Oleh: Linda Rahmawati
Stramed, Jagat politik di Indonesia saat ini diwarnai dengan rebutan antar parpol koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin untuk menduduki jabatan strategis sebagai menteri ataupun di lembaga legislatif. Pertanyaan mendasarnya adalah sebenarnya parpol mana yang “paling berkeringat” bekerja untuk kemenangan Jokowi?
Jawabannya pasti beragam mulai dari “aneh memang”, ada yang menjawab “banyak yang bekerja termasuk ormas dan mahasiswa”, ada juga yang menjawab “PDIP walaupun juga tidak maksimal, karena semua parpol termasuk pendukung Jokowi mengutamakan kemenangan di Pileg untuk selamat dari 4 persen parliamentary threshold”. Bahkan ada yang menjawab “yang memenangkan Jokowi di Pilpres adalah Jokowi sendiri”.
Namun ada juga jawaban melalui WA yang cukup intelektual dan politis antara lain pertama, di Jambi misalnya ada parpol di daerah, calegnya mendapat subsidi bantuan dana tapi tidak sukss di pilpres karena ccalegnya hanya fokus pemenangan pileg, makanya ada suatu daerah, dalam Pilpres calon presidennya kalah tapi partainya menang.
Kedua, karena spektrum ideologi partai yang tidak jelas inilah perasaan paling berkeringat memungkinkan menjadi klaim, tapi kalau secara proporsional bisa diukur dengan indikator perolehan suara partai yang dikorelasikan dengan loyalitas pilihan legislatif yang berbanding lurus dalam pilihan pilpres.
Ketiga, ada juga jawabannya yang cukup sarkasme seperti “ndak jelas, parpol mana yang paling berjasa memenangkan Jokowi” dan “itulah karakter politik kita saat ini, semua dilakukan demi kepentingan dan kelangsungan jabatan semata”.
Tulisan ini sengaja dibuat untuk mengingatkan parpol bahwa masyarakat mengawasi tabiat politik mereka. Masyarakat pasti dapat menilai jika parpol mengalami penurunan suara di pileg, mengalami konflik internal menjelang pemilu kemarin, apalagi tidak lolos batas parliamentary threshold 4 persen, maka mungkin kontribusi mereka untuk kemenangan Jokowi dapat dikatakan kecil atau ndak ngaruh. Jadi aneh aneh saja jika mereka “merecoki” Jokowi dengan meminta jatah kursi.
Ada baiknya 70 persen jatah menteri dikasih ke kalangan profesional dan 30 persen buat parpol ungkap salah satu pengamat yang dapat diinterpretasikan sebagai pertanyaan walau sarkasme yang meragukan mutu kader parpol, karena masyarakat sejak era reformasi sudah pernah merasakan kepemimpinan menteri atau kepala lembaga negara termasuk di DPR/MPR dari kader parpol.
Jokowi tampaknya perlu bertanya ke kelompok relawan pendukungnya tentang siapa parpol yang paling berkeringat mendukungnya dalam Pilpres kemarin, dan sebaiknya jangan bebani dan biarkan Jokowi bebas memilih menterinya karena pada akhirnya Jokowi nantinya akan dicatat dalam sejarah apakah berhasil atau tidak kepemimpinannya, termasuk harus menjawab pertanggungjawabannya kelak dihadapan Alloh SWT. Semoga.
Penulis adalah pemerhati perkembangan politik Indonesia.