Foto: Ilustrasi, sumber foto: Liputann 6
Stramed, Pemerintah Indonesia harus jeli memanfaatkan momentum perang dagang (trade war) antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) untuk meningkatkan ekspor dan investasi. Di saat memanasnya hubungan dagang kedua negara superpower tersebut, mereka membutuhkan negara berkembang untuk menjadi mitranya. Indonesia harus membenahi regulasi agar investasi masuk, sehingga terjadi penciptaan lapangan kerja. Begitu juga dengan ekspor, Indonesia harus meningkatkan kualitas barang atau jumlah sektor ekspornya ditambah.
“Pemerintah pusat dan daerah juga harus berkoordinasi untuk membuat regulasi yang saling mendukung. Perang dagang AS dan Tiongkok memanas, setelah Tiongkok mengenakan tarif tambahan atas produk AS senilai US$ 75 miliar berkisar 5-10% mulai 1 September dan 15 Desember 2019. Ini merupakan tindakan balasan terhadap AS yang mengenakan tambahan tarif 10% ke produk Tiongkok senilai US$ 110 miliar mulai 1 September dan tarif yang sama untuk produk senilai US$ 160 miliar mulai Desember,” ujar David Henley seorang peneliti dari Leidin University.
Sementara itu, Didik Rachbini yang juga Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi/LP3E Kadin Indonesia mengatakan, posisi Indonesia di tengah perang dagang lebih mengarah ke Tiongkok daripada Amerika Serikat. Banyak pemimpin ataupun politisi di Indonesia mengarah ke Tiongkok, dan proyek-proyek infrastruktur banyak dari Tiongkok.
Produk impor yang membanjiri Indonesia membuat industri elektronik nasional mati suri dalam tiga tahun terakhir. Barang jadi elektronik impor, terutama asal Tiongkok, telah menguasai 60% pasar elektronik dalam negeri. Oleh sebab itu, pemerintah harus menciptakan mekanisme untuk membendung impor tanpa melanggar aturan perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA). Salah satunya adalah menaikkan tarif bea masuk. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok membuat industri elektronik kian terpuruk.
Melemahmya perekonomian global dan domestik, menekan kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Penerimaan negara hingga akhir Juli masih seret. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, eskalasi perang dagang AS dan China masih menjadi sumber utama meningkatnya risiko global.
Tensi politik antara Jepang dan Korea, situasi politik Argentina dan Hong Kong, juga kekhawatiran resesi di AS. Kementerian Keuangan mencatat, total pendapatan negara dan hibah per akhir Juli 2019 mencapai Rp 1.052,8 triliun, baru memenuhi 48,696 target dalam APBN 2019. Pendapatan negara hanya tumbuh 5,9% year on year (yoy).
Realisasi penerimaan pajak, bea dan cukai dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tumbuh melambat. Sementara itu, realisasi belanja negara hingga Juli 7,9% yoy menjadi Rp 1.236,5 triliun.
Angka itu telah mencapai 50,2% dari target dalam APBN 2019 sebesar Rp 2.461,1 triliun. Dengan realisasi penerimaan dan belanja negara tersebut, defisit anggaran akhir Juli 2019 tercatat Rp 183,7 triliun atau mencapai 1,14% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka defisit anggaran ini melebar dibandingkan dengan realisasi defisit akhir Juli 2018 yang tercatat hanya sebesar Rp 151 triliun atau 1,0296 dan PDB. Hingga akhir tahun, pemerintah masih optimistis defisit anggaran sebesar 1,93% dari PDB.
Ekonom senior Institute for Deevelopment of Economics and Finance, Enny Sri Hartati memperkirakan defisit anggaran lebih lebar dari outlook pemerintah. Ini lantaran kemungkinan besar penumbuhan ekonomi 2019 hanya mampu mencapai angka 5%. Akibatnya, kekurangan (shortfall) penerimaan pajak berpotensi lebih lebar. Belum lagi, pemerintah juga banyak memberikan insentif fiskal yang bisa membuat penerimaan pajak semakin tergerus.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, per Juli 2019 realisasi defisit tercatat path angka Rp183,7 triliun, atau 1,14% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Posisi tersebut meningkat dibandingkan dengan Juni 2019 yang berada pada angka Rp135,8 triliun atau 0,84% dari PDB. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, salah satu penyebab naiknya defisit pada Juli 2019 adalah peningkatan realisasi belanja negara. Adapun, dari sisi penerimaan negara, sejauh ini belum dapat menyeimbangkan neraca karena volatilitas ekonomi global. Kendati melebar, defisit APBN pada Juli 2019 masih dalam batas aman karena rasio defisit terhadap produk domestik bruto terjaga di bawah batas 3% sebagaimana ketentuan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Adapun, posisi keseimbangan primer pada Juli 2019 berada pada posisi negatif Rp25,08 triliun, lebih baik dibandingkan dengan 2016 dan 2017. Sementara itu, selisih anggaran (Silpa) berada di angka Rp46 triliun.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, dalam kondisi 5 tahun terakhir ekonomi yang ditekan faktor eksternal, pengereman belanja akan memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pembelanjaan negara hams dilakukan secara efisien, di mana pos-pos yang tidak memiliki dampak langsung terhadap pening-katan ekonomi dikurangi. Salah satu pos penerimaan yang harus dimaksimalkan adalah belanja modal. Selama 2019, pembelanjaan modal yang dilakukan pemerintah masih kurang maksimal.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan pada Juli 2019, total belanja modal pemerintah sebesar Rp48,38 triliun dari pagu anggaran Rp189,34 triliun, atau baru 25,55% dari realisasi APBN 2019. Realisasi belanja modal berada jauh di bawah belanja sosial. Hingga Juli 2019, pemerintah telah membelanjakan senilai Rp75,08 triliun dalam bentuk bantuan sosial dari anggaran yang berjumlah Rp 97,06 triliun.
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Daman menilai, salah satu faktor pelebaran defisit APBN adalah kurang optimalnya pemerintah menggenjot pos-pos penerimaan potensial. Sektor potensial yang perlu digenjot oleh pemerintah adalah perpajakan. Penerimaan perpajakan, yang selama ini menjadi lumbung negara tercatat mencapai Rp810,7 triliun per Juli lalu, atau tumbuh 3,9% secara year-on-year realisasi penerimaan pajak non migas sampai Juli 2019 tercatat senilai Rp670,1 triliun atau hanya tumbuh 2,9%.
Realisasi penerimaan pajak yang belum sesuai ekspektasi berpotensi membebani kinerja anggaran tahun 2019. Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristian mengestimasi, jika tidak ada terobosan berarti penerimaan pajak 2019 hanya akan tumbuh di angka 6,5%, shortfall bakal berada di kisaran Rp174 triliun.
Terobosan yang dilakukan bisa mencakup empat hal. Pertama, memperluas basis pajak. Bisa dilakukan melalui peningkatan jumlah wajib pajak, memperluas objek pajak, serta mencegah penggembosan basis pajak. Kedua, mengoptimalkan kontribusi sektor-sektor yang selama ini menjadi penyumbang penerimaan semisal ma-nufaktur maupun perdagangan besar atau mengoptimalkan penerimaan dari sektor yang masih rendah kontribusi pajaknya walau pertumbuhan PDB nya besar seperti konstruksi. Ketiga, melakukan penegakan hukum pajak melalui pengolahan data dan informasi pemajakan, termasuk melakukan digitisasi administrasi pajak terus dilakukan agar menciptakan kemudahan dan pelayanan pajak. Keempat, sedikit demi sedikit mulai mengurangi belanja perpajakan yang tidak efektif.
Sedangkan, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 belum mencenninkan kebijakan fiskal yang ekspansif, malah terkesan kontraktif. Oleh sebab itu, sulit berharap rancangan anggaran itu ampuh untuk menangkal ancaman dari resesi global akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Di sisi lain, Indonesia dinilai telah kehabisan amunisi atau sumber dana akibat jor-joran menarik utang dan belanja impor selama belasan tahun. Pemerintah perlu membenahi tripel defisit, yakni defisit transaksi berjalan, defisit anggaran, dan defisit perdagangan untuk memperkuat fondasi ekonomi dari pengaruh resesi dunia.
Untuk menghadapi tantangan perekonomian tahun depan membutuhkan upaya yang lebih optimal, bukan hanya memacu investasi dan ekspor, tetapi juga perlu insentif fiskal untuk mendorong dua pilar penopang penumbuhan tersebut agar tumbuh sesuai target. Apabila melihat asumsi makroekonomi yang menargetkan pertumbuhan ekonomi 2020 sebesar 5,3 persen terlalu optimistis. Apalagi dengan defisit neraca transalcsi berjalan atau current account deficit (CAD) yang sudah menembus 3,0 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sebab pelebaran CAD menandakan produktivitas dalam negeri yang melemah.
Kelemahan APBN adalah tax ratio atau rasio penerimaan pajak tedtadap PDB yang semakin turun, yang merefleksikan upaya mengoptimalkan pendapatan masih sangat rendah. RAPBN 2020 masih belum sense of crisis atau adaptif terhadap resesi karena adanya kenaikan besar pada anggaran belanja pertahanan. Akibat kebergantungan pada impor minyak dan gas (Migas), serta barang modal yang tinggi, sebaiknya pemerintah menunda pembangunan infrastruktur yang kandungan impomya tinggi dan tidak mendesak.
Kemudian, meningkatkan konsumsi biodisel sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) untuk mengurangi impor Migas, meningkatkan investasi asing langsung untuk mendorong PDB, juga perlu mengendalikan impor barang konsumsi sehingga menurunkan permintaan devisa dan selanjutnya meningkatkan neraca perdagangan.
Kementerian Keuangan Senin (26/8), melaporkan posisi utang pemerintah hingga akhir Juli mencapai 4.603,62 triliun rupiah, meningkat 33,45 triliun rupiah dari bulan sebelumya. Dari jumlah tersebut, utang pemerintah pusat itu masih didominasi dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 3.820,90 triliun rupiah, utang pinjaman sebesar 782,72 triliun rupiah, utang pinjaman terdiri dari pinjaman luar negeri pemerintah kekinian mencapai sebesar 775,30 triliun rupiah, sedangkan pinjaman dalam negeri pemerintah mencapai 7,42 triliun rupiah. Adapun level rasio utang sebesar 29,51 persen atau masih jauh lebih rendah dari batas yang ditetapkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar 60 persen. Pembengkakan utang pada Juli disebabkan besarnya kinerja defisit anggaran akibat lemahnya penerimaan negara. Defisit anggaran hingga 31 Juli 2019 sebesar 183,7 triliun rupiah atau 1,14 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memprediksi realisasi ekspor minyak sawit mentah (CPO) tahun ini akan turun seiring dengan hambatan ekspor di negara tujuan ekspor. Pasar ekspor CPO lainnya bakal meningkat seperti Tiongkok, India, Jepang serta sejumlah negara lainnya. Peningkatan ekspor ke Tiongkok dipengaruhi oleh perang dagang dengan AS. Negara lainnya yang berpeluang meningkatkan serapan sawit RI ialah Jepang, karena ingin mengganti peran pembangkit nuklirnya dengan biomas yang mengandalkan tandan sawit sebagai energinya.
Volume ekspor Indonesia khusus minyak sawit (CPO) dan turunannya pada Semester 1-2019 ke Uni Eropa mengalami stagnasi. Volume ekspor CPO dan turunannya pada Semester I- 2019 ke India anjlok 17 persen, AS turun sebesar 12 persen, Pakistan sebesar 10 persen dan Bangladesh sebesar 19 persen.
Laporan bertajuk Southeast Asia Investment H1-2019 yang dipublikasikan oleh Cento Ventures mengungkapkan tren pendanaan perusahaan rintisan, baik di regional Asia Tenggara maupun Indonesia, sama-sama mengalami penurunan dari tahun 2018. Nilai total investasi perusahaan rintisan di Asia Tenggara hampir menyentuh US$6 miliar sepanjang paruh pertama tahun ini, menurun 27% dari periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai US$8,3 miliar.
Nilai ekspor udang Indonesia ke AS dan Jepang mengalami penurunan pada paruh pertama 2019 bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor udang Indonesia ke Amerika mengalami penurunan sebesar 8,69% dari US$566,40 juta ton pada paruh pertama tahun lalu menjadi US$494,39 juta pada periode yang sama tahun ini. Penurunan nilai ekspor ke AS juga diikuti oleh penurunan volume dari 60.700 ton pada semester 1/2018 menjadi 60.210 ton pada periode yang sama tahun ini.
Bank Indonesia (BI) akan menerapkan kebijakan moneter yang longgar dalam jangka panjang. Langkah tersebut dimaksudkan untuk menarik investasi langsung yang bisa mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Stabilitas perekonomian domestik yang terjaga akan mendukung BI terus melonggarkan kebijakan moneter, balk melalui instrumen suku bunga acuan maupun likuiditas. BI perlu mempertahankan kebijakan moneter dan makroprudensial yang akomodatif. Saat ini, mayoritas bank sentral di dunia memperlonggar kebijakan moneter mereka sebagai upaya mengerem dampak pelemahan ekonomi global.
Asosiasi Pengusaha Indonesia meminta pemerintah harus membenahi kebijakan penanaman modal, karena perkembangan realisasi investasi menghadapi dua tantangan, yakni pertumbuhan yang lambat clan semakin rendah dalam penyediaan lapangan pekerjaan. Investasi sudah bergeser dari padat karya ke padat modal sejak dimulainya industri 4.0. Ditambah Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak fleksibel, membuat biaya ketenagakerjaan lebih mahal. Sementara, Asosiasi Pertekstilan Indonesia mengakui sektor tekstil yang terkenal sebagai industri padat karya memang tengah lesu akibat perang dagang Amerika Serikat dan China.
Tekanan fiskal yang sangat tinggi membuat tren defisit anggaran terus berlanjut sehingga mendorong peningkatan utang pemerintah. Defisit fiskal tidak hanya diakibatkan oleh melesetnya penerimaan pajak ataupun membengkaknya belanja anggaran melainkan juga dipengaruhi beban pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ambisi pemerintah membangun infrastruktur secara masif tidak hanya menguras APBN secara langsung, tetapi juga turut menyeret dana dari BUMN. Dari proyeksi kebutuhan infrastruktur sebesar 4.700 triliun rupiah selama 2015-2019, APBN diprediksi hanya mampu menutup 41,3 persen kebutuhannya, sedangkan BUMN ditargetkan dapat menyumbang 22 persen atau sekitar 1.034 triliun rupiah. BUMN diberikan kesempatan untuk meninjau kembali feasibility study (uji kelayakan) dari tiap proyek yang diinisiasi pemerintah melalui kementerian atau lembaga (K/L).
Gubemur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menilai risiko kredit menghambat penurunan suku bunga perbankan. Profil risiko kredit calon debitur ditengarai mempengaruhi pemberian tingkat bunga kredit kepada nasabah, karena dunia usaha saat ini menghadapi berbagai tantangan, mulai dari regulasi pemerintah, perizinan, hingga permasalahan di masing-masing bidang usaha.
Sementara itu, pelaku usaha meminta industri perbankan menurunkan marjin bunga bersih atau Net Interest Margin (NIM) ke level 3,5 persen dari posisi saat ini di 4,9 persen. Tingkat NIM sebesar 4,9 persen tersebut berdasarkan data industri perbankan dari OJK per Juni 2019. NIM merupakan salah satu indikator profitabilitas perbankan berdasarkan pendapatan dari bunga pinjaman yang dikurangi bunga simpanan dan biaya operasional.
Semakin tinggi NIM perbankan, maka semakin tinggi marjin yang diperoleh bank tersebut. NIM di industri perbankan di Indonesia tertinggi di dunia. Rinciannya, NIM Singapura kurang lebih sebesar 1,3-1,4 persen, Ma-laysia 1,6-1,7 persen, Vietnam 2,4-2,5 persen, dan Filipina di bawah 3 persen, Korea Selatan, NIM sebesar 1,5-1,6 persen (Red/berbagai sumber).