasar pun paham ini kezaliman. Meskipun mereka berpegang dengan aturan ketentuan tentang mata uang yang sah, transaksi legal, jelas Jurnalis Forum News Network.
Ia terlibat aktif sekitar tahun 90an sampai awal 2000an dan masuk menjadi pelaku di industri futures trading, perdagangan berjangka. Belanja minyak, emas, currency, forex semua transaksinya dengan dollar untuk merayu orang untuk investasi, deposit rupiah dikonversi ke dollar baru bertransaksi dengan dollar. Hal itu terjadi berpuluh-puluh tahun tetapi Polisi tidak ngapa-ngapain. Kalau mau belanja mobil pun dihitung dengan dollar dan dikurskan. Apalagi kalau kita buka kontrak-kontrak beli minyak Pertamina, batubara PLN dalam dollar. Pemerintah sendiri membuat harga batubara atas dalam dollar, 1 ton USD 75. Ketika harga naik di intenasional, para penambang batubara lebih seneng menjual keluar daripada menjual kepada PLN. Dulu ada aturan minimal, market obligation, para penambang batubara harus menjual minimal 25% kepada PLN untuk bisa menggerakkan pembangkitnya. Tetapi baru 2 bulan ini aturan itu dihapuskan dan tidak ada sanksi. Walaupun ada aturan, kalau harga di luar harga gila-gilaan sampai 100 dollar, mereka ramai-ramai menjual, tinggal PLN kelimpungan. Tetapi kita tahu dibelakang ada siapa-siapa, kakak pembina, kakak pembunuh, dan sebagainya, ungkap Edy.
Menurut Edy Mulyadi, Polisi sudah sangat lama paling tidak dalam 6 tahun terakhir menjadi alat kekuasaan. Harusnya menjadi alat negara. Zaim Saidi dosanya apa. Tadi dipaparkan dengan sangat bagus oleh M. Hatta dan ia tertarik, bagaimana justru transaksi dalam uang fiat monet tadi merugikan perekonomian kita bahkan perkonomian dunia. Tetapi karena kita tidak paham, jadi jongos, budak, anjing herdernya maka kezaliman terjadi pada Zaim Saidi. Dulu sewaktu belum covid, kalau kita makan ke mal kalangan atas banget, Grand Indonesia misalnya, yang menyatu dengan hotel di Tamrin, Bunderan HI, Hotel Indonesia, di lantai sekian ada semacam foud court tapi kalangan atas kita datang beli kupon, kita taruh lima ratus ribu beli kupon, kita belanja, sobek dikasih atau tidak distempel, itu apa namanya, masing banyak terjadi di tempat-tempat lain.
Menurut pengamat politik Dr. Tony Rosyid, Indonesia apakah benar ingin membangun ekonomi syariah. Pernyataan ini bersifat fatal. Apakah indikatornya diantaranya ketika ada lembaga ekonomi Syariah yang dipimpin oleh Erick Thohir. Dari strukturnya dipertanyakan. Apakah betul orang tersebut mempunya kapabilitas dan spirit untuk membangun ekonomi syariah. Apakah indikator yang kedua koleksi wakaf. Menurutnya terlalu naif kalau memahaminya seperti itu. Kedua indikator itu mestinya kita baca sebagai bagian daripada upaya Pemerintah yang dalam kondisi panik mencoba untuk memanfaatkan potensi ekonomi yang dimiliki oleh rakyat. Dengan Bahasa-bahasa rakyat karena rakyat mayoritas beragama Islam kemudian maka Bahasanya Islam. Karena rakyat spiritnya akan tumbuh dengan Bahasa Islam dalam konteks Pemerintah memiliki kepentingan untuk mendapatkan uang. Resiko yang paling berat itu justru ketika uang ini dikerok ke atas untuk kebutuhan menambah anggaran Pemerintah dalam kebutuhan terutama kegiatan infrastruktur peredaran uang ini makin berkurang jadi bahaya. Maka munculnya resesi ekonomi, justru kita belum melihat solusi yang ditawarkan Pemerintah meskipun sudah ada optimisme sudah akan ada pertumbuhan 5,8% dari minus 3,49%. Ia sebagai orang yang tidak begitu paham terhadap ekonomi juga jadi geleng-geleng kepala.
Kalau rezim itu sudah satu periode, polanya sudah bisa dibaca. Pada saat SBY misalnya, pada saat satu periode 5 tahun itu mau berbuat apa saja pola itu sudah ketangkep. Nanti akan seperti ini, dia akan memunculkan ide seperti ini, gagasan seperti ini, arahnya seperti ini. Jadi hal tersebut tadi bukan indikator untuk membangun ekonomi syariah, ujar Tony Rosyid.
Kekuatan isu apa ketika kita mengangkat tema tentang tertangkapnya Zaim Saidi terkait dengan Pasar Muamalah, Depok. Kalau kita melarutkan diri pada isu yang setiap kali muncul, menurutnya umat akan terombang-ambing. Mengapa tidak memilih isu yang bisa memberikan potensi terhadap bangsa ke depan artinya lebih ke sesuatu yang sifatnya mendasar, mestinya ada pilihan-pilihan. Kita ini setiap harikan disuguhi berita kemudian menjadi isu yang luar biasa. Padahal katakanlah hari ini sedang terjadi cakar mencakar yang ada di elite dan bisa membunuh satu dengan yang lain dan itu akan menjadi sebuah perubahan sosial politik maupun sosial misalnya. Tapi justru itu tidak kita baca kemudian tidak menjadi main topik kita untuk kita bahas kalau menjadi goal menjadi sebuah perubahan sosial atau perubahan bangsa untuk menjadi yang lebih baik. Itu sebagai masukan saja, jelas pengamat politik tersebut.
Kalau dirinya cenderung ini, ya kalau kita bahas secara detil baik secara ekonomi, hukum, cukup detil. Katakanlah tentang waktu, ini dimulai kapan, kenapa dipersoalkan sekarang, jadi itu menjadi sebuah pertanyaan. Kemudian yang kedua soal keadilan, kalau itu tafsirnya satu bahwa melanggar Pasal Tahun 2011 kenapa yang lain juga tidak diperlakukan yang sama. Ketiga, kenapa sampai ditahan padahal menurut undang-undang itu satu tahun ada kekhawatiran akan menghilangkan alat bukti atau kabur. Ia pikir perlu dipertanyakan. Keempat, apa dampak sosialnya, ekonominya yang diakibatkan oleh Muamalah itu. Kelima, apakah ada niat untuk melanggar hukum, melakukan kejahatan. Faktor berikutnya apakah tidak diperhitungkan bahwa dalam situasi dimana peredaran uang di masyarakat itu berkurang, tidak normal. Kalau toh katakan dalam tanda kutip ada kesalahan toh bisa dibina, diajak komunikasi tetapi transaksi pasar di masyarakat paling bawah yang notabene yang menjadi berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi bangsa ini kenapa itu diabaikan. Mestinya ini tidak. Jangan kemudian melihat dari sisi normatif apalagi negative, ungkap Tony.
Tapi dari semua ini menurut Tony Rosyid, semacam memberikan mainan baru kepada umat untuk membicarakannya, sehingga diskusi, dihebohkan. Coba lihat kita, ini kan kasus sebenarrnya tidak besar, kasus kecil, terus kemudian media mengupload luar biasa. Pertanyaannya adakah kemungkinan orang-orang yang bermain di balik media untuk upload secara masif terhadap isu ini. Kalau itu ada berarti kita ikut terjebak disitu membicarakan yang melampui proporsinya. Lebih bagus sudahlah, ini isu tidak perlu diperpanjang, dimasifkan, cukup kalau mau membantu orang, bantu advokat, temen-temen bisa menyiapkan orang untuk membantu beliau. Tetapi kita menggiring opini ke yang menurut dia lebih signifikan, mendasar, besar kegunaannya untuk memberi masukan terhadap Pemerintah untuk permasalahan ke depan. Jadi sehingga ada stigma bahwa Pemerintah itu anti Syariah, anti Islam dan ini nampaknya dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu stigma itu supaya memang kita terjebak dalam kesitu. Umat Islam akhirnya sekelompok dengan kelompok lain bertempur terus. Dan sampai hari ini aksi Islam itu, katakan dalam tanda kutip Islam itu ada dua dan kemudian dimasukkan di dalam sebuah ruangan atau di kanvas untuk bertarung mereka terus-menerus. Satu memberikan aksi, kedua memberikan reaksi, balik reaksi lagi terus menerus terjadi seperti itu. Sehingga betul-betul energi umat Islam ini habis. Kita perlu paham, di belakang layar selalu orang-orang yang memiliki basic militer. Kalau kita belajar dari rezim Soeharto, sekarang orang-orang yang mengawal rezim ini adalah mereka yang memang matang di Orde baru. Itu menggunakan teori the function of social conflict. Ia dulu ketika belajar teori itu, di otak dia yang kebayang adalah sosok Pak Harto. Memang sengaja diciptakan sebuah konflik antar umat ini sehingga sibuk sementara ada agenda-agenda yang sedang orang jalankan atau ada sebuah pihak jalankan sehingga tidak terpantau. Misalkan ia kasih contoh, ini kan ada isu kuat sudah cetak uang 359 triliun kenapa ini kita tidak coba klarifikasi cari tahu kalau memang itu betul adanya ini isunya jauh lebih dasar karena justru itu berpengaruh. Kemudian ada perubahan dana untuk kesehatan, covid di-up 50%, justru dana infrastruktur ditambah jadi 200 triliun. Kenapa karena di dalam infrastruktur itu ada yang bisa diambil memberikan keuntungan-keuntungan bagi pihak tertentu. Cobalah kita melakukan identifikasi itu sehingga kemudian kita membuat klasifikasi katakan grade A, B, dst ke dalam luasnya, dampaknya, efektivitasnya sehingga kemudian kita mengambil isu itu untuk ditularkan kepada yang lain. Ia pikir kalau isu itu ditularkan kepada yang lain dampaknya tidak terlalu besar. Tapi sebagai sebuah pengetahuan dia mendapatkan banyak ilmu dari para ahli ekonomi disini. Terus terang ia suka mendapatkan ilmu. Tetapi dalam konteks kepentingan yang lebih besar mari kita lakukan klasifikasi terhadap isu yang ingin kita gaungkan sehingga ini akan memberi pengaruh yang lebih signifikan bagi umat, masyarakat kita. Ini soal strategi saja, sehingga dalam strategi itu perlu ada pilihan-pilhan tepat, efektif.
Ekonom syariah M. Hatta S.E., M.ME menyampaikan bahwa yang merusak Indonesia moneter kapitalistik. Krisis dan inflasi tidak akan selesai. Dinar dan dirham justru menawarkan keuntungan manfaat yang sangat besar bagi Indonesia. Sebaliknya keuangan dan moneter kapitalistik, riba, bunga, dengan mata uang fiat money, justru akan melanggengkan kerugian, kerusakan bagi ekonomi Indonesia. Ketahuilah dinar dan dirham ini sudah berlangsung begitu lama, berabad-abad lama dan memberikan keadilan, kemanfaatan, kebaikan bagi semua pihak. Fiat money itu kan baru berjalan seperti sekarang ini setelah selepas tahun 1970an jadi baru-baru saja. Fiat money ini langgeng karena ada yang diuntungkan dari itu semua. Karena itulah sangat aneh dan sangat merusak akal sehat kita kalau kemudian justru kita mempertahankan sistem keuangan dan moneter kapitalistik diantaranya fiat money. Jadi itu kalau ada tembok besar, mari kita jelaskan apa sebenarnya kelemahan dan kerugian.
Menurut Cendekiawan muslim H. M. Ismail Yusanto, kita menghadapi rezim dengan cara berpikirnya. Ia mempresentasikan apa yang diperjuangkan di hadapan Watimpres. Dan yang diperjuangkan yaitu Islam Kafah tidak sesuai dengan perundangan-undangan. Islam itu diturunkan oleh Allah untuk memberikan rahmat mewujudkan rahmat bagi seluruh alam jikalau risalah itu yang initinya ada akidah dan Syariah itu bisa dipeluk secara utuh. Akidah diyakini, Syariah dilaksanakan diterapkan secara utuh pula. Ibarat mobil dapat diberikan kemanfaatan secara penuh. Istilah Islam kafah itu semestinya menjadi keinginan kita bersama karena itu tidak boleh ketika ada usaha untuk apapun namanya kriminalisasi, diskriminasi terhadap ajaran Islam dan para pejuangnya.
Kita akan kehilangan kebaikan dari ajaran Islam itu sendiri. Kemana kita akan mencari kebaikan bila tidak kepada Islam. Disaat sosialisme sudah hancur, kapitalisme semakin menampakkan kebobrokannya, kegagalannya. Di Amerika sendiri, demo dikatakan bahwa capitalism is not ok. Bila kita tidak mengadu kepada Islam. Karena itulah maka, ia kira ini penting bahwa bukan hanya utama tentu bukan aparat Kepolisian tapi penguasa (Kepolisian hanya alat saja) untuk tidak memperlakukan Islam dan ajaran Islam serta para pejuangnya itu seolah-olah pelaku tindak kriminal. Kalau dikatakan tidak sesuai dengan aturan, banyak sekali di negara ini yang tidak sesuai dengan aturan yang ada, tapi kan kemudian karena ada kekuasaan aturannya diganti sesuai dengan kemauan dia. Asalnya kan tidak sesuai atau dilindungi akhirnya dia selamat. Sudah banyaklah bukti-buktinya. Karena itu ia kira kita harus mengingatkan itu dan ingat juga bahwa kekuasaan itu tidak abadi. Pada satu titik pasti akan turun atau bahkan dipaksa turun oleh sebab-sebab yang kita tidak bisa duga. Karena itu sebelum itu terjadi ia kira kita tidak boleh terus menerus melawan yang punya kuasa atas alam semesta ini yaitu Allah SWT. Kalau umat Islam, pejuang Islam bisa diperlakukan sebegitu rupa tetapi kalau Allah tidak bisa, menentang kepada Allah itu berarti makar kepada Allah dan sama sekali ia tidak layak untuk menjadi penghuni dari dunia Allah bahkan tidak layak pula mengambil sesuatu apapun yang semua berasal dari Allah SWT. Ia kira itu merupakan kemungkaran yang luar biasa karena itu harus dihentikan untuk memberikan jalan kebaikan bisa terwujud di negeri yang kita cintai, ungkap mantan tokoh HTI ini.
Sedangkan menurut Direktur eLSEI Arief Firmasyah S.E., M.M., bahwa terbukti kalau kita lihat sejarah kita bandingkan secara Islam dengan sejarah selain Islam dimana secara ekonomi memang secara Islam itu dengan alat tukar moneter dinar dan dirham sudah terbukti di sejarah mampu memberikan kestabilan moneter dan perekonomian dibandingkan sistem yang saat ini sudah tambal sulam diterapkan yaitu kapitalisme.
Maka dari itu melalui FGD seperti ini baik mereka, eLSEI dan PKAD sangat merekomendasikan kepada Pemerintah atau pengambil kebijakan di negeri ini, tentunya pertama tidak terburu-buru untuk menahan Zaim Saidi sebagai praktisi Pasar Muamallah tentunya perlu kalau memang ada dan sekiranya itu dianggap kurang sesuai dengan aturan yang ada di Indonesia tentu perlu didik dulu atau diberikan arahan. Yang kedua kembali lagi juga bahwa permasalahan ekonomi yang terus membelit masalah bangsa kita ini perlu juga diselesaikan kenapa tidak dengan konsep yang dari Islam yang sudah terbukti secara fakta mampu memberikan kestabilan, ujar Arief.
Epriyanta Sekjen eLSEI, menyampaikan bahwa dinar dan dirham dibandingkan dengan sistem fiat money di negeri menjadi wacana baru kita, selama ini mengggap sistem ekonomi yang ada baik-baik saja tetapi setelah M. Hatta mengungkap dengan data, ternyata sistem fiat money yang ini cukup banyak kelamaan bahkan mengandung risiko lebih besar bagi negeri. Krisis dan inflasi tidak akan selesai dengan fiat money.(Red)