Aktivis 98 Akbar Endra menyoal keberadaan tempat hiburan malam (THM) ‘W’ Super Club di Kawasan Centre Point Indonesia (CPI) Makassar. Ia mengatakan, tidak etis membuka THM yang menyajikan minuman keras dan penari striptis di dekat rumah ibadah.
“Kita butuh investor datang membangun dan membuka lapangan kerja, tapi jangan memberi ruang untuk menyinggung rasa bertuhan masyarakat. Pertimbangkan etika moral dan etika sosial untuk mengeluarkan izin. Tidak pantas diskotik berada di dekat Mesjid,” kata Akbar Endra di redaksi Menit Indonesia.
Apalagi, lanjut dia, Mesjid 99 Kubah ini menjadi ikon rumah ibadah yang tak hanya dibanggakan ummat Islam, tetapi juga dibanggakan oleh seluruh ummat beragama di Sulsel. “Artinya, mesjid kebangaan ini dilecehkan jika Diskotik W beroperasi di dekatnya,” katanya.
Tak hanya mesjid, semua tempat ibadah, termasuk gereja dan pura harus dijaga kesuciannya. Akbar berharap, Pj Gubernur Sulsel Prof Zudan, mencarikan solusi terhadap keberadaan diskotik ini.
“Pemprov harus bisa menyelesaikan persoalan ini, sekalipun THM ‘W’ Super Club harus ditutup. Cabut izin operasionalnya. Kita tidak boleh takut sama Hotman Paris, takutlah sama Tuhan. Kita sarankan semua izin THM yang berada di dekat rumah ibadah ditinjau izin operasionalnya,” ujar dia.
Akbar meminta Pj Gubernur Sulsel Prof Zudan menelusuri berkas dokumen perizinan W Super Club, jangan sampai ada rekayasa sehingga dokumen tersebut dinilai layak dan memenuhi syarat sehingga dianggap keberadaan diskotik milik pengacara top itu sesuai mekanisme.
“Apakah sudah dilakukan konsultasi publik sebelum menerbitkan izin. Misalnya meminta saran dan masukan dari Muhammadiyah, NU, HMI, Dewan Mesjid dan tokoh agama. Jika tidak, berarti izin tersebut cacat moral dan cacat sosial. Lantas siapa yang bertanggung jawab dalam proses perizinan yang sudah diterbitkan itu?” ujar Akbar Endra.
Sebelumnya, Kepala Bidang Perizinan DPM-PTSP Sulsel Said Wahab mengklaim, bahwa proses dokumen perizinan pengelolah W Super Club sudah sesuai dengan Kegiatan Permanfaatan Ruang (KKPR) yang diterbitkan oleh Kementerian Investasi.
Menurut Akbar, jika mengacu pada tata ruang, di mana jarak antara rumah ibadah dengan tempat hiburan minimal 200 meter, maka harus juga dipertimbangkan perasaan masyarakat, sebab rumah ibadah di kawasan tersebut ramai dan merupakan kebanggaan masyarakat.
“Jangan hanya soal jarak 200 meter itu yang dijadikan acuan. Mestinya ada hasil konsultasi publik untuk menghargai pendapat ulama melalui organisasi keagamaan. Jangan terkesan memaksakan dengan alasan aturan tanpa menimbang etika moral dan etika sosial,” jelas dia.
Sementara itu, mantan aktifis HTI dan Khilafatul Muslimin yang tidak mau disebutkan namanya menilai keberadaan THM ‘W’ Super Club di Kawasan Centre Point Indonesia (CPI) Makassar jelas menyinggung perasaan umat Islam, sehingga harus ditutup karena hal ini jika diperbolehkan adalah bentuk toleransi yang kebablasan. “Keberadaan THM ini ingin merusak moral generasi muda Islam,” duganya seraya mencontohkan adanya gerakan memurtadkan umat Islam dengan mencampuradukkan salam mulai Assalamu’alaikum, selamat pagi, salam kebajikan dan lain-lain yang dijadikan menjadi satu dalam acara pemerintahan.
“Jangan karena butuh investasi dan membuka lapangan kerja, aqidah, moral dan ibadah kita digadaikan. Itu dosa besar,” tegasnya seraya mempertanyakan mengapa lokasi THM tidak dekat dengan gereja atau tempat ibadah lainnya.