Foto: Amril Jambak (Penulis), sumber foto: Jurnalintelijen.net
Oleh : Amril Jambak
Stramed, Pertemuan Jokowi-Prabowo Subianto pada 13 Juli 2019 yang diinisiasi atau dimediasi Badan Intelijen Negara (BIN) telah menimbulkan respons yang beragam, namun mayoritas gembira dengan pertemuan kedua tokoh bangsa tersebut.
Pasca pertemuan tersebut, muncul pertanyaan berikutnya yaitu apakah Gerindra mau masuk kabinet atau menjadi oposisi? Gerindra sendiri akan memutuskannya pada Rakernas pada Agustus 2019. Dalam tubuh elit Gerindra berdasarkan analisis pemberitaan media tampaknya hanya Fadli Zon yang ingin Gerindra beroposisi, dan figur lainnya seperti Arief Puyuono, Ahmad Muzani bahkan Prabowo sendiri tampaknya cenderung ingin Gerindra masuk ke kabinet.
Mantan kolega Prabowo selama Pilpres seperti Amien Rais, beberapa petinggi PKS termasuk PA 212 menyatakan kekecewaannya Prabowo bertemu Jokowi, bahkan Amien Rais menyatakan, jika Gerindra masuk dalam gerbong kabinet Jokowi, maka “game is over”.
Sebaiknya memang Gerindra masuk dalam kabinet Jokowi karena pengalaman menjadi “oposisi” bagi Gerindra pasca Pilpres 2014 tidak memberikan dampak politik yang positif, karena sejatinya tidak pernah ada oposisi sejati dan substantif di Indonesia, karena pihak yang beroposisi menjalankan quasi oposisi atau oposisi transaksional buktinya jarang terdengar fraksi oposisi di DPR yang menolak program kerja yang ditawarkan pemerintah. Apalagi demokrasi di Indonesia sejauh ini hanyalah demokrasi yang prosedural bukan demokrasi substansif menyebabkan menjadi oposisi tidak akan pernah menguntungkan.
Jika Gerindra masuk kabinet, maka koalisi Jokowi-Ma’ruf Amin akan semakin gemuk, sehingga Jokowi tidak memerlukan PAN dan Partai Demokrat untuk ditawarkan koalisi, agar PAN, PD dan PKS menjadi oposisi. Apalagi politisi politisi di seputaran Jokowi tampaknya lebih pas memilih mengajak Gerindra masuk kabinet karena resistensinya lebih kecil dibanding mengajak PAN, PD apalagi PKS.
Penulis adalah pemerhati politik dan jurnalis di Pekanbaru, Riau