
KN. Kehadiran Romo Setyo dalam diskusi yang mengusung agenda “copot Kapolri” semakin menegaskan bahwa jargon “Reformasi Polri” tidak lahir dari niat tulus untuk memperbaiki institusi, melainkan sebuah instrumen politik yang diarahkan pada penggulingan personal.
Romo Setyo merupakan anggota Gerakan Nurani Kebangsaan (GNB), sebuah kelompok yang pertama kali melontarkan wacana “Reformasi Polri” setelah bertemu dengan Presiden Prabowo di Istana pada 12 September 2025.
Keterlibatan anggota GNB bersama sejumlah tokoh dengan kepentingan politik tertentu, menyingkap adanya agenda tersembunyi yang lebih besar dari sekadar perbaikan institusional.
“Reformasi” dijadikan kata kunci untuk membangun legitimasi moral, namun praktik yang dijalankan justru sarat dengan serangan langsung terhadap individu Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar. Apakah perjuangan mereka benar-benar untuk memperbaiki struktural dan kelembagaan, ataukah sekadar permainan kekuasaan yang menyamarkan ambisi pergantian pucuk pimpinan Polri di balik kata “kebangsaan” dan “reformasi”.
Romo Setyo sebagai representasi GNB mengisyaratkan bahwa gerakan ini bukan sekadar spontanitas publik, melainkan skenario yang sudah terstruktur.

Pertemuan dengan Presiden Prabowo pada pertengahan September menjadi titik awal munculnya wacana yang kemudian didorong secara massal melalui ruang-ruang diskusi, media, hingga opini publik.
Namun, alih-alih membedah permasalahan substansial seperti tata kelola penegakan hukum, akuntabilitas internal, dan modernisasi institusi, diskusi justru dipersempit pada satu sasaran: pencopotan Kapolri.
Sekilas terlihat jelas bahwa agenda yang digulirkan lebih menyerupai upaya delegitimasi pribadi daripada reformasi kelembagaan.
Narasi “Reformasi Polri” yang dibawakan Romo Setyo melalui GNB bisa dipandang sebagai bentuk politisasi isu keamanan untuk menggiring opini publik.
Dengan menggiring fokus ke arah pergantian Kapolri, gerakan ini sebenarnya sedang membangun pesan bahwa perubahan hanya bisa terjadi dengan mengorbankan figur tertentu.
Strategi semacam ini berisiko besar memecah konsentrasi nasional, mengalihkan energi bangsa dari diskursus perbaikan institusi menjadi politik yang penuh intrik.
Padahal, reformasi sejati memerlukan konsistensi, kebijakan yang sistematis, dan kesabaran membenahi masalah struktural, bukan sekadar pergantian orang.
Kehadiran Romo Setyo dalam forum semacam itu akhirnya menyingkap lapisan agenda yang terselubung. Ia menjadi pengingat bahwa tidak semua pihak yang mengusung jargon reformasi datang dengan niat lurus.
Ada yang justru menjadikan jargon tersebut sebagai kendaraan politik, sebagai tameng moral untuk menyamarkan ambisi penggulingan pribadi. Jika publik tidak bisa membedakannya, maka “reformasi” akan berubah menjadi senjata politik yang justru merusak stabilitas institusi.
Dan yang paling dirugikan bukan hanya Polri sebagai lembaga, tetapi juga masyarakat yang membutuhkan kepastian hukum dan keamanan tanpa harus menjadi korban permainan elit politik.
R. Haidar Alwi
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI)